Senin, 07 Juli 2014

Ada Yang Lebih Menarik


Borges mengatakan manusia adalah makhluk pengembara. Sebab, saya manusia saya pun berusaha melakukan pengembaraan. Tanpa terasa saat ini saya harus benar-benar menerima bahwa saya telah melewati bulan berganti bulan. Enam bulan tepatnya. Awal tahun lalu, di Februari saya memproklamirkan diri atas saya. Hanya saya, kata, buku, bolpoin, dan route map.


Semenjak itu, saya baru membuka kembali buku yang tertindih dengan buku-buku lainnya. Saya nampak asing dengan buku tersebut. Kuusap sampul yang berdebu. Lalu kubuka perlahan. Ya, saya dikejutkan dengan route map yang saya buat sendiri. Begitu, saya meyakinkan diri bahwa itu bukan suatu kegagalan, namun ada hal yang jauh lebih menarik. Sebab menarik tersebut, saya memosisikan hal yang menarik mendekati keurgenan. Benar kala kemarin yang urgen adalah hal yang tak termaktub dalam buku tersebut. Maka, saya ingkar dengan apa yang telah saya tulis sendiri.

Saat ini pun saya tak merasa menyesal walau banyak yang meleset. Utamanya tugasku untuk menyelesaikan sebuah tulisan ilmiah sebagai syarat menyelesaikan tugas akhirku. Setiap kepulanganku ke rumah, selalu orang tua menanyakan hal tersebut. Walau dalam hati gundah, aku mencoba menjelaskan dengan tenang dan sedikit meyakinkan dan tak jarang juga membuat humor. Akhirnya pertanyaan yang serius itu berubah menjadi nasihat, “carilah ilmu yang bermanfaat, Nak. Usaha, percaya diri tak perlu menyombongkan diri.” Orang tua tentu menginginkan anaknya sukses. Namun, terkadang orang tua gebyah uyah untuk menyeragamkan kesuksesan. Lebih-lebih jika dihadapkan pada rumput tetangga.

Kepulanganku ke rumah terkadang menjadi candu. Lama tak pulang, sekali pulang harus memberi sedikit demi sedikit untaian narasi. Maka, sampai akhirnya saya mempunyai keyakinan untuk memperbaiki konsep-konsep yang belum pas. Seperti apa yang aku yakini dan atas pembenaranku dengan mengkaji dari beberapa aspek. Aku tak akan menyalahkan kondisi. Sebab, Tuhan ternyata maha penyeimbang. Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela tepat di India dan Afrika, sebab ia lah yang diutus Tuhan untuk memotong mata rantai yang kurang pas. Maka, menyalakan lilin dengan api yang kecil lebih baik dari mengutuk kegelapan. Jangan-jangan, saya, kau, ia, kamu adalah orang-orang yang diutus Tuhan untuk memperbaiki.
*** 

Kegagalanku dalam fokus memang payah. Seperti tulisan ini yang sedari awal aku buat maping dalam kepala untuk membahas rekan akrabku yang bernama skripsi toh gagal fokus, e malah membahas ini-itu. Akhirnya, prinsip saya adalah menulis dengan apa yang ada di kepala walau selintas. Justru hal itu yang lebih menantang dan membutuhkan kefokusan total untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Dibanding saya misalnya, yang merencanakan untuk membikin sebuah tulisan tentang suatu tema namun tidak jadi-jadi, kalang kabut. Tulisan ini yang tak pernah direncanakan aku yakinkan akan aku tuntaskan pada kursi ini. Sebelum tuntas tidak kuangkat pantatku. Begitu, dalam pembahasan tema-tema tertentu memang butuh pengkajian yang dalam. Namun satu hal, memulai lebih baik dari menunda. Kecuali urusan cinta, kau boleh sedikit menunda untuk memberi keyakinan diri hingga datang suatu waktu yang mengantarmu untuk menemu cinta. Sebab, tanpa diperintah cinta akan menuju pada cintanya.


Di meja ini, sedari tadi pukul 08.30 AM sudah tertumpuk tiga skripsi bersampul putih. Awalnya ingin kujadikan referensi atau sekadar pengetahuan saja untuk memulai membuka file skripsi yang terus terbengkalai ini. Kenyataannya, saya justru lebih tertarik dengan artikel-artikel yang di pos rekanku. Atau di saat kondisi panas menjelang pilpres ini saya tertarik membuka tulisan-tulisan seorang teman yang diangkat dari perspektif ke-ia-an. Bukan secara komunal. Nah, terkadang yang secara komunal tersebut yang syarat akan kepentingan. Maka, pada kondisi-kondisi tertentu mata saya harus jeli untuk menangkap perspektif. Tulisan Dewi Lestari misalnya, yang ia angkat dari perspektif ke-ia-an jauh lebih menarik dari pendukung yang mencoba untuk meyakinkan dengan nada yang sarkas.

