Borges mengatakan manusia adalah makhluk
pengembara. Sebab, saya manusia saya pun berusaha melakukan pengembaraan. Tanpa terasa saat ini saya harus benar-benar
menerima bahwa saya telah melewati bulan berganti bulan. Enam bulan tepatnya. Awal tahun lalu, di Februari saya memproklamirkan diri atas saya. Hanya saya, kata, buku,
bolpoin, dan route map.
Semenjak itu, saya baru membuka kembali buku yang
tertindih dengan buku-buku lainnya. Saya nampak asing dengan buku tersebut.
Kuusap sampul yang berdebu. Lalu kubuka perlahan. Ya, saya dikejutkan
dengan route map yang saya buat
sendiri. Begitu, saya meyakinkan diri bahwa itu bukan suatu kegagalan, namun
ada hal yang jauh lebih menarik. Sebab menarik tersebut, saya memosisikan hal
yang menarik mendekati keurgenan. Benar kala kemarin yang urgen adalah hal yang
tak termaktub dalam buku tersebut. Maka, saya ingkar dengan apa yang telah saya
tulis sendiri.
Saat ini pun saya tak merasa menyesal walau banyak
yang meleset. Utamanya tugasku untuk menyelesaikan sebuah tulisan ilmiah
sebagai syarat menyelesaikan tugas akhirku. Setiap kepulanganku ke rumah,
selalu orang tua menanyakan hal tersebut. Walau dalam hati gundah, aku mencoba
menjelaskan dengan tenang dan sedikit meyakinkan dan tak jarang juga membuat
humor. Akhirnya pertanyaan yang serius itu berubah menjadi nasihat, “carilah
ilmu yang bermanfaat, Nak. Usaha, percaya diri tak perlu menyombongkan diri.”
Orang tua tentu menginginkan anaknya sukses. Namun, terkadang orang tua gebyah uyah untuk menyeragamkan
kesuksesan. Lebih-lebih jika dihadapkan pada rumput tetangga.
Kepulanganku ke rumah terkadang menjadi candu.
Lama tak pulang, sekali pulang harus memberi sedikit demi sedikit untaian
narasi. Maka, sampai akhirnya saya mempunyai keyakinan untuk memperbaiki konsep-konsep
yang belum pas. Seperti apa yang aku yakini dan atas pembenaranku dengan
mengkaji dari beberapa aspek. Aku tak akan menyalahkan kondisi. Sebab, Tuhan
ternyata maha penyeimbang. Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan Mahatma Gandhi
dan Nelson Mandela tepat di India dan Afrika, sebab ia lah yang diutus Tuhan
untuk memotong mata rantai yang kurang pas. Maka, menyalakan lilin dengan api
yang kecil lebih baik dari mengutuk kegelapan. Jangan-jangan, saya, kau, ia,
kamu adalah orang-orang yang diutus Tuhan untuk memperbaiki.
***
Kegagalanku dalam fokus memang payah. Seperti
tulisan ini yang sedari awal aku buat maping dalam kepala untuk membahas rekan
akrabku yang bernama skripsi toh gagal fokus, e malah membahas ini-itu.
Akhirnya, prinsip saya adalah menulis dengan apa yang ada di kepala walau
selintas. Justru hal itu yang lebih menantang dan membutuhkan kefokusan total
untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Dibanding saya misalnya, yang merencanakan
untuk membikin sebuah tulisan tentang suatu tema namun tidak jadi-jadi, kalang
kabut. Tulisan ini yang tak pernah direncanakan aku yakinkan akan aku tuntaskan
pada kursi ini. Sebelum tuntas tidak kuangkat pantatku. Begitu, dalam
pembahasan tema-tema tertentu memang butuh pengkajian yang dalam. Namun satu
hal, memulai lebih baik dari menunda. Kecuali urusan cinta, kau boleh sedikit
menunda untuk memberi keyakinan diri hingga datang suatu waktu yang mengantarmu
untuk menemu cinta. Sebab, tanpa diperintah cinta akan menuju pada cintanya.
Di meja ini, sedari tadi pukul 08.30 AM sudah
tertumpuk tiga skripsi bersampul putih. Awalnya ingin kujadikan referensi atau
sekadar pengetahuan saja untuk memulai membuka file skripsi yang terus
terbengkalai ini. Kenyataannya, saya justru lebih tertarik dengan artikel-artikel
yang di pos rekanku. Atau di saat kondisi panas menjelang pilpres ini saya
tertarik membuka tulisan-tulisan seorang teman yang diangkat dari perspektif ke-ia-an.
Bukan secara komunal. Nah, terkadang yang secara komunal tersebut yang syarat
akan kepentingan. Maka, pada kondisi-kondisi tertentu mata saya harus jeli
untuk menangkap perspektif. Tulisan Dewi Lestari misalnya, yang ia angkat dari
perspektif ke-ia-an jauh lebih menarik dari pendukung yang mencoba untuk
meyakinkan dengan nada yang sarkas.
Saya tidak banyak bicara terkait pilihan ini
sebab saya ingin meneguhkan pilihan saya sebelum geger-gember seperti ini pada
salah satu calon. Rekan-rekan di sekelilingku banyak yang menggebu akan
pilihannya. Utamanya pada calon yang gaya bicaranya terkesan lantang namun tak
tahu benar-benar berisi atau tidak? Dari debat-debat yang saya saksikan di
layar kaca, saya misalnya tak terlalu mementingkan seberapa berisi
kata-katanya. Namun, pandanganku justru tertarik pada kedip mata, sorot mata,
dan gerak tangan (entah luwes atau kaku).
Kepulanganku beberapa waktu lalu ke rumah, walau
dalam kondisi duka, saya sempat berdebat dengan bapakku. “Aku wes ora tak pikir
susah arep pilpres. Siji opo loro yo podho wae ono apike ana eleke,” kata bapakku.
Bapak mencoba menjelaskan kalau yang satu memang lantang. Kata-katanya
mengudara. Layaknya udara terkadang membuat orang yang penting menghirup.
Bagaimana kalau saya menawarkan yakinkah kalau setiap udara memberi manfaat
terhadap kesehatan (Kali ini mencoba menempatkan sebagai mahasiswa kesehatan),
jangan-jangan udara itu berasal dari pabrik yang tanpa filterisasi?
Lanjut, bapak mengatakan yang satu memang pinter
berkonsolidasi dengan negeri luar. Tapi bukankah banyak yang mengatakan pula,
pinter bisa wae keblinger? Bagaimana mungkin ia mendapat koalisi banyak secara cuma-cuma?
Lalu, yang dua lain memang ora patio pinter ngomong, ora patio pinter
berkonsolidasi kayaknya, tapi ya wes terbukti telapak kakine. “Indonesia saat
ini kan butuh orang yang memahat telapak kakinya menjadi cekungan-cekungan
sehingga membekas dari yang sekadar kata-kata yang mengudara to nduk?” “Yo
pancen, Pak,” terangku. Obrolan ini kami lakukan di samping rumah, saat bapak
sibuk mencangkul dan saya sibuk melihat matanya dan sesekali keringat yang
mengucur. Aku melihat gurat wajah dan otot-ototnya yang tak sekuat setahun
silam.
***
Malam hari, di depan televisi kami berebut
tayangan. Adekku yang tak mau memindah channel bola dan aku yang ingin
menyaksikan debat pilpres itu yang kata orang-orang ditunggu. Kupandangi
kandidat dalam memaparkan argumen, jelas yang satu terlihat seperti menghafal
teks dan mencoba mengingat-ngingatnya kembali agar tak salah. Urat di matanya
menegang dan terkesan khawatir salah. Begitu gerak-gerik tangannya kaku. Lalu,
sorak-sorai yang gemuruh bak petasan bumbung. Sementara yang dua lainnya ada
keluwesan dalam berbicara walau sering terbata. Ada ketulusan kata yang keluar
dengan lirih dari mulutnya. Begitu sorot mata yang tajam pertanda keresahan
akan suatu kondisi yang sedang pelik. Tangannya pun luwes dalam memperagakan.
Diayunkan ke kiri kanan nampak enak dilihat.
Saya melihat ada kesederhanaan di sana. Bukankah
pemimpin-pemimpin banyak yang identik dengan yang satu, dan hasilnya sudah bisa
ditebak? Asumsi saya dalam memilih berdasar atas analisis tersebut. Jika harus
meminta restu ibuk, tentu menjadi hal yang wajar. Apalagi bagi ibuk yang sudah
renta. Waktunya sebentar. Toh, ketulusan seorang ibuk dalam ngopeni anak juga
sudah terbukti dari bapak, misalnya. Dalam hadis saja tertulis, ibumu, ibumu,
ibumu, lalu ayahmu. Kewajaran tersebut saya masih mentolerir, toh saya dengan
ibuk misalnya seringkali saya yang memberi nasihat. Kami kolaborasi untuk
menentukan langkah. Jika pertimbangan usia wakil calon yang sudah tua, bukankah paus
yang memimpin vatikan jauh lebih renta? Ia mendapat predikat pemimpin yang
menentramkan. Para kiai misalnya, semakin tua semakin dipanggil ke sana-ke mari
untuk berceramah. Sebab, sepak terjangnya yang banyak.
Semoga pilihan kali pertamaku ini atas dasar
keyakinanku. Di luar itu Gusti maha semaha-mahanya. Tak ada penyesalan di
kemudian hari dan baik aku, kau, mereka, adalah cinta seperti kata Dewi Lestari.
Sama-sama Dewinya, semoga berkah Dewinya juga sama.
Akhirnya, dua lainnya itu adalah usahaku dalam
menentukan keyakinan diri. Saya yakin jika kelak memimpin dapat mencetak
telapak. Seperti keyakinanku kala itu untuk menghadirkan kembali pemimpin yang
dapat meramu keadaan bukan tanpa alasan. Tentu saya sudah sangat
mempertimbangkan. Ikhtiar terus ada, bukan semata sudah melakukan. Terpaan
angin begitu adanya wajar. Yakinilah potensi mengakrabi diri untuk bisa. Tentu,
saya hanya bisa memanjat doa dan menyalakan lilin kecil sekuat saya sesekali.
Tumpukan buku putih ini masih tertata rapi. Rekan
di sampingku sudah berlembar-lembar dalam mengetik. Mukanya serius dan sesekali
memegang kepala. Fokus saya gagal untuk menciumi bau buku ini. Ada yang jauh
lebih menarik. Sekian.