Jalan.
Berjalan. Hidup ini berada pada peraduan perjalanan. Dulu, saya mengenyam
bangku sekolah dasar. Kini, bangku perantauan. Pada perjalanan itu, tentu saya
lewati bersama kawan. Banyak kawan-kawanku yang turut melewati perjalanan
bersama namun sendiri. Dua diantaranya, kawanku Fita Fatimah dan Winarti
Wulandari. Mereka kawan sedari sekolah dasar hingga kini di kampus yang sama dan
beberapa sore ke depan.
Kakiku
sedikit sakit digerakkan. Kutengok, ternyata ada ukiran lecet-lecet dan
beberapa lebam. Tanpa sadar kami sudah nyungsep di tepian sawah dekat jalan
menuju sekolah dasar. Kami tertawa lalu berdiri dan mengayuh kembali sepeda. Begitu,
kenang saya pada peristiwa mengharukan sekaligus menggelikan kala itu. Kelas empat
sekolah dasar, saya duduk satu bangku dengan fita begitu panggilan akrabnya. Entah,
sering sekali buku pelajaran fita tertinggal di rumah. Ia yang selalu rangking
satu dan saya yang menduduki rangking dua di sekolah sudah terkenal
kepintarannya. Maksudnya kepintaran fita ya. Sebab seringnya belajar
berpindah-pindah ruangan di rumah, barangkali bukunya menyebar. Alhasil, sampai
terlupa dimasukkan tas. Maklum rumahnya gedhe.
Peristiwa kecelakaan kecil tersebut terjadi
saat menuju sekolah dari rumahnya. Seperti biasa, ada saja bukunya yang
tertinggal di rumah. Saat istirahat, saya paling senang jika diajak ia pulang
ke rumah. Kurang lebih sepuluh menit dari sekolah. Berpulang ke rumah fita akan
menghemat uang sakuku. Saya selalu minta air es, lebih-lebih jika dikasih jajan
atau ditawari makan. Awalnya malu-malu namun akhirnya malu-maluin. He. Ya, saya
ingat betul kala itu masih jarang sekali di desa yang mempunyai kulkas. Ibuku sebenarnya
punya, namun freezer. Maklum ibuku penjual es lilin yang disetor dari sekolah
ke sekolah kala itu. Sempat saya ingin sekali pergi sekolah membawa air dingin.
Subuh, kumasukkan air dalam botol aqua ke freezer. Berharap pas mau berangkat
sekolah belum menjadi es. Eeee…ternyata ibuku membesarkan putaran freezer dengan
maksud agar es matang sempurna sebelum disetor. Duh, walhasil menjadi es batu
aqua. Begitu terjadi beberapa kali dan sempat menangis karena kesal.
Melewati
perjalanan di sekolah dasar tiba-tiba kami dihadapkan pada perjalanan
selanjutnya. Saya kala itu mencita-citakan sekolah di negeri dengan sejuta
harapan. Ternyata kenyataan berkata lain. Nilai tak memenuhi di dua sekolah
negeri terdekat yang kuincar. Satu-satunya yang keterima di sekolah negeri
hanya fita. Sempat pula punya niat tak ingin melanjutkan. Namun, mana mungkin diijinkan
orang tua. Pasrah lah. Di akhir-akhir penutupan sekolah, ibuku mengantar ke
sekolah swasta di tetangga desa.
Tuhan
memang akan memberi jarak pada harapan dan kenyataan. Begitu agar manusia
berikhtiar dan tetap melantunkan Ia pada setiap tarikan napas. Di perjalanan selanjutnya,
Tuhan mempertemukan saya dengan winarti wulandari. Win, begitu saya
memanggilnya. Kami teman sedari sd. Namun, mulai akrab semenjak smp. Saya melihat
ada kepribadian yang unik darinya. Ia seorang yang lemah gemulai. Ada pula
mungkin yang menyebutnya klemar-klemer. Namun yang pasti otaknya encer. Ia mengatakan
butuh waktu untuk mencerna segala hal untuk berpikir jernih. Maka tak heran
bentuk keterpelanannya dalam bersikap tersebut adalah fase berpikirnya. Ia lebih
cenderung diam. Namun kediamannya itu benar-benar diam yang berisi. Terbukti ia
selalu menduduki tiga besar di smp. Sebab ia pula cantik, mempunyai kulit yang
putih, aku yakin kala itu ia sempat ditaksir guru yang masih lajang di salah
satu pelajaran hitung-hitungan yang juga pelatih marching band. Win, sejak duduk di kelas satu terpilih menjadi
anggota marching band. Sempat ingin
dijadikan mayoret namun ia tak mau. Tak mungkin pula ia seorang yang tidak
hiperaktif. He
Saya
dengannya lebih sering mengobrol makanan. Ibunya pandai memasak jenis masakan
baru bagiku. Di jumat libur sekolah, sering saya main ke rumahnya. Kami membuat
pisang goreng coklat, kripik sukun, atau masak yang lainnya. Rumahnya banyak
pepohonan dan buah-buahan. Rindang, begitu rindang sekali hatiku saat berada di
rumahnya. Saat pulang dari rumahnya saya minta tanaman, lalu ditanam di rumah. Dua
tiga pekan ke depan tanaman sudah mati sebab tak cocok ditanam di pelataran
rumah yang sempit dan panas. Begitu terjadi beberapa kali.
Perjalanan
lalu beranjak ke sekolah menengah. Di lingkungan saya, sekolah di negeri begitu
diidamkan. Orang mengatakan kalau sekolah di negeri itu rumahnya orang-orang
pinter. Padahal juga belum tentu. Kalau bagi keluargaku, di negeri itu yang
lebih murah. Sebab ada subsidi dari pemerintah kala itu. Ya, kami keterima di
sekolah negeri yang begitu mewah (mepet sawah). Setiap hari mandi sauna. Saking
seringnya, hampir-hampir langganan terserang flu di saban bulannya. Maklum sekolah
kami dekat dengan para pembuat batu bata. Jadi,………
Kami
bertiga naek sepeda onthel ke sekolah. Pulang pergi melewati jalanan terjal offroad. Kanan kiri sawah, tenda-tenda
pembakaran batu bata, dan jembatan yang tinggi. Hal yang mengesankan, kami
harus melewati jembatan yang cukup tinggi. Kami sering beradu untuk menaikinya
dengan mengendarai sepeda dan mengayuh secepat-cepatnya. “Yee….aku menang,” teriak salah satu dari
kami. Semua dari kami pernah hampir menabrak orang ketika menuruni jembatan. Entah
yang remnya blong tetap dipaksain, tidak fokus, kendala lubangan, atau sebab
terburu-buru.
Saya
dan fita, kala sekolah menengah juga mendapat giliran ngaji di mushola setiap
pagi sebelum masuk kelas. Sebab, itu atas kerelaan diri kami membuat jadwal
antar teman disesuaikan jadwal sendiri. Kami berangkat dari rumah setengah
enam. Sering aku menunggu fita di rumah telat lima-sepuluh menit. Lalu kami
berangkat bareng. Kalau masih pagi, udaranya masih segar dan tak banyak lalu
lalang kendaraan. Sesampai masuk di kelas, Win akan memberi komentar. “Hei
kamu, bacaannya ada yang salah.” “Hei kamu, ngajinya terlalu pelan.” “Hei, kamu……”
Sekolah
kami memang religius namun hanya untuk pemeluk islam. Mushola pasti rame. Sholat
duha, sholat dhuhur berjamaah, ngaji sebelum dan sepulang kelas dimulai dan
diakhiri, ditambah ketika ada acara-acara keislaman tertentu. Sayang, begitu
belum bisa dinikmati mereka yang beragama Kristen, protestan, hindhu, budha,
konghuchu. Tidak tahu kalau sekarang. Namun, saat di kelas satu, ada satu
kawanku yang beragama Kristen. Esthi namanya. Ia selalu membawa bibel ke
sekolah. Terkadang aku pinjam untuk kubaca dan minta diceritakan bagaimana ia
beribadah dan kegiatan apa saja yang dilakukan di gereja. Pernah pula kami menjilbabinya
dengan taplak meja guru. Kami semua berkomentar, “Ih cantik.”
Tiga
putri paren (paren = desa kami) ini, kini bersiap untuk melakukan perjalanan
selanjutnya. Kami faham, setelah ini, barangkali tak bisa bersama mengikuti
ritme perjalanan. Saya membayangkan, kamu, Win, akan mempunyai butik dengan
puluhan atau bahkan ratusan karyawan. Win, agaknya kamu kurang cocok menjadi
guru. Maka, kamu, Ta, akan menjadi pengajar dari banyak anak-anak(ku) dan kelak
akan menjadi Professor di bidang ilmu pengetahuan alam. Dan saya, akan menjadi
Dewi di mana pun dan menjadi apapun tetap bernama Dewi. He.
Kawan
bukan lah ia yang hanya bertemu dan bersama. Bukan pula yang selalu menyediakan
pundaknya di kala duka. Aku justru, memaknai kawanku di saat gembira. Seperti
kegembiraan kemarin saat kita makan popmie di tepian pantai. Kawan bukan untuk
memintanya ada atau memberikan pundaknya di saat dicoba Tuhan. Ritme
terjatuhnya seseorang dalam lubangan saat di perjalanan menjadi hal wajar. Hanya
butuh berdiri lalu bangkit dan melanjutkannya kembali. Seperti film the diary
motorcycle. Bukan untuk meyakini siapa yang benar-benar kawan atau tidak. Ujian
hanya soal diri, bukan untuk menilai orang lain. Orang lain hanya nilai plus
dari mungkin kebaikan di masa sebelumnya atau memang manusia itu sejatinya
baik.
Lalu,
saya membayangkan perkawanan Muhammad dengan bilal dan sahabat-sahabat lainnya,
perkawanan Enstein dengan Maric dan istri keduanya, kepada Romain Rolland
seorang penulis besar Perancis, kepada rakyat Belgia, perkawanan para petani
perempuan di Rembang, perkawanan penulis dengan pembaca, hingga perkawanan jasad
dengan ruh.
Ta,
Win, kau kawanku. Tanpa harus kusebut persahabatan atau apapun, aku lebih suka
dengan kawan. Kau sampai kapan pun. Hadirnya Kau bukan untuk menarik-narik
kebetulan yang tak kebetulan, atau meyakini Takdir Tuhan bahwa kau memang
diciptakan untuk menjadi kawanku. Begitu jika dimaknai dalam peristiwa lain. Kau
dan semua kawanku yang lain yang hadir dalam perjalananku Terima kasih. Kawan
yang kusebut Mbah, Om, Pak, Bu, Mbak, Mas, nama, Dek, Bro, Sis, Mbul, Yu, Krep,
dll. Semua kawanku tak berbatas usia dan siapa. Perjalanan begitu tiada bertemu
tanda titik. Mari, nikmati di setiap koma, petik satu, petik dua, tanda seru,
tanda Tanya, dan berpuluh tanda lainnya. Semoga kita tak saling berlebih-lebihan
dan saling menepuk pundak.
Entah,
saat saya menulis selalu terbuai dengan ingatan dan begitu ingin sekali
dirangkai. Panjang, mungkin pula boseni.
Doa
dan peluk dariku
Dewi
Maghfi | Paren, rumah lahir, 8/3/2014