Saya tidak banyak bicara terkait pilihan ini sebab saya ingin meneguhkan pilihan saya sebelum geger-gember seperti ini pada salah satu calon. Rekan-rekan di sekelilingku banyak yang menggebu akan pilihannya. Utamanya pada calon yang gaya bicaranya terkesan lantang namun tak tahu benar-benar berisi atau tidak? Dari debat-debat yang saya saksikan di layar kaca, saya misalnya tak terlalu mementingkan seberapa berisi kata-katanya. Namun, pandanganku justru tertarik pada kedip mata, sorot mata, dan gerak tangan (entah luwes atau kaku).

Kepulanganku beberapa waktu lalu ke rumah, walau dalam kondisi duka, saya sempat berdebat dengan bapakku. “Aku wes ora tak pikir susah arep pilpres. Siji opo loro yo podho wae ono apike ana eleke,” kata bapakku. Bapak mencoba menjelaskan kalau yang satu memang lantang. Kata-katanya mengudara. Layaknya udara terkadang membuat orang yang penting menghirup. Bagaimana kalau saya menawarkan yakinkah kalau setiap udara memberi manfaat terhadap kesehatan (Kali ini mencoba menempatkan sebagai mahasiswa kesehatan), jangan-jangan udara itu berasal dari pabrik yang tanpa filterisasi?

Lanjut, bapak mengatakan yang satu memang pinter berkonsolidasi dengan negeri luar. Tapi bukankah banyak yang mengatakan pula, pinter bisa wae keblinger? Bagaimana mungkin ia mendapat koalisi banyak secara cuma-cuma? Lalu, yang dua lain memang ora patio pinter ngomong, ora patio pinter berkonsolidasi kayaknya, tapi ya wes terbukti telapak kakine. “Indonesia saat ini kan butuh orang yang memahat telapak kakinya menjadi cekungan-cekungan sehingga membekas dari yang sekadar kata-kata yang mengudara to nduk?” “Yo pancen, Pak,” terangku. Obrolan ini kami lakukan di samping rumah, saat bapak sibuk mencangkul dan saya sibuk melihat matanya dan sesekali keringat yang mengucur. Aku melihat gurat wajah dan otot-ototnya yang tak sekuat setahun silam.
***

Malam hari, di depan televisi kami berebut tayangan. Adekku yang tak mau memindah channel bola dan aku yang ingin menyaksikan debat pilpres itu yang kata orang-orang ditunggu. Kupandangi kandidat dalam memaparkan argumen, jelas yang satu terlihat seperti menghafal teks dan mencoba mengingat-ngingatnya kembali agar tak salah. Urat di matanya menegang dan terkesan khawatir salah. Begitu gerak-gerik tangannya kaku. Lalu, sorak-sorai yang gemuruh bak petasan bumbung. Sementara yang dua lainnya ada keluwesan dalam berbicara walau sering terbata. Ada ketulusan kata yang keluar dengan lirih dari mulutnya. Begitu sorot mata yang tajam pertanda keresahan akan suatu kondisi yang sedang pelik. Tangannya pun luwes dalam memperagakan. Diayunkan ke kiri kanan nampak enak dilihat.

Saya melihat ada kesederhanaan di sana. Bukankah pemimpin-pemimpin banyak yang identik dengan yang satu, dan hasilnya sudah bisa ditebak? Asumsi saya dalam memilih berdasar atas analisis tersebut. Jika harus meminta restu ibuk, tentu menjadi hal yang wajar. Apalagi bagi ibuk yang sudah renta. Waktunya sebentar. Toh, ketulusan seorang ibuk dalam ngopeni anak juga sudah terbukti dari bapak, misalnya. Dalam hadis saja tertulis, ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu. Kewajaran tersebut saya masih mentolerir, toh saya dengan ibuk misalnya seringkali saya yang memberi nasihat. Kami kolaborasi untuk menentukan langkah. Jika pertimbangan usia wakil calon yang sudah tua, bukankah paus yang memimpin vatikan jauh lebih renta? Ia mendapat predikat pemimpin yang menentramkan. Para kiai misalnya, semakin tua semakin dipanggil ke sana-ke mari untuk berceramah. Sebab, sepak terjangnya yang banyak.

Semoga pilihan kali pertamaku ini atas dasar keyakinanku. Di luar itu Gusti maha semaha-mahanya. Tak ada penyesalan di kemudian hari dan baik aku, kau, mereka, adalah cinta seperti kata Dewi Lestari. Sama-sama Dewinya, semoga berkah Dewinya juga sama.

Akhirnya, dua lainnya itu adalah usahaku dalam menentukan keyakinan diri. Saya yakin jika kelak memimpin dapat mencetak telapak. Seperti keyakinanku kala itu untuk menghadirkan kembali pemimpin yang dapat meramu keadaan bukan tanpa alasan. Tentu saya sudah sangat mempertimbangkan. Ikhtiar terus ada, bukan semata sudah melakukan. Terpaan angin begitu adanya wajar. Yakinilah potensi mengakrabi diri untuk bisa. Tentu, saya hanya bisa memanjat doa dan menyalakan lilin kecil sekuat saya sesekali.

Tumpukan buku putih ini masih tertata rapi. Rekan di sampingku sudah berlembar-lembar dalam mengetik. Mukanya serius dan sesekali memegang kepala. Fokus saya gagal untuk menciumi bau buku ini. Ada yang jauh lebih menarik. Sekian.