Setiap
manusia hidup pasti lah punya imaji. Seseorang akan membayangkan kondisi
terbaik atau terburuk sekali pun. Saat ia mengimajinasikan hal-hal baik
–katakanlah kesuksesan –dalam hidupnya, ia akan tersulut oleh semangat yang
membara. Seketika rasa bungah pun tersirat dalam wajah serta gerak tubuhnya.
Atau saat ia mengimajinasikan hal-hal buruk, ia akan tenggelam dalam renungan
yang panjang. Sikap menutup diri, cemas, sering membayangi dalam segala
aktivitas. Tentu, bisa juga sebaliknya.
Imajinasi
menjadi aktivitas termurah sekaligus termahal. Saya misalkan, saat tak punya uang
untuk membeli sepotong kue, aku siasati dengan mengimajinasikan makanan yang
aku inginkan. Aku membayangkan bentuknya, rasanya, lalu kenikmatan yang aku
rasakan. Walau tak membelinya, aku sudah cukup menikmatinya dalam ruang
imajinasi. Murah, sebab tak perlu aku wujudkan dengan kerja keras. Beda, ketika
Steve Jobs mengimajinasikan untuk menggagas Apple. Aku yakin, awalnya
gagasan-gagasan tersebut bermula dari imajinasi liarnya. Nah, imajinasi Steve
Jobs saat ini menjadi hal termahal. Dalam buku biografinya ia menceritakan
langkah kakinya dalam mencipta gagasannya hingga perjalanan saat ini.
Begitu,
setiap orang barangkali tertantang untuk menggunakan ruang imajinasinya –tempat
segala yang ada dan tak terbatas untuk membayangkan– semaksimal mungkin. Orang yang
tak menggunakan imajinasinya, ibarat hidup dalam sungai hanya menunggu
datangnya arus. Suatu kala tersangkut di ranting, terdampar di bebatuan besar,
atau terhanyut bersama sampah. Orang tertantang untuk tetap mengaliri sungai
saat kemarau. Atau menguras air saat banjir tiba. Atau menantang arus jika akan
kedatangan bencana. Ya, layaknya sebuah tantangan ia akan takluk atau melawan.
Pertaruhan
Kata
selalu menuntut pertanggungjawaban. Ia tak sekadar huruf-huruf yang mati di
atas kertas atau dalam omongan. Ia selalu hidup di mana pun. Kata akan selalu
menjadi alarm bagi orang yang pernah mengutarakannya. Jika kata dizalimi atau
dikhianati, ia akan menjadi sebilah pedang untuk tuannya. Maka, ada pepatah
mulutmu harimau mu. Mulutmu pedang mu. Sebab kata akan memperkosa setiap mulut
manusia. Sialnya, kata akan menjebak atau malah membunuh diri.
Dalam
filem Ruby Sparks, kita melihat dahsyatnya imajinasi Calvin Weir-Fields. Ia
seorang penulis novel yang fenomenal. Buku yang pernah ia tulis “Heart Broken
Old Time”. Suatu ketika ia ingin menulis, namun tak kunjung dapat ide. Ia lantas
menemui psikiater. Ia ditantang oleh seorang psikiater untuk menulis. Saat
pertemuan itu, Calvin menolak keras. Ia mengatakan tak bisa menulis. Atau ia
bisa menulis, namun hal-hal yang konyol dan tak berarti. Lalu buat apa ditulis,
pikirnya. Calvin kala itu hanya ingin memelihara anjing, ia beri nama Scotty.
Saat itulah Calvin menyepakati perjanjian untuk menulis. Calvin akan berusaha
menulis tentang siapa pun yang dengan senang hati menyukai scotty yang berliur
dan jorok itu dengan apa adanya.
Ia
lantas kebingungan untuk menulis. Hampir semua orang memandang scotty dengan
jijik. Akhirnya ia membayangkan seorang perempuan yang hadir di saat Calvin dan
Scotty sedang di taman. Perempuan itu membopong Scotty. Berjalannya waktu
perempuan itu jadikan pacar. Ia diberi nama Ruby. Maka Ruby lah yang dengan
senang hati menimang-nimang scotty. Ia mendeskripsikan Ruby dengan kulitnya
yang putih. Hidung mancung dan bibir merah merona. Sering kali ia gambarkan
dengan pakaian-pakaian ketat dan pendek. Kaki putihnya yang mulus nampak
ramping nan panjang menawan.
Ruby
seorang perempuan yang hobi memasak. Ia sering menghidangkan masakannya untuk
Calvin. Juga, di saat Calvin ingin menyalurkan hasrat seksualnya, ada Ruby yang
siap. Atau saat di tengah keriuhan manusia mereka saling bemesraan. Calvin
seolah menciptakan perempuan yang sempurna baginya. Ia bisa menarik ulur alur
yang dialami Ruby secara cepat dan seketika. Saat-saat sedih, bahagia,
ketakutan, kecemasan, dan saat mereka saling mengungkapkan rasa cintanya.
Suatu
kala di saat sesi pembedahan buku barunya –The Girlfriend– yang ia tulis
tersebut, ia bercerita tentang pergulatan dirinya dalam menulis. Ia memberi
kejutan kepada audiens, bahwa seorang Ruby dalam novelnya benar-benar hadir
dalam keseharian hidupnya. Ia dan Ruby sering melakukan perjalanan panjang.
Perjalanan tersebut pun atas kuasa Calvin yang membuat alurnya. Ia menciptakan Ruby
dari imajinasi menjadi realitas. Ia bisa menarik ulur sikap yang dimiliki Ruby.
Ia semacam kuasa untuk mengatur tingkah pola Ruby. Menghadirkannya dalam
kehidupan nyata. Hingga kakaknya hampir tak percaya dan menyebut Calvin benar-benar
gila.
Dalam
diskusi tersebut ia menjelaskan kisah cintanya yang nyata dan mustahil untuk
dialami. Pada akhirnya ia tetap menulis untuk seorang perempuan idamannya. Ia
meminta maaf atas setiap kata yang ia tulis untuk mengubahnya. Calvin mengatakan
akan ada orang yang membaca buku itu sebagai sihir. Tapi jatuh cinta adalah
tindakan sihir. Begitu juga menulis. Seperti dikatakan Pleh Catcher di buku Rye
mukjizat fiksi yang langka akan berlalu. Manusia akan kehabisan kertas, tinta,
dan imajinasi. Calvin bukan salinger J.D. tetapi ia telah menyaksikan keajaiban
yang langka. “Setiap penulis bisa membuktikan. Di negara paling beruntung dan
bahagia, kata-kata itu tak akan datang darimu, tapi melalui dirimu. Dia datang
kepadaku sepenuh dirinya. Aku hanya beruntung untuk berada di sana dan
menangkapnya,” cerita Calvin yang disertai tepuk tangan yang riuh dari audiens.
Pada
akhirnya, Calvin bisa keluar dari rasa cemasnya yang berlebihan. Ia bisa keluar
dari segala hal yang selalu ia tanamkan untuk masuk akal. Toh, dalam tulisannya
tak sepenuhnya masuk akal. Ia hanya meramu apa yang diimajinasikan dalam kata.
Dan itu tak benar-benar nyata. Calvin, dapat menyelesaikan tantangan dari
psikiater. Ia dapat menyelesaikan sebuah novel dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar