Baru-baru ini dunia maya digegerkan ketika ditemukan seorang bocah
(3 tahun) tak bernyawa di pantai dekat kota wisata Bodrum, Turki. Ia adalah
Aylan Kurdi. Bersama orang tua dan ribuan orang lainnya ia meninggalkan negeri
mereka yang dihancurkan oleh kebiadaban kelompok bersenjata Negeri Islam di
Irak dan Suriah (NIIS). Mereka membunuh siapa pun yang dianggap bukan bagian
dari mereka.
Hingga akhir tahun 2014, PBB mencatat konflik di Suriah, Libya,
Afganistan, dan beberapa negara Afrika menyebabkan ratusan ribu orang meninggal
dan 60 juta lainnya mengungsi. UNHR mencatat jumlah pengungsi di Timur Tengah
dan Afrika Utara meningkat 19 persen, di Asia 31 Persen, dan Eropa 51 persen
seperti dilansir Kompas, Sabtu (13/9).
Aylan hanyalah satu dari korban anak yang jasadnya ditemukan
secara mengenaskan. Masih banyak anak-anak lainnya yang mengalami nasib yang
sama. Selayaknya bocah berusia 3 tahun yang mestinya menikmati masa-masa
bermain untuk tumbuh kembang, ia melepas nyawanya dengan mengenaskan. Paru-paru
seorang bocah yang belum sempurna kemasukan air bahkan mungkin berjam-jam atau
berhari-hari. Betapa pedih matanya terkena air laut. Tubuh yang membiru sebab
dinginnya air laut. Membayangkan bocah sekecil itu meregang nyawa di lautan
lepas, membuat hati saya teraduk-aduk.
Orang-orang dewasa yang mengatasnamakan agama telah menabuh gong
peperangan pada siapa saja. Orang-orang yang menjadi musuhnya adalah sesama
orang dewasa. Tapi lihatlah, anak-anak yang menjadi imbasnya. Sedari kecil,
anak dihadapkan pada kekerasan, perlakuan bejat, hingga kematian di tangan
orang dewasa. Itu semua sebab laku biadab orang dewasa.
Anak merupakan masa depan. Anak mengandung hal-hal yang
memesonakan. Rabindranath Tagore bersyair dalam Gitanyali tentang dimana anak-anak
berkumpul, bermain, dan mencipta. “Di pantai dunia tiada terbatas,” kata
Tagore. Di sana mereka mendirikan rumah-rumahan pasir dan bermain lakon kosong.
Di sana mereka menganyam kapal-kapal dari dedaunan kering dan melayarkannya
sambil tertawa ria. Di sana pula Aylan tertelungkup tak bernyawa!
Lalu mengapa mesti ada agama jika bukannya menuntun pada cahaya
ilahi, tapi justru menghabisi dengan cara-cara yang keji? Benarkah pengatasnamaan
agama oleh sebagian kelompok untuk meraih ridho ilahi? Lalu dengan cara apakah
tingkat keimanan seseorang ternilai?
“Ah, itu bukan ajaran agama. Orangnya saja yang punya
kepentingan,” terang Darman di sebelahku. “Apakah agama dan kepentingan mesti
dipisahkan dalam bagian tersendiri? Setahu saya agama adalah pedoman kehidupan
dan kepentingan adalah bagian dalam kehidupan? Sekalipun agama, ia baru hadir
kemudian setelah Adam dan Hawa diciptakan, setelah manusia terseok-seok
menjalani urip, baru agama hadir untuk menyempurnakan?
Bukankah jika kita ini benar manusia, mestinya mempunyai naluri kemanusiaan?
Ah, Dar. Dunyo iki karepe piye ora
mudeng….”
Mengakui agama satu yang benar memang berdampak pada fanatisme.
Katakanlah islam sebagai agama yang benar. Namun, islam juga agama yang
rahmatan lil ‘alamin. Dalam ayat-ayat al-Quran memang nampak ada ayat-ayat yang
paradoksal. Semisal, islam sebagai agama yang benar atau penyempurna. Namun ada
ayat yang mengatakan agamaku agamaku, agamamu agamamu. Dalam tafsir Al-Misbah
karya Quraish Shihab dikatakan bahwa penafsiran tidak bersifat kaku dan berdiri
sendiri. Selalu ada asbabun nuzulnya. Bisa dikatakan luwes untuk menyempurnakan
jalan urip saat ini. Dalam arti, menafsir ayat-ayat Quran untuk menuntun hidup
sezaman ini begitu penting. Al Quran sebagai penuntun hidup bukan untuk merusak
naluri kemanusiaan. Aneh bukan jika seorang disebut manusia tapi mengingkari
kemanusiaannya, Dar? Dan terjebaklah pada hal-hal yang berbau ekstrimisme.
Biadabnya, hal macam itu kencang disuarakan mengatasnamakan agama!
Saya pernah membaca sebuah buku, ada seorang dokter yang awalnya
menjadi relawan bagi pengungsi di Timur Tengah. Akhirnya ia menulis cerita
tentang kebiadaban kelompok ekstrimisme. Di buku tersebut bahkan ia menulis
“Agama saya bernama kemanusiaan.” Barangkali berangkat atas kekecewaan dan
kepedihan yang mendalam ia mengibarkan bendera kemanusiaan. Apalah arti agama
itu jika…. Namun, agama tetap suci. Agama menjadi penuntun urip dari dan
menuju-Nya. Laku sekelompok orang lah yang telah melukai agama. Agama,
keimanan, tak sesiapa pun yang bisa menilai. Saya yakin dalam diri tiap manusia
ada ‘hakikat’ untuk kembali pada-Nya. Entah namanya ruh, jiwa, fuad, naluri,
pikiran atau apalah. Tinggal tiap manusia menuntun yang hakikat itu dalam laku
keseharian dengan sungguh-sungguh, bi
jaddin istilah lainnya.
Sesungguhnya jika di Bumi ini hanyalah terminal menuju yang kekal,
kita berarti tinggal menunggu kiamat datang. Dan kemunculan Djajallah yang
ditakutkan. Tangannya adalah gergaji yang siap membelah tubuh siapa saja yang
tak mengikutinya. Lalu melumurinya dengan garam. Bukankah Djajal tersebut
sungguhlah diri kita sendiri, Dar?
Dewi Maghfi, manusia yang mencari
makna kemanusiaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar