Selasa, 11 Maret 2014

Aku (Tak Lagi) Lacur

Aku hanya aku. Aku bukan kamu, ia, dia, dan kalian. Ini hanya sebuah permainan sosial.
 
Aku seorang lacur. Setiap hari aku memoles tubuhku dengan balutan busana seadanya. Jika kamu menggunakan bra sebagai pendukung busana bagian terdalam bahkan rahasia, tidak dengan aku. Aku bisa menggunakan bra sebagai busana terluarku ke mana saja. Ke mall, pantai, mushola, gereja.
 
Ia selalu mencibirku. Dia lebih-lebih sering menggunjingku. Aku dinilai tak bermoral. Aku hanya wanita lacur yang tak pantas hidup bermasyarakat. Aku patut diasingkan ke sebuah daerah yang sama-sama hidup dengan lacur. Kehidupanku dikecam banyak orang. Lebih-lebih keberadaanku yang tak lain membawa bencana. Sering aku digunjingkan sebagai penyebab menyebarnya penyakit mematikan, AIDS. Aku dibilang hina sehina-hinanya manusia. 

Ah, kalian, dia, ia, dan kamu bukan aku. Aku bertanggungjawab atas diriku. Tak ada lain lagi yang memedulikan aku (kami yang senasib). Apa mereka yang duduk di kursi kekuasaan pernah memperjuangkan kami agar dipandang sama dengan pekerjaan lain? Tidak. Justru mereka yang membuat aku begini. Ia yang bisa membeli aku kapanpun. Iming-iming segepok uang yang ia sisipkan di sela-sela payudaraku, aku tak dapat berkutik. Ya, aku memang butuh makan. Begitupula dengan kamu bukan? Sebenarnya jika sekadar makan aku bisa makan seadanya. Nandur bayam dan kacang-kacangan di perumahan rumah bisa memenuhi kebutuhan makan sepanjang hari. Namun, hidup bermasyarakat ternyata tak hanya menyoal makan saja. Bahkan semuanya diatur. Dari masalah busana, papan yang aku tinggali, hingga pemaknaan sukses. Orang yang punya kemewahan materil berupa rumah mewah, mobil, perhiasan, akan dibangga-banggakan dalam masyarakat. Walaupun ia bodho. Lantas, ia mengambil kuasa dalam masyarakat. 

Sementara aku (mereka) yang punya pemikiran yang bisa dikembangkan, sama sekali tak dianggap. Aku dinilai tak berjasa ketika tak ada hal konkrit yang diberikan. Padahal yang kasatmata itu yang selalu menyilaukan mata. Tingkatan pendedahan hal-hal yang abstrak berupa pemikiran yang sering kali diabaikan. Lantas mau gimana lagi? 

Kalian yang selalu menyeragamkan di setiap makna kehidupanlah yang membuat kami memilih pekerjaan lacur ini. Kami hanya ingin bersanding sama dengan kalian. Rumah, kendaraan, dan perhiasan. Apa pernah sehari saja ia dan dia tak membincang soal penyeragaman makna tersebut. Tentu tidak akan pernah terjadi. 

Aku merantau di kota fana ini hanya sebab satu alasan, aku dan keluargaku ingin sama-sama dipandang ‘ada’ atau ‘hidup’. Kota fana ini telah lama aku kenal sejak lulus SD. Aku tahu pun dari kamu. Kamu yang awalnya mengajak aku ke sini. Kota dengan sejuta selundupan barang-barang elektronik. Kota yang sengaja disinggahi para bule hanya untuk memuja kelamin. Kota yang riuh dengan sorak-sorak manusia. Kota, kota, dan kota.

Ah, kenapa aku yang dari desa terpencil bisa mendua di kota besar ini. Kehidupan di sini terlalu gamblang untukku. Jika aku bearda di desa, sekat-sekat masih ada, sebab kultur yang menuntut. Masyarakat yang menghukum. Namun, di kota ini semua orang sibuk dengan kelamin masing-masing. Bukan lagi pintu-pintu remang yang ditutupi namun dibuatkan istana emas untuk menarik seorang masuk. 

Aku senang jika keluargaku di rumah tak diremehkan. Aku yang berada di sini cukup memberi senyum kecil di tengah keluarga. Aku yakini, ini memang pekerjaan terkutuk. Tapi aku yang bertanggungjawab atas kelaminku. jika menyoal penyakit yang diakibatkan, kalian cukup membekali kami dan menunjukkan cara yang aman. Sudah itu saja. 

Memperdebatkan Ruang Seni 
Michel Foucault membedakan seks dari seksualitas. Seks merujuk pada sistem biologis dari pria dan wanita. Sementara seksualitas cara orang menggunakan energi manusiawi dan kenikmatan manusiawinya demi menghasilkan kebenaran. Seksualitas merupakan konstruksi sosial. Foucault juga memahami seksualitas dalam korelasi antara kekuasan dan seks. 

Sementara Kribbe memahami seksualitas dalam arti rohani, yakni tarian bersama antara energi pria dan wanita. Dalam seni tari tersebut keterlibatan kepriaan dan kewanitaan harus memenuhi empat level. Tarian pertama yakni, level fisik. Tubuh manusia bukanlah sesuatu negatif. Ia mengetahui hasrat seksual atau nafsu badani yang muncul secara spontan. 

Tarian kedua, level emosional. Kesanggupan memahami simton fisik tanpa menyertakan dinamisme emosi, membuat seseorang tidak menghargai dan menghormati tubuh. Sementara semakin dalam pengetahuan seseorang, maka semakin bertanggungjawab atas tindakan seksualitas. Tarian ketiga, level hati. Perasaan menjadi wilayah intuisi dan pengetahuan batin. Perasaan berbicara melalui suara yang halus, tenang, dan penuh kebijaksanaan. Tarian keempat, aspek pikiran. Pada level mental, aspek moral atau kepercayaan spiritual bisa menjadi pedoman dalam menikmati daya seksualitas. 

Aku seorang lacur selama ini barang tak sampai merangkai level demi level tersebut. Aku hanya punya alat dan aku gunakan. Aku dapat materi ia dapat yang diinginkan. Sudah.  

Layaknya ruang seni, tak patut memperdebatkan dan mengatur pribadi untuk menggunakan kelaminnya. Lebih-lebih memperlakukan sesama seperti hewan najis, dan hewan diperlakukan seperti manusia. Entah perlakuan terhadap sesama atau hewan harus terjalin harmoni yang selaras. Memperdebatkan ruang seni atau bahkan mengecamnya sama juga mengingkari hal-hal ilahilah. Sebab, mereka ada lantaran proses ilahiah namun tak alamiah. 

Kini, aku tak lagi melacurkan diri. Aku hanya ingin menjadi aku di masa kini. Bukan aku di masa lalu. Kau tahu kenapa? Aku tahu semua ini atas kesadaranku sendiri. Di mana lacur lain sebelum menghembuskan napas terakhirnya sempat bercerita tentang Foucault dan Kribbe. Lacur itu tahu juga dari sekelompok orang yang berusaha peduli kepada kami. Bukan karena mereka yang getol mencibir dan ingin mempora-porandakan rumah kami tanpa mengajak kami untuk memahami kesadaran.

Tidak ada komentar: