Minggu, 03 Agustus 2014

Kawan




Jalan. Berjalan. Hidup ini berada pada peraduan perjalanan. Dulu, saya mengenyam bangku sekolah dasar. Kini, bangku perantauan. Pada perjalanan itu, tentu saya lewati bersama kawan. Banyak kawan-kawanku yang turut melewati perjalanan bersama namun sendiri. Dua diantaranya, kawanku Fita Fatimah dan Winarti Wulandari. Mereka kawan sedari sekolah dasar hingga kini di kampus yang sama dan beberapa sore ke depan.

Kakiku sedikit sakit digerakkan. Kutengok, ternyata ada ukiran lecet-lecet dan beberapa lebam. Tanpa sadar kami sudah nyungsep di tepian sawah dekat jalan menuju sekolah dasar. Kami tertawa lalu berdiri dan mengayuh kembali sepeda. Begitu, kenang saya pada peristiwa mengharukan sekaligus menggelikan kala itu. Kelas empat sekolah dasar, saya duduk satu bangku dengan fita begitu panggilan akrabnya. Entah, sering sekali buku pelajaran fita tertinggal di rumah. Ia yang selalu rangking satu dan saya yang menduduki rangking dua di sekolah sudah terkenal kepintarannya. Maksudnya kepintaran fita ya. Sebab seringnya belajar berpindah-pindah ruangan di rumah, barangkali bukunya menyebar. Alhasil, sampai terlupa dimasukkan tas. Maklum rumahnya gedhe.

Peristiwa kecelakaan kecil tersebut terjadi saat menuju sekolah dari rumahnya. Seperti biasa, ada saja bukunya yang tertinggal di rumah. Saat istirahat, saya paling senang jika diajak ia pulang ke rumah. Kurang lebih sepuluh menit dari sekolah. Berpulang ke rumah fita akan menghemat uang sakuku. Saya selalu minta air es, lebih-lebih jika dikasih jajan atau ditawari makan. Awalnya malu-malu namun akhirnya malu-maluin. He. Ya, saya ingat betul kala itu masih jarang sekali di desa yang mempunyai kulkas. Ibuku sebenarnya punya, namun freezer. Maklum ibuku penjual es lilin yang disetor dari sekolah ke sekolah kala itu. Sempat saya ingin sekali pergi sekolah membawa air dingin. Subuh, kumasukkan air dalam botol aqua ke freezer. Berharap pas mau berangkat sekolah belum menjadi es. Eeee…ternyata ibuku membesarkan putaran freezer dengan maksud agar es matang sempurna sebelum disetor. Duh, walhasil menjadi es batu aqua. Begitu terjadi beberapa kali dan sempat menangis karena kesal.

Melewati perjalanan di sekolah dasar tiba-tiba kami dihadapkan pada perjalanan selanjutnya. Saya kala itu mencita-citakan sekolah di negeri dengan sejuta harapan. Ternyata kenyataan berkata lain. Nilai tak memenuhi di dua sekolah negeri terdekat yang kuincar. Satu-satunya yang keterima di sekolah negeri hanya fita. Sempat pula punya niat tak ingin melanjutkan. Namun, mana mungkin diijinkan orang tua. Pasrah lah. Di akhir-akhir penutupan sekolah, ibuku mengantar ke sekolah swasta di tetangga desa.

Tuhan memang akan memberi jarak pada harapan dan kenyataan. Begitu agar manusia berikhtiar dan tetap melantunkan Ia pada setiap tarikan napas. Di perjalanan selanjutnya, Tuhan mempertemukan saya dengan winarti wulandari. Win, begitu saya memanggilnya. Kami teman sedari sd. Namun, mulai akrab semenjak smp. Saya melihat ada kepribadian yang unik darinya. Ia seorang yang lemah gemulai. Ada pula mungkin yang menyebutnya klemar-klemer. Namun yang pasti otaknya encer. Ia mengatakan butuh waktu untuk mencerna segala hal untuk berpikir jernih. Maka tak heran bentuk keterpelanannya dalam bersikap tersebut adalah fase berpikirnya. Ia lebih cenderung diam. Namun kediamannya itu benar-benar diam yang berisi. Terbukti ia selalu menduduki tiga besar di smp. Sebab ia pula cantik, mempunyai kulit yang putih, aku yakin kala itu ia sempat ditaksir guru yang masih lajang di salah satu pelajaran hitung-hitungan yang juga pelatih marching band. Win, sejak duduk di kelas satu terpilih menjadi anggota marching band. Sempat ingin dijadikan mayoret namun ia tak mau. Tak mungkin pula ia seorang yang tidak hiperaktif. He

Saya dengannya lebih sering mengobrol makanan. Ibunya pandai memasak jenis masakan baru bagiku. Di jumat libur sekolah, sering saya main ke rumahnya. Kami membuat pisang goreng coklat, kripik sukun, atau masak yang lainnya. Rumahnya banyak pepohonan dan buah-buahan. Rindang, begitu rindang sekali hatiku saat berada di rumahnya. Saat pulang dari rumahnya saya minta tanaman, lalu ditanam di rumah. Dua tiga pekan ke depan tanaman sudah mati sebab tak cocok ditanam di pelataran rumah yang sempit dan panas. Begitu terjadi beberapa kali.

