Selasa, 11 Maret 2014

‘Aku’

Aku seorang pemuda. Layaknya seorang pemuda, aku hanya menginginkan kebebasan. Aku hanya ingin menjelajah. Aku ingin melangkahkan kaki kemana aku mau. Ke hutan belantara, ke laut, ke gunung, ke awan, ke alam imaji, ke alam bawah sadar, ke pikiran, dan ke ke……..


Kaliwangi, 6 Februari 1993
Pagi menjelang, aku melihat petani yang setiap pagi membawa cangkul ke saben. Ibu-ibu yang menenteng rantang untuk mengantar makanan pada suaminya. Anak-anak yang berduyun-duyun berangkat sekolah, entah jalan kaki atau naik sepeda. Biasanya, mereka saling menunggu teman lain di rumah Aci. Sebab, rumah Aci yang dinilai strategis dari rumah-rumah yang lain. Entah kenapa anak-anak itu tak langsung saja ke sekolah tanpa harus saling menunggu. Ah, ternyata mereka saling memadupadankankan hasil pekerjaan rumah mereka. 


Desa ini bernama kaliwangi. Ya, ada sebuah kali yang selalu mengairi persawahan desa tersebut. Di musim hujan, air kali tak pernah meluap. Di musim kemarau, kali memang kadangkala tak ada air. Namun, kali bisa dilewati air tukon yang diambil dari dataran tinggi. Nama kaliwangi bukan karena airnya beraroma wangi. Namun, karena banyak kebutuhan air yang digantungkan warga melalui kali maka ia namakan kaliwangi. Kali itu bisa membuat wangi persawahan warga. Kala itu, tak ada petani yang saling mengumpat sebab tak tercukupinya air untuk pengairan sawah. Dua puluh satu tahun silam. Sekarang kaliwangi tak lagi wangi. Ia murka di setiap musim. Jika penghujan tanggul kali jebol. Jika kemarau kali asat. Haruskah kami mengganti nama desa dengan kalimurka?

Gemuruh, 8 Desember 2008
Aku tak punya teman di desa yang agaknya kota ini. Kami tinggal di desa namun pula di kota. Kami berada pada tapal batas. Kami baru satu bulan pindah di tanah ini. Sebelumnya kami berada di sebuah desa yang damai. Namun, sebab Bunda terlilit utang untuk usaha sekarang kami mengasingkan diri dulu. Awalnya Bunda tak bermaksud menilep uang usaha tersebut. Ia hanya pinjam selembar dua lembar untuk membiayai makan sehari-hari. Keempat anaknya sedang menempuh studi sarjana di beberapa kota besar. Sementara ayah hanya penjual burung-burung peliharaan. Ayah keluar rumah pukul 07.00 pulang pukul 17.00. 

Bunda sempat menjadi buronan polisi. Beberapa pekan kami tak berani keluar rumah. Jika kami keluar kami akan memakai pakaian yang menutupi sebagian wajah. Tiga tahun kemarin utang sudah lunas. Bunda mendapat sepetak tanah dari nenek. Dua tahun lalu pula Bunda meninggal sebab terjatuh di lantai. Sekarang aku dan ketiga saudaraku tak saling tahu keberadaan.

Rimba, 10 April 2010
Anak-anak beralaskan sandal jepit ke sekolah. Ada pula yang tanpa alas kaki. Buku satu mereka selipkan di punggung. Bolpoint pun jarang mereka bawa. Di kelas anak-anak saling asyik ngobrol sendiri. Ada yang ngantuk, saling cubit teman, bahkan bertengkar. Aku kewalahan untuk mengarahkan kelas. Mereka dengan beragam perilaku. 

Sepuluh bulan aku berencana di sini. Aku berencana menghabiskan waktuku di sini untuk menjelajah. Pulau Rimba ini, aku sengaja mengabdikan diri. Namun, aku pula dibayar gedhe. Ah, apakah aku ke sini hanya untuk bayaran gedhe atau memang mengabdikan diri?

Selafik, 30 Desember 2012
“Jika kalian tidak cocok dengan kondisi baru yang akan kita lakukan, pergilah. Saya sangat menghargai hak anda. Jika kalian memutuskan untuk bertahan di sini, saya membutuhkan kalian untuk memperbaiki bersama. Ini akan menjadi masa untuk merubah secara serius. Kalian lakukan hal terbaik dari kemampuan yang anda miliki. Maka, saya akan lakukan hal yang sama. Kita lakukan untuk kemajuan ini agar dipandang dunia”. Begitu kiranya Nelson Mandela dalam Invictus. Ia yang kini sudah tiada akan dikenang menjadi sosok yang berani dan berjiwa sosial tinggi. 

Aku membayangkan sosok Rugbi sebagai asisten Nelson yang ramah dan pemurah. Tak terlihat sedikit pun raut keterpaksaan di muka Rugbi kala melayani Nelson. Begitu Nelson memperlakukan semua staf dan rakyatnya dengan keramahan. Perpaduan kerendahan hati dan progress yang kuat menjadi satu kesatuan dalam diri Nelson. Aku yakin banyak pula yang menentang rezim Nelson. Toh, akhirnya ia sanggup membuktikan. 

Aku pula membayangkan sebagai istri atau anak perempuan Nelson yang tak bisa berbincang setiap saat. Kami hanya bertemu di akhir pekan atau di tengah malam yang sudah terlelap. Ia mencium keningku dan mengucapkan selamat tidur. Atau di dapur sedang masak nasi goreng bareng. Atau ia sedang membilas baju sedang aku yang mengucek. Aku akan dengan lantang menyebut ia sebagai ayah bukan kepala. Sebab di rumah kami satu dan menyatu. 

Kepada dunia Afrika Selatan di kenal melalui Nelson. Lantas kepada dunia, tanah airku dikenal melalui (si)apa? Silisilah koruptor, negeri gemah ripah loh jinawi, Soekarno, muslim terbanyak, atau atau… Ah, aku (kami) seorang pemuda. Aku penentu takdir(ku) sendiri. Begitu takdir negeri ini. Kami sebentar lagi merayakan pesta. Tapi aku sudah muak dengan pesta. Aku hanya ingin melawan diriku sendiri.