Minggu, 17 Agustus 2014

Cerita Malam Kemerdekaan


Malam tadi, kami yang tergabung kawan-kawan ukm melakukan sebuah perenungan kecil. Para penggagas menamakan malam apresiasi mimbar nasionalisme. Mereka, Najib dari ukm kopma, Rouf dari ukm pramuka, dan Niam dari ukm ksr. Mendengar namanya saja, sebenarnya merinding. Iya gak sih? Kog songgone abot begitu? Malam seperti itu di tahun-tahun sebelumnya, selama empat tahun saya di sana, belum pernah ada. Jujur saja, sejak sore saya sedikit pesimis bahwa acara tersebut dapat dihadiri banyak kawan-kawan ukm dan terselenggara dengan baik.

Kami, kawan-kawan ukm biasanya disibukkan jauh-jauh hari dengan adanya persiapan upacara di universitas. Kawan Marching Band jauh-jauh hari mempersiapkan mayoret dan tabuhan yang yahud. Kawan Menwa, pramuka, ksr, pecinta alam pun telah siap dengan amunisinya. Kawan paduan suara pula mempersiapkan diri dengan tidak memakan goreng-gorengan demi menghasilkan suara merdu. Begitu, dandanan dan kostum yang terbaik. Benar, di subuh tadi, gedung ukm yang biasanya sepi tak ada aktivitas (sebab manusianya masih pada molor), nampak ramai. Dari bilik pintu, aku coba telusuri suara itu. Ya, mbakyu-mabkyu sedang memoles wajah, melukiskan potlot di alis, dan gincu merah muda di bibirnya. Begitu, kangmas-kangmas sambil di depan kaca menyibakkan rambut sembari mengolesi minyak. Pernik-pernik, seperti sabuk, topi, peluit, sepatu tak lupa ia lekatkan di tubuh dan sesekali maju-mundur di depan cermin. Mereka akan tampil di lapangan upacara untuk mempertunjukkan yang terbaik. Begitu, kawan ukm lain yang tak mengambil jatah biasanya akan lanjut meneruskan mimpi-mimpinya.
          
Bagi saya, upacara tak lebih dari sebuah seremonial. Pemimpin upacara yang memandu acara di tengah lapangan begitu Pembina yang dalam pidatonya selalu mengajak anak muda untuk mengisi kemerdekaan. Lalu timbul pertanyaan akan diisi seperti apa dan dengan cara apa? Atau dalam pidatonya akan membanggakan sudah banyak prestasi yang ditorehkan dalam kompetisi, olimpiade, dll. Saya begitu bangga dengan prestasi anak-anak muda Indonesia. Namun, alangkah baiknyakah pidato dalam acara-acara peringatan seperti kemerdekaan ini, dijabarkan dengan sebuah perenungan? Berapa banyak hutan yang gundul dan tekad untuk memperbaikinya? Apa saja capaian yang belum terlaksana dan strategi selanjutnya?
          
Benar, tak banyak yang hadir pada malam tadi. Kira-kira 20 orang saja. Itu saja ada yang pamit sebab belum mempersiapkan ospek, tugas ppl, dll. Wakidjo, anak muda yang menyuarakan gagasannya melalui musik malam tadi turut hadir. Ia menyanyikan beberapa lagu ciptaannya tentang kondisi Indonesia yang semakin miris. Begitu, sebuah puisi yang menyindir partai politik yang semakin beradu. “Ya begitullah kenyataannya. Melalui musik, saya akan tetap mengindonesia,” tuturnya.
          
Rouf, mantan ketua forum ukm tahun lalu mengulas sepak terjang presiden Indonesia dari Soekarno hingga Susilo, menyinggung pula Jokowi. Ia memaparkan kekuatan dan kelemahannya walau hanya dengan singkat dan barangkali meloncat-loncat. Kemudian, ada beberapa kawan yang memekikkan gagasannya melalui puisi dan lagu kebangsaan. Di akhir, kami sepakat untuk saling menutup rongga-rongga kemerdekaan yang belum terisi melalui penemuan jadi diri, karya, dan saling menjabat sesama. Dalam kesunyian itu, di bawah bersinarnya bintang, dan desir angin malam, kami bergandeng tangan untuk melantun sebuah doa. Sebab, kami meyakini bahwa Tuhan adalah segalanya dan doa adalah salah satu cara untuk menemu-Nya. Bertemu dengan-Nya, Tuhan akan melimpahkan kasih. Kasih yang tetap dijaga antar manusia dengan siapapun Tuhannya.
          
Kami hanya bisa bercerita pada malam kemerdekaan. Berawal dari cerita kegelisahan yang semoga bisa menular pada sebuah langkah kecil. Langkah para kawan ukm yang tetap menjaga semangat dan rasa kasih terhadap sesama lewat gagasan, kritikan, dan masukan untuk saling menguatkan. Kami faham, betapa jalan terjal seringkali menghampiri langkah para kawan-kawan ukm. Pertanyaan untuk mengejar langkah pribadi daripada bergabung dalam satu lembaga? Kewalahan mengatur waktu sebab menumpuknya tugas-tugas makalah? Sudah tak sejalan dengan visi lalu mundur tanpa mencoba untuk menyalakan lilin? Keputusasaan, dll? Saya meyakini tiada yang sia-sia. Kata salah satu rekan saya, ada waktunya sendiri di masing-masing fase dan Tuhan selalu mengasihi orang-orang yang berikhtiar. Kamu hanya butuh menyelesaikan, menyalakan lilin, mati, nyalakan kembali, dan fase selanjutnya akan menghampiri. Begitu siklusnya. Teringat sebuah tulisan GM, kira-kira begini, anak muda tak boleh berlebihan dalam menjaga optimisme, begitu tak perlu merasa pesimis. Jika saling berlebihan di keduanya, maka akan menjadikan oportunis. Ya, saya meyakini bahwa ikhtiar itu tiada usai.

Beberapa lilin yang dinyalakan di tengah-tengah kami semakin meredup. Kawan-kawan mulai berpamitan. Beberapa masih tetap duduk melingkar di tikar sembari bercerita kembali. Entah kami senang bercerita. Walau cerita itu tak musti lanjut, kita hanya perlu untuk mengakrabi cerita. Yang terpenting ikhtiar untuk bercerita tetap ada, sebaik-baiknya berikhtiar dan bercerita. Setelahnya, Tuhan yang menuntun.