11:59 PM.
Orang hanya bisa menikmati pertarungan malam dan pagi hanya di menit tertentu.
Tentu, satu menit dari sekarang pagi akan menghampiri. 12:00 AM. Tak ada
perbedaan yang kontras. Jika banyak yang beranggapan bahwa pagi nampak terang
dan malam hanya lah diselimuti kegelapan dan kesunyian, tentu tidak tepat. Pagi
dan malam hanyalah siklus. Dan itu hanya sebuah penanda. Toh, tadi di sebelum
detik-detik pergantian malam dan pagi, jangkrik masih tetap berkicau. Tak ada
yang beda.
Orang
dulu belum mengenal jam sebagai penanda waktu. Mereka hanya berpatok pada
tanda-tanda alam dan lingkungan. Ketika subuh misalnya, sebuah tanda ayam
saling bersahut-sahutan. Maka, segala aktivitas lebih baik segera dimulai, jika
tidak akan dipatok ayam, katanya. Begitu, tak ada setiap pekerjaan yang pantas
atau tidak pantas dilakukan dipilah waktu. Hanya saja setiap pekerjaan
dilakukan dengan memperkirakan keefektifan, keetisan, dan bahkan kelumprahan.
Dalam
kicauan jangkrik seperti ini, aku menyadari bahwa setiap gagasan yang hadir
pada diriku akan datang pada momen-momen yang tak dinanya. Pada hal yang remeh
temeh, di secuil pojok keramaian, di kesunyian, di saat berak, di sepintas
lantunan doa saat sembayang, dll. Bahkan seringkali jika dengan segera aku
menginginkan sebuah gagasan muncul dengan cepat seringkali pula aku hanya gigit
jari. Sebab, ternyata gagasan hadir melalui proses perenungan dan pergulatan
diri, Tarik menarik imaji dan realita, dan akan sewaktu-waktu hadir.
Proses
perenungan dan pergulatan lah yang akan mengantarkan manusia pada cinta sejati.
Pada akhirnya ia akan tahu bahwa si(apa)pun yang hadir adalah jodohnya. Ada
sebuah dorongan yang hadir secara lirih kemudian melegaliterkan emosi,
perasaan, nalar, dan ego. Lantas, itu yang dinamakan dengan ‘plong’.
Rasa
plong setidaknya dibentuk dari pergulatan dua komponen, subjek-objek (SO).
Katakanlah subjek sebagai pengamat. Pengamat melihat kenyataan sebagaimana
kenyataan tersebut hadir dan menggejala di latar kesadaran pengamat. Pengamat
langsung menuliskan begitu saja kehadiran objek yang menggejala di latar
kesadarannya tersebut. Kemenggejalaan tersebut bergantung pada sikap, watak,
temperamen, minat, perhatian, cakrawala pengalaman dan cakrawala pemahaman
pengamat. O dipersepsi S sebagaimana O yang hadir di latar kesadaran S,
sehingga menggejala dialektika OS. OS lah yang kemudian dituliskan oleh S dan
disebut esai. Hasil dialog O-S tersebut dapat berupa kesan-kesan, renungan, dan
sebagainya. Sifatnya pun dapat santai atau pun serius serta dapat imajinatif maupun
intelektualistis. Oleh sebab itu, kepribadian
S senantiasa membayang dalam tulisan-tulisan esai S mengenai O. Keberadaan O
tidak dapat diabaikan oleh S sebagai-mana keberadaan S pun tak dihilangkan.
Lalu, dalam obrolan pagi ini ada sebuah pertanyaan, apa bedanya esai dengan sastra dan ilmiah?
Jika S dihilangkan atau direlativisir maka ia cenderung menjadi
karangan ilmiah, jika ditulis berdasar kaidah ilmiah. Sementara jika O yang
diabaikan, ia cenderung menjadi karangan sastra jika kaidah sastra yang digunakan
untuk menuliskannya.
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu
yang dinamakan metode keilmuan. Metode ini lah yang membedakan ilmu dengan buah
fikiran yang lain. Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt mengemukakan bahwa kerangka
dasar metode keilmuan terbagi menjadi enam langkah, yaitu: Sadar
akan adanya masalah dan perumusan masalah; Pengamatan dan pengumpulan data yang
relevan; Penyusunan atau klasifikasi data; Perumusan hipotesis; Deduksi dan
hipotesis; Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis. Dari isi
objektifnya, demikian Cassirer, ilmu mengabaikan dan tidak
menonjolkan ciri-ciri individual karena salah satu tujuan pokoknya ialah
meniadakan semua unsur personal dan antropomorfis.
Sementara karangan sastra mempunyai kaidahnya sendiri. Dalam
menulis karangan sastra, seorang sastrawan mengacu pada kaidah penulisan sastra
yang relatif baku, seperti: tema, alur, penokohan, latar, sudut pandang, dan
sebagainya, bagi prosa (novel dan cerpen) serta tema, diksi, irama, enjabemen,
majas, rancang bangun dan sebagainya, untuk puisi. Hubungan sastrawan dengan
realitas adalah hubungan ke–mungkin–an, yakni boleh jadi realitas yang
dituliskan seorang sastrawan memiliki kesesuaian dengan dunia nyata, atau
kenyataan fiksional dalam sastra memiliki kemungkinan untuk terjadi (juga)
dalam kenyataan. Karena karya sastra dicirikan oleh fiksionalitas maka karya
sastra bergantung pada hasil rekaan pengarang.
Esai sebagai genre karangan mulai dikenal setelah Michel de
Montaigne menerbitkan tulisannya yang berjudul Essais (1580).
Sejak itu, nama essai (Prancis) atau essay (Inggris),
yang artinya upaya-upaya atawa percobaan-percobaan —dan oleh sebab itu lebih
bersifat sementara dari pada bersifat final— dinisbahkan sebagai nama bagi
genre karangan sebagaimana kurang lebih ditulis Michel de Montaigne. Tak lama
kemudian, Francis Bacon mengikuti jejaknya dengan menulis esai-esai mengenai
berbagai soal dengan ukuran yang cenderung lebih pendek dari umumnya karangan
Montaigne. Esai —demikian Bacon (1597) mencoba menje-laskan posisi
esai-esainya— lebih berupa butir-butir garam pembangkit selera ketimbang sebuah
makanan yang mengenyangkan.
Di Indonesia, esai sebenarnya sudah lumayan lama ditulis. Namun,
nama esai sebagai sebuah
genre menjadi populer sejak H.B. Jassin menerbitkan bukunya yang
terkenal, yakni Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei —yang
kemudian diterbitkan berjilid-jilid. Sejak itu, karangan esai segera menjadi
sesuatu yang biasa dalam khazanah karang-mengarang, khususnya sastra, di
Indonesia.
Esai ternyata dirumuskan dengan cara bermacam-macam dan selain
kadang tidak lengkap, tidak jarang juga bertolak belakang. Tentang ukuran esai,
misalnya, ada yang menyatakan bebas (Oxford Dictionary), sedang (Encyclopediae
International; Shipley), dan ada pula yang menyatakan dapat dibaca sekali
duduk alias pendek (Webster Dictionary).
Pada akhirnya, hanya dan masih berujung pada kicauan jangkrik.
Yang mana jangkrik selalu menggelitik untuk didengarkan suaranya. Lebih-lebih
aku masih ingat jika sewaktu kecil dulu sering memburu dan mengadu jangkrik. Di
medan pertarungan, jika jangkrik lawan lemes dan tak berdaya aku akan
bersorak-sorak ria, jika jangkrikku yang kalah, aku akan memberikan jangkrik
lain untuk lawan. “Hei, kowe utang jangkrik limo?” ucapan ketus Irul, teman
laki-laki kecilku. Lalu kami bergandengan ke warung sebelah menenggak es limun.