Kau
Matamu menusuk pas di palung jantungku. Selayaknya itu, Kau transfer energi padaku. Aku, aku menahan sesak yang menggumpal. Lalu, mata yang tak kuasa lagi membendung deru akhirnya tumpah ruah. Banjir, entah ke mana bermuara. Selapis pakaian yang melekat pun kuyup. Barangkali juga mengalir di pangkumu.
Kau
Aku merasakan ngilu sengilu-ngilunya. Debar sedebar-debarnya. Dingin tanganmu bak di kutub menahan kuat. Entah apa yang membuat suhu tubuhmu begitu dingin? Aku terhempas lalu mengudara pada setiap langkah kata yang sempat menyumpal. Jika berat, aku semakin menarikmu kuat. Aku tak kuat. Lalu, Kau menuntunku dalam kata. Kau bisikkan suara dengan lirih namun bijak.
Kau
Hanya pada Kau kata bisa mengudara dengan enteng. Yang beribu hari lamanya saling tertindih dalam benak. Lalu, apa yang Kau lakukan saat ku terjaga dalam kata? Sempatkah Kau berpikir tentang Kau? Tentang deruku? Atau justru kebencian? Kau? Satu hal terima kasih.
Kau
Aku meredam untuk menduga akan esok. Barangkali akan mengeruhkan kalbu. Begitu, aku tak ingin menarik-narik kebetulan yang tak kebetulan. Aku pasrah. Kelak, aku tak minta untuk dipertimbangkan seperti yang Kau katakan. Namun, mari melangkah. Ikuti nurani. Jika "Kau tanya?", aku menjawab "selama ini, ya". Aku musti melangkah dengan atau tanpa Kau. Maka, ini aku.
Kau
Pada bulir tasbih aku selalu menyertakan Kau pada Tuhan. Aku tak perlu secepat kilat untuk gegabah mengungkap Kau. Pun tak perlu khawatir bila tak terungkap. Walau untuk meyakininya menanti tahun berganti beberapa tahun. Aku yakini, langkahku adalah langkah Kau saat ini atau kelak. Pula, langkah Tuhan aku yakini sebaik-baiknya langkah. Ia yang Maha semaha-mahanya. Maka, hanya pada Tuhan kuantar doa.
Kau
Hanya Tuhan dan semoga
Kau, Jen, yang senantiasa menemani obrolanku. Obrolan yang tak berujung ini. Kau, yang saat ini menjelma menjadi adam. Maka, Kau Jen.