Perjalanan lalu beranjak ke sekolah menengah. Di lingkungan saya, sekolah di negeri begitu diidamkan. Orang mengatakan kalau sekolah di negeri itu rumahnya orang-orang pinter. Padahal juga belum tentu. Kalau bagi keluargaku, di negeri itu yang lebih murah. Sebab ada subsidi dari pemerintah kala itu. Ya, kami keterima di sekolah negeri yang begitu mewah (mepet sawah). Setiap hari mandi sauna. Saking seringnya, hampir-hampir langganan terserang flu di saban bulannya. Maklum sekolah kami dekat dengan para pembuat batu bata. Jadi,………

Kami bertiga naek sepeda onthel ke sekolah. Pulang pergi melewati jalanan terjal offroad. Kanan kiri sawah, tenda-tenda pembakaran batu bata, dan jembatan yang tinggi. Hal yang mengesankan, kami harus melewati jembatan yang cukup tinggi. Kami sering beradu untuk menaikinya dengan mengendarai sepeda dan mengayuh secepat-cepatnya.  “Yee….aku menang,” teriak salah satu dari kami. Semua dari kami pernah hampir menabrak orang ketika menuruni jembatan. Entah yang remnya blong tetap dipaksain, tidak fokus, kendala lubangan, atau sebab terburu-buru.

Saya dan fita, kala sekolah menengah juga mendapat giliran ngaji di mushola setiap pagi sebelum masuk kelas. Sebab, itu atas kerelaan diri kami membuat jadwal antar teman disesuaikan jadwal sendiri. Kami berangkat dari rumah setengah enam. Sering aku menunggu fita di rumah telat lima-sepuluh menit. Lalu kami berangkat bareng. Kalau masih pagi, udaranya masih segar dan tak banyak lalu lalang kendaraan. Sesampai masuk di kelas, Win akan memberi komentar. “Hei kamu, bacaannya ada yang salah.” “Hei kamu, ngajinya terlalu pelan.” “Hei, kamu……”

Sekolah kami memang religius namun hanya untuk pemeluk islam. Mushola pasti rame. Sholat duha, sholat dhuhur berjamaah, ngaji sebelum dan sepulang kelas dimulai dan diakhiri, ditambah ketika ada acara-acara keislaman tertentu. Sayang, begitu belum bisa dinikmati mereka yang beragama Kristen, protestan, hindhu, budha, konghuchu. Tidak tahu kalau sekarang. Namun, saat di kelas satu, ada satu kawanku yang beragama Kristen. Esthi namanya. Ia selalu membawa bibel ke sekolah. Terkadang aku pinjam untuk kubaca dan minta diceritakan bagaimana ia beribadah dan kegiatan apa saja yang dilakukan di gereja. Pernah pula kami menjilbabinya dengan taplak meja guru. Kami semua berkomentar, “Ih cantik.”

Tiga putri paren (paren = desa kami) ini, kini bersiap untuk melakukan perjalanan selanjutnya. Kami faham, setelah ini, barangkali tak bisa bersama mengikuti ritme perjalanan. Saya membayangkan, kamu, Win, akan mempunyai butik dengan puluhan atau bahkan ratusan karyawan. Win, agaknya kamu kurang cocok menjadi guru. Maka, kamu, Ta, akan menjadi pengajar dari banyak anak-anak(ku) dan kelak akan menjadi Professor di bidang ilmu pengetahuan alam. Dan saya, akan menjadi Dewi di mana pun dan menjadi apapun tetap bernama Dewi. He.

Kawan bukan lah ia yang hanya bertemu dan bersama. Bukan pula yang selalu menyediakan pundaknya di kala duka. Aku justru, memaknai kawanku di saat gembira. Seperti kegembiraan kemarin saat kita makan popmie di tepian pantai. Kawan bukan untuk memintanya ada atau memberikan pundaknya di saat dicoba Tuhan. Ritme terjatuhnya seseorang dalam lubangan saat di perjalanan menjadi hal wajar. Hanya butuh berdiri lalu bangkit dan melanjutkannya kembali. Seperti film the diary motorcycle. Bukan untuk meyakini siapa yang benar-benar kawan atau tidak. Ujian hanya soal diri, bukan untuk menilai orang lain. Orang lain hanya nilai plus dari mungkin kebaikan di masa sebelumnya atau memang manusia itu sejatinya baik.

Lalu, saya membayangkan perkawanan Muhammad dengan bilal dan sahabat-sahabat lainnya, perkawanan Enstein dengan Maric dan istri keduanya, kepada Romain Rolland seorang penulis besar Perancis, kepada rakyat Belgia, perkawanan para petani perempuan di Rembang, perkawanan penulis dengan pembaca, hingga perkawanan jasad dengan ruh.

Ta, Win, kau kawanku. Tanpa harus kusebut persahabatan atau apapun, aku lebih suka dengan kawan. Kau sampai kapan pun. Hadirnya Kau bukan untuk menarik-narik kebetulan yang tak kebetulan, atau meyakini Takdir Tuhan bahwa kau memang diciptakan untuk menjadi kawanku. Begitu jika dimaknai dalam peristiwa lain. Kau dan semua kawanku yang lain yang hadir dalam perjalananku Terima kasih. Kawan yang kusebut Mbah, Om, Pak, Bu, Mbak, Mas, nama, Dek, Bro, Sis, Mbul, Yu, Krep, dll. Semua kawanku tak berbatas usia dan siapa. Perjalanan begitu tiada bertemu tanda titik. Mari, nikmati di setiap koma, petik satu, petik dua, tanda seru, tanda Tanya, dan berpuluh tanda lainnya. Semoga kita tak saling berlebih-lebihan dan saling menepuk pundak.

Entah, saat saya menulis selalu terbuai dengan ingatan dan begitu ingin sekali dirangkai. Panjang, mungkin pula boseni.

Doa dan peluk dariku

            Dewi Maghfi | Paren, rumah lahir, 8/3/2014