Minggu, 13 April 2014

Pada Akhirnya Hanya Kicauan jangkrik

11:59 PM. Orang hanya bisa menikmati pertarungan malam dan pagi hanya di menit tertentu. Tentu, satu menit dari sekarang pagi akan menghampiri. 12:00 AM. Tak ada perbedaan yang kontras. Jika banyak yang beranggapan bahwa pagi nampak terang dan malam hanya lah diselimuti kegelapan dan kesunyian, tentu tidak tepat. Pagi dan malam hanyalah siklus. Dan itu hanya sebuah penanda. Toh, tadi di sebelum detik-detik pergantian malam dan pagi, jangkrik masih tetap berkicau. Tak ada yang beda.

Orang dulu belum mengenal jam sebagai penanda waktu. Mereka hanya berpatok pada tanda-tanda alam dan lingkungan. Ketika subuh misalnya, sebuah tanda ayam saling bersahut-sahutan. Maka, segala aktivitas lebih baik segera dimulai, jika tidak akan dipatok ayam, katanya. Begitu, tak ada setiap pekerjaan yang pantas atau tidak pantas dilakukan dipilah waktu. Hanya saja setiap pekerjaan dilakukan dengan memperkirakan keefektifan, keetisan, dan bahkan kelumprahan.


Dalam kicauan jangkrik seperti ini, aku menyadari bahwa setiap gagasan yang hadir pada diriku akan datang pada momen-momen yang tak dinanya. Pada hal yang remeh temeh, di secuil pojok keramaian, di kesunyian, di saat berak, di sepintas lantunan doa saat sembayang, dll. Bahkan seringkali jika dengan segera aku menginginkan sebuah gagasan muncul dengan cepat seringkali pula aku hanya gigit jari. Sebab, ternyata gagasan hadir melalui proses perenungan dan pergulatan diri, Tarik menarik imaji dan realita, dan akan sewaktu-waktu hadir.

Proses perenungan dan pergulatan lah yang akan mengantarkan manusia pada cinta sejati. Pada akhirnya ia akan tahu bahwa si(apa)pun yang hadir adalah jodohnya. Ada sebuah dorongan yang hadir secara lirih kemudian melegaliterkan emosi, perasaan, nalar, dan ego. Lantas, itu yang dinamakan dengan ‘plong’.

Rasa plong setidaknya dibentuk dari pergulatan dua komponen, subjek-objek (SO). Katakanlah subjek sebagai pengamat. Pengamat melihat kenyataan sebagaimana kenyataan tersebut hadir dan menggejala di latar kesadaran pengamat. Pengamat langsung menuliskan begitu saja kehadiran objek yang menggejala di latar kesadarannya tersebut. Kemenggejalaan tersebut bergantung pada sikap, watak, temperamen, minat, perhatian, cakrawala pengalaman dan cakrawala pemahaman pengamat. O dipersepsi S sebagaimana O yang hadir di latar kesadaran S, sehingga menggejala dialektika OS. OS lah yang kemudian dituliskan oleh S dan disebut esai. Hasil dialog O-S tersebut dapat berupa kesan-kesan, renungan, dan sebagainya. Sifatnya pun dapat santai atau pun serius serta dapat imajinatif maupun intelektualistisOleh sebab itu, kepribadian S senantiasa membayang dalam tulisan-tulisan esai S mengenai O. Keberadaan O tidak dapat diabaikan oleh S sebagai-mana keberadaan S pun tak dihilangkan.

Lalu, dalam obrolan pagi ini ada sebuah pertanyaan, apa bedanya esai dengan sastra dan ilmiah?
Jika S dihilangkan atau direlativisir maka ia cenderung menjadi karangan ilmiah, jika ditulis berdasar kaidah ilmiah. Sementara jika O yang diabaikan, ia cenderung menjadi karangan sastra jika kaidah sastra yang digunakan untuk menuliskannya. 

Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode ini lah yang membedakan ilmu dengan buah fikiran yang lain. Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt mengemukakan bahwa kerangka dasar metode keilmuan terbagi menjadi enam langkah, yaitu:  Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah; Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan; Penyusunan atau klasifikasi data; Perumusan hipotesis; Deduksi dan hipotesis; Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis. Dari isi objektifnya, demikian Cassirer, ilmu mengabaikan dan tidak menonjolkan ciri-ciri individual karena salah satu tujuan pokoknya ialah meniadakan semua unsur personal dan antropomorfis.

Sementara karangan sastra mempunyai kaidahnya sendiri. Dalam menulis karangan sastra, seorang sastrawan mengacu pada kaidah penulisan sastra yang relatif baku, seperti: tema, alur, penokohan, latar, sudut pandang, dan sebagainya, bagi prosa (novel dan cerpen) serta tema, diksi, irama, enjabemen, majas, rancang bangun dan sebagainya, untuk puisi. Hubungan sastrawan dengan realitas adalah hubungan ke–mungkin–an, yakni boleh jadi realitas yang dituliskan seorang sastrawan memiliki kesesuaian dengan dunia nyata, atau kenyataan fiksional dalam sastra memiliki kemungkinan untuk terjadi (juga) dalam kenyataan. Karena karya sastra dicirikan oleh fiksionalitas maka karya sastra bergantung pada hasil rekaan pengarang.

Esai sebagai genre karangan mulai dikenal setelah Michel de Montaigne menerbitkan tulisannya yang berjudul  Essais (1580). Sejak itu, nama essai (Prancis) atau essay (Inggris), yang artinya upaya-upaya atawa percobaan-percobaan —dan oleh sebab itu lebih bersifat sementara dari pada bersifat final— dinisbahkan sebagai nama bagi genre karangan sebagaimana kurang lebih ditulis Michel de Montaigne. Tak lama kemudian, Francis Bacon mengikuti jejaknya dengan menulis esai-esai mengenai berbagai soal dengan ukuran yang cenderung lebih pendek dari umumnya karangan Montaigne. Esai —demikian Bacon (1597) mencoba menje-laskan posisi esai-esainya— lebih berupa butir-butir garam pembangkit selera ketimbang sebuah makanan yang mengenyangkan.

Di Indonesia, esai sebenarnya sudah lumayan lama ditulis. Namun, nama  esai  sebagai  sebuah genre  menjadi populer sejak H.B. Jassin menerbitkan bukunya yang terkenal, yakni Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei —yang kemudian diterbitkan berjilid-jilid. Sejak itu, karangan esai segera menjadi sesuatu yang biasa dalam khazanah karang-mengarang, khususnya sastra, di Indonesia.

Esai ternyata dirumuskan dengan cara bermacam-macam dan selain kadang tidak lengkap, tidak jarang juga bertolak belakang. Tentang ukuran esai, misalnya, ada yang menyatakan bebas (Oxford Dictionary), sedang (Encyclopediae International; Shipley), dan ada pula yang menyatakan dapat dibaca sekali duduk alias pendek (Webster Dictionary).

Pada akhirnya, hanya dan masih berujung pada kicauan jangkrik. Yang mana jangkrik selalu menggelitik untuk didengarkan suaranya. Lebih-lebih aku masih ingat jika sewaktu kecil dulu sering memburu dan mengadu jangkrik. Di medan pertarungan, jika jangkrik lawan lemes dan tak berdaya aku akan bersorak-sorak ria, jika jangkrikku yang kalah, aku akan memberikan jangkrik lain untuk lawan. “Hei, kowe utang jangkrik limo?” ucapan ketus Irul, teman laki-laki kecilku. Lalu kami bergandengan ke warung sebelah menenggak es limun.