Jumat, 07 Juli 2017

Menjadi Masyarakat yang Berkelanjutan

Lin Yi Han dalam sebuah diskusi

Duka masih terasa dalam mengenang kisah Yuyun. Seorang anak yang usianya sekitar 13 tahun mendapat kekerasan seksual oleh 14 lelaki saat pulang ke rumah dari sekolah pada 2 April 2016. Tanah Bengkulu yang menjadi tempat kelahirannya viral di dunia maya. Tagar #NyalaUntukYuyun ramai diperbincangkan.

Bergeser dari Bengkulu, duka kembali datang ke sejumlah daerah hingga yang terbaru dari Tasikmalaya. Dua anak sekolah dasar ditemukan bersimpah darah di Sungai Ciloseh, Kecamatan Purbaratu. Satu diantaranya meninggal, lainnya masih hidup namun penuh dengan luka sayatan di Leher. Dugaan Polisi mereka mendapat kekerasan seksual sebelum dibunuh. 

Kekerasan Seksual terhadap anak merupakan fenomena gunung es. Kasus yang muncul di permukaan ini tak seberapa dari yang tidak dikabarkan. Banyak alasan yang melatarbelakanginya diantara masyarakat masih berpikir ‘ini adalah aib keluarga’ atau ‘pelaku masih sanak saudara’. Dari survei kekerasan anak Indonesia kerjasama Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), serta sejumlah lembaga di 2014 mengatakan prevalemsi kekerasan seksual pada kelompok laki-laki dan perempuan usia 18-24 tahun tinggi. Jenis kekerasan seksual sebelum umur 18 tahun yang dialami anak laki-laki sebesar 6,36 persen dan anak perempuan 6,28 persen. Ini berarti dari 87 juta anak Indonesia ada 400.000 anak yang mendapat kekerasan seksual. 

Dari jumlah itu menunjukkan bahwa korban anak laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Berdasarkan data Kemensos, sebanyak 45 hingga 47 persen anak yang berhadapan dengan hukum terkait dengan kasus kekerasan seksual, dan terbanyak korbannya sejenis. Dari 10 korban, satu anak perempuan dan sembilan anak laki-laki. 1,1 juta atau 1 dari 13 anak pernah mengalaminya kekerasan fisik ketika berusia sebelum 18 tahun. Sedangkan pada anak perempuan diperkirakan 1,4 juta atau 1 dari 10 anak pernah mengalami kekerasan fisik, 700 ribu atau 1 dari 22 remaja pernah mengalami kekerasan emosional.

Sementara untuk kekerasan seksual, 800 ribu atau 1 dari 18 anak pernah mengalaminya ketika masih berusia sebelum 18 tahun. Tingginya jumlah kekerasan yang menimpa anak laki-laki dibanding perempuan karena pengawasan terhadap anak perempuan lebih besar sehingga lebih protektif. Sebanyak 90 persen pelaku kekerasan terhadap anak laki-laki tersebut pada awalnya adalah korban. 

Perlindungan Anak

Anak-anak memiliki hak seperti yang tertuang dalam UU no. 23 tahun 2002 yang diperbaharui dengan UU no.35 tahun 2014. Anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh berkembang optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Perlindungan anak sesuai pasal 1 berarti segala bentuk kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dari kekerasan dan diskriminasi. 

Hak-hak anak perlu dilindungi karena anak memiliki kesempatan yang luas untuk menggerakkan roda dunia. Anak mempunyai kesempatan untuk merubah dunia lebih baik. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk masa depan anak-anak? 

Ada sebuah cerita dari seorang penulis di Taiwan. Ia bernama Lin Yi Han. Seorang perempuan muda yang menulis novel yang laris dipasaran. Novelnya berjudul Fang Si-Chi’s First Love Paradise. Sebuah novel yang mengisahkan perempuan remaja yang mendapatkan pelecehan seksual oleh guru les di sekolahnya. Novel tersebut terbit di Februari 2017. Tak menunggu hitungan tahun, novel tersebut menjadi bacaan idaman berselang hari sejak penerbitannya. Namun, pengagum Lin Yi Han mesti berlapang dada, karena Fang Si-Chi’s First Love Paradise menjadi karya pertama dan terakhir. Penulis yang genius mengangkat tokoh dalam ceritanya meninggal di usia 26 tahun pada akhir April 2017. 

Belakangan ayah Lin memberi keterangan melalui Guerrilla Publishing bahwa peristiwa dalam novel Fang Si-Chi’s First Love Paradise adalah berdasar pengalaman Lin. Ia mendapat kekerasan seksual oleh gurunya 9 tahun yang lalu. Ini bermula ketika Lin menjadi siswa Chen Kuo-hsing. Chen mengakui peristiwa itu terjadi di Agustus 2009 saat Lin menjadi siswanya. Mereka mempunyai hubungan dekat. Akhir cerita kelam itu ketika orangtua Lin mengetahui hubungan mereka.  

Anak-anak tak akan pernah tahu kehendak mereka. Apalagi meyakini apa yang dilakukan baik atau benar juga kadang menyilaukan. Melalui peristiwa ini, langkah yang dapat dilakukan untuk melindungi anak yakni menjadi orang dewasa yang bijak. Entah sebagai guru, saudara, orang tua, orang lain yang tak saling mengenal, dan lainnya. Menjadi bijak berarti sebagai dewasa tidak menjerumuskan anak-anak, namun justru mesti membekali diri dengan ilmu yang banyak. 

Diri yang Mengasihi

Membentuk diri menjadi pribadi yang mengasihi adalah langkah awal untuk mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan. Karena kumpulan dari pribadi-pribadi ini yang akan membentuk sebuah masyarakat. Juga, satu kebiasaan baik atau buruk yang berada di tengah masyarakat akan berefek pada sebuah penyebutan universal di masyarakat tersebut. Seperti halnya, ada kampung yang dapat julukan kampung peminta-minta. Padahal awalnya hanya satu dua orang saja yang melakukannya. Namun karena mereka berada di tengah masyarakat, tetangga mulai melirik aktivitas tersebut dan meniru. Juga walau tak satu desa menjadi peminta-minta mereka menjulukinya begitu. Sama seperti halnya kampung santri. Tak semua satu kampung itu adalah santri. Nah, pembentukan klaim universal ini dapat dijadikan contoh untuk membentuk masyarakat yang kasih mengasihi. Karena setiap perbuatan bisa menjadi panutan. 

Manusia yang berkelanjutan tentu berpikir jangka panjang dengan menganalisis setiap dampak baik buruk perbuatan yang dilakukan. Bahwa kemakmuran masa depan yakni ketika anak-anak aman, mendapat pendidikan yang layak, dan tumbuh sehat. Ini mengutip dari ilmu jawa “Aku ora dadi wong rak masalah, sing penting anakku apik akhlak rejekine” (Saya tidak menjadi manusia yang sukses tidak apa-apa, yang penting anak saya bagus budi dan rejekinya). Ini menjadi bukti semua yang dilakukan orang tua dan negara adalah untuk masa depan anak. Namun, sudah kah kita mengintegrasikan nilai-nilai itu dalam aktivitas?

Sebagai pengusaha, pemerintah, atau masyarakat biasa perlu memasukkan hak-hak anak dalam pekerjaan bahkan dalam tarikan nafasnya. Ini yang akan merampungkan kasus-kasus kekerasan terhadap anak tidak berakhir hanya di meja Komisi Perlindungan Anak. Sebenarnya, menginvestasikan jumlah besar dalam pendidikan adalah langkah yang tepat. Karena pendidikan dapat memberikan pengalaman kedamaian, kesetaraan, inklusivitas, dan pengembangan lain yang berkelanjutan. 

Nah, bekal berpendidikan itu yang musti dibawa di segala lini dari mulai bisnis, pemerintahan, masyarakat sosial yang membawa nilai-nilai dan dirancang di setiap pekerjaan secara efektif. Di kepemerintahan kita butuh kebijakan yang ramah anak. Di dunia bisnis kita butuh memandang bahwa anak sebagai subjek bukan objek. Di masyarakat, kita perlu melibatkan anak pada setiap keputusan-keputusan penting, dll. 

Keuntungan dari pendidikan itu yang diketahui bisa berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, karena anak tumbuh sehat secara fisik, sosial, dan mental. Sebab, dimanapun kita berada kita bisa melakukan usaha-usaha yang mungkin dilakukan. Karena menyalakan lilin tetap berharga di kegelapan. 

Kita butuh menjadikan pemikiran, energi, dan perbuatan yang bisa dicontohkan pada anak-anak. Tiada lain adalah rasa kasih mengasihi. Jadi, anak-anak tidak akan mengalami kekecewaan yang panjang pada generasi-generasi yang mereka lihat. Apakah kita mesti menunggu untuk menuntaskan ini? Tidak. Masing-masing kita bisa melakukan. Sebab setiap kilatan cahaya kecil dapat menerangi gelap pekatnya ruangan. 
 Dewi Maghfi

Saya Adalah Solusi Pendidikan Indonesia

Artikel pilihan memperingati 95 th PT. Kanisius


Abstrak


Pernahkah anda melihat foto Ir. Soekarno yang sedang mengajar anak-anak untuk mengenal A-I-U-E-O? Foto itu menjadi satu semangat bahwa bangsa Indonesia sudah sejak lama mempunyai keinginan kuat dalam belajar. Jika sekarang banyak sekali program Camat mengajar, Bupati mengajar, walikota mengajar, bahkan sudah puluhan tahun lalu, Soekarno presiden pertama kita sudah melakukannya.

Mempunyai pengalaman mengajar di daerah terdepan Indonesia, meyakinkan saya bahwa pendidikan Indonesia sedang lesu. Sementara terus bermunculan penggerak-penggerak pendidikan dari berbagai kalangan. Siswa di sekolah saya datang ke sekolah dengan begitu semangat. Saat bel bunyi pulang pun semangat mereka semakin bertambah seratus persen.

Ada satu tujuan akhir yang sepertinya kian terlupakan dari pendidikan ini, ya siswa. Siswa sebagai anak-anak yang menjadi generasi emas terlupakan dari sistem pendidikan. Guru sibuk menyelesaikan syarat administratif dan syarat pengajuan kepangkatan.

Tugas pendidikan bukan tugas satu entitas. Kerja pendidikan adalah kerja komprehenshif. Dari hulu hingga ke hilir. Dari diri kita memulai hingga ke diri setiap orang. Pendidikan Indonesia adalah soal tujuan akhir dari pendidikan yakni cerdasnya anak-anak Indonesia, bukan kita untuk menjadi cerdas lantas menjadi kaya, bukan?


Pernahkah anda melihat foto Ir. Soekarno yang sedang mengajar anak-anak untuk mengenal A-I-U-E-O? Foto itu menjadi satu semangat bahwa bangsa Indonesia sudah sejak lama mempunyai keinginan kuat dalam belajar. Jika sekarang banyak sekali program Camat mengajar, Bupati mengajar, walikota mengajar, bahkan sudah puluhan tahun lalu, Soekarno presiden pertama kita sudah melakukannya. 

Mempunyai pengalaman mengajar di daerah terdepan Indonesia, meyakinkan saya bahwa pendidikan Indonesia sedang lesu. Sementara terus bermunculan penggerak-penggerak pendidikan dari berbagai kalangan. Siswa di sekolah saya datang ke sekolah dengan begitu semangat. Saat bel bunyi pulang pun semangat mereka semakin bertambah seratus persen. Kali itu saya mengajar kelas enam pelajaran matematika. Kuis perkalian untuk membuka pelajaran pun kami lakukan. Saat saya mengajukan pertanyaan “6X7 sama dengan……” hampir sebagian besar siswa tidak bisa menjawab. Ketika saya mendekati mereka, rerata mereka menghitung dengan membuat angka 1 sebanyak enam kali mendatar sampai 7 kali menurun. 

Melihat itu, saya dihadapkan pada percabangan jalan. Saya harus mengejar target menghabiskan materi dalam minimal satu standar kompetensi sesuai kalender waktu yang telah ditentukan atau saya harus berbelok untuk mengajarkan konsep hitung-hitungan dari tingkat dasar. Sangat dasar, perjumlahan, pembagian, dan perkalian. Semangat mereka untuk hadir di sekolah sangat tinggi, lalu ada apa?

Mereka datang ke sekolah tidak lain hanya sekadar datang. Karena sekolah adalah penting untuk diramaikan. Betul, sekolah memang tidak pernah sepi. Walau jumlah muridnya tidak banyak, sekolah selalu ramai. Bahkan di siang hari saat sekolah tidak ada proses pembelajarn efektif. Sekolah menjadi taman bermain bagi anak. Bukan kah justru menyenangkan seperti konsep Ki Hajar Dewantara bahwa sekolah adalah taman bermain? Benar. Namun, proses pembelajaran di sekolah tidak berjalan seimbang. Porsi bermain yang mestinya bisa selaras dengan belajar tidak sepadan. Pembagian waktu antara jam efektif belajar dan istirahat pun sudah tak bersekat. Anak-anak menghambur ke mana saja, sementara guru sibuk di depan meja atau sekadar canda. Sementara orangtua cuek saja. 

Ada satu tujuan akhir yang sepertinya kian terlupakan dari pendidikan ini, ya siswa. Siswa sebagai anak-anak yang menjadi generasi emas terlupakan dari sistem pendidikan. Guru sibuk menyelesaikan syarat administratif dan syarat pengajuan kepangkatan. Guru-guru bisa melembur berbulan-bulan untuk mempersiapkan akreditasi sekolah. Guru-guru bisa tidak tidur untuk menyiapkan administrasi. Bahkan Kepala sekolah tiba-tiba bisa merangkap menjadi juragan material bangunan ketika dana DAK turun. Sekolah juga bisa menjadi pasar dadakan untuk menyediakan peralatan sekolah dengan merk tulisan sekolahnya masing-masing. Dari mulai kaos kaki hingga ikat rambut. Lalu sebenarnya untuk siapakah itu semua? Maukah guru melembur untuk satu malam saja secara berkala demi menyiapkan media pembelajaran untuk anak? 

Inilah yang menjadikan sirkel pendidikan terputus. Orangtua tidak memperhatikan pendidikan anak. Anak datang ke sekolah hanya untuk bermain. Guru sibuk mengurus kepangkatan. Kepala sekolah sibuk menyiapkan administrasi jika sewaktu-waktu badan audit datang. Pengawas masih nyaman memantau dari depan meja. Dinas sibuk merumuskan proyek agar anggaran setahun tidak lebih dan tidak kurang. Hingga Menteri sibuk membuat kebijakan-kebijakan baru yang dinilai berbeda denan Menteri sebelumnya. 

Entitas Siswa sebagai Tujun Utama Pembelajaran

Membaca itu semua perlu mengetahui lebih lanjut soal entitas siswa. Ruang lingkup pembahasan tentang entitas siswa yakni dari aspek perkembangan kognitif dan bahasa, perkembangan pribadi, moral, dan