Aku hanya aku. Aku
bukan kamu, ia, dia, dan kalian. Ini hanya sebuah permainan sosial.
Aku
seorang lacur. Setiap hari aku memoles tubuhku dengan balutan busana seadanya.
Jika kamu menggunakan bra sebagai pendukung busana bagian terdalam bahkan
rahasia, tidak dengan aku. Aku bisa menggunakan bra sebagai busana terluarku ke
mana saja. Ke mall, pantai, mushola, gereja.
Ia
selalu mencibirku. Dia lebih-lebih sering menggunjingku. Aku dinilai tak
bermoral. Aku hanya wanita lacur yang tak pantas hidup bermasyarakat. Aku patut
diasingkan ke sebuah daerah yang sama-sama hidup dengan lacur. Kehidupanku
dikecam banyak orang. Lebih-lebih keberadaanku yang tak lain membawa bencana.
Sering aku digunjingkan sebagai penyebab menyebarnya penyakit mematikan, AIDS.
Aku dibilang hina sehina-hinanya manusia.
Ah,
kalian, dia, ia, dan kamu bukan aku. Aku bertanggungjawab atas diriku. Tak ada
lain lagi yang memedulikan aku (kami yang senasib). Apa mereka yang duduk di
kursi kekuasaan pernah memperjuangkan kami agar dipandang sama dengan pekerjaan
lain? Tidak. Justru mereka yang membuat aku begini. Ia yang bisa membeli aku
kapanpun. Iming-iming segepok uang yang ia sisipkan di sela-sela payudaraku,
aku tak dapat berkutik. Ya, aku memang butuh makan. Begitupula dengan kamu
bukan? Sebenarnya jika sekadar makan aku bisa makan seadanya. Nandur bayam dan
kacang-kacangan di perumahan rumah bisa memenuhi kebutuhan makan sepanjang
hari. Namun, hidup bermasyarakat ternyata tak hanya menyoal makan saja. Bahkan
semuanya diatur. Dari masalah busana, papan yang aku tinggali, hingga pemaknaan
sukses. Orang yang punya kemewahan materil berupa rumah mewah, mobil,
perhiasan, akan dibangga-banggakan dalam masyarakat. Walaupun ia bodho. Lantas,
ia mengambil kuasa dalam masyarakat.
Sementara
aku (mereka) yang punya pemikiran yang bisa dikembangkan, sama sekali tak
dianggap. Aku dinilai tak berjasa ketika tak ada hal konkrit yang diberikan.
Padahal yang kasatmata itu yang selalu menyilaukan mata. Tingkatan pendedahan
hal-hal yang abstrak berupa pemikiran yang sering kali diabaikan. Lantas mau
gimana lagi?
Kalian
yang selalu menyeragamkan di setiap makna kehidupanlah yang membuat kami
memilih pekerjaan lacur ini. Kami hanya ingin bersanding sama dengan kalian.
Rumah, kendaraan, dan perhiasan. Apa pernah sehari saja ia dan dia tak
membincang soal penyeragaman makna tersebut. Tentu tidak akan pernah terjadi.
Aku
merantau di kota fana ini hanya sebab satu alasan, aku dan keluargaku ingin
sama-sama dipandang ‘ada’ atau ‘hidup’. Kota fana ini telah lama aku kenal
sejak lulus SD. Aku tahu pun dari kamu. Kamu yang awalnya mengajak aku ke sini.
Kota dengan sejuta selundupan barang-barang elektronik. Kota yang sengaja
disinggahi para bule hanya untuk memuja kelamin. Kota yang riuh dengan
sorak-sorak manusia. Kota, kota, dan kota.
Ah,
kenapa aku yang dari desa terpencil bisa mendua di kota besar ini. Kehidupan di
sini terlalu gamblang untukku. Jika aku bearda di desa, sekat-sekat masih ada,
sebab kultur yang menuntut. Masyarakat yang menghukum. Namun, di kota ini semua
orang sibuk dengan kelamin masing-masing. Bukan lagi pintu-pintu remang yang ditutupi
namun dibuatkan istana emas untuk menarik seorang masuk.
Aku
senang jika keluargaku di rumah tak diremehkan. Aku yang berada di sini cukup
memberi senyum kecil di tengah keluarga. Aku yakini, ini memang pekerjaan
terkutuk. Tapi aku yang bertanggungjawab atas kelaminku. jika menyoal penyakit
yang diakibatkan, kalian cukup membekali kami dan menunjukkan cara yang aman.
Sudah itu saja.
Memperdebatkan Ruang
Seni
Michel
Foucault membedakan seks dari seksualitas. Seks merujuk pada sistem biologis
dari pria dan wanita. Sementara seksualitas cara orang menggunakan energi
manusiawi dan kenikmatan manusiawinya demi menghasilkan kebenaran. Seksualitas
merupakan konstruksi sosial. Foucault juga memahami seksualitas dalam korelasi
antara kekuasan dan seks.
Sementara
Kribbe memahami seksualitas dalam arti rohani, yakni tarian bersama antara energi
pria dan wanita. Dalam seni tari tersebut keterlibatan kepriaan dan kewanitaan
harus memenuhi empat level. Tarian
pertama yakni, level fisik. Tubuh manusia bukanlah sesuatu negatif. Ia
mengetahui hasrat seksual atau nafsu badani yang muncul secara spontan.
Tarian kedua, level emosional. Kesanggupan
memahami simton fisik tanpa menyertakan dinamisme emosi, membuat seseorang
tidak menghargai dan menghormati tubuh. Sementara semakin dalam pengetahuan
seseorang, maka semakin bertanggungjawab atas tindakan seksualitas. Tarian ketiga, level hati. Perasaan
menjadi wilayah intuisi dan pengetahuan batin. Perasaan berbicara melalui suara
yang halus, tenang, dan penuh kebijaksanaan. Tarian keempat, aspek pikiran. Pada level mental, aspek moral atau
kepercayaan spiritual bisa menjadi pedoman dalam menikmati daya seksualitas.
Aku
seorang lacur selama ini barang tak sampai merangkai level demi level tersebut.
Aku hanya punya alat dan aku gunakan. Aku dapat materi ia dapat yang
diinginkan. Sudah.
Layaknya
ruang seni, tak patut memperdebatkan dan mengatur pribadi untuk menggunakan
kelaminnya. Lebih-lebih memperlakukan sesama seperti hewan najis, dan hewan
diperlakukan seperti manusia. Entah perlakuan terhadap sesama atau hewan harus
terjalin harmoni yang selaras. Memperdebatkan ruang seni atau bahkan
mengecamnya sama juga mengingkari hal-hal ilahilah. Sebab, mereka ada lantaran
proses ilahiah namun tak alamiah.
Kini,
aku tak lagi melacurkan diri. Aku hanya ingin menjadi aku di masa kini. Bukan
aku di masa lalu. Kau tahu kenapa? Aku tahu semua ini atas kesadaranku sendiri.
Di mana lacur lain sebelum menghembuskan napas terakhirnya sempat bercerita
tentang Foucault dan Kribbe. Lacur itu tahu juga dari sekelompok orang yang berusaha
peduli kepada kami. Bukan karena mereka yang getol mencibir dan ingin
mempora-porandakan rumah kami tanpa mengajak kami untuk memahami kesadaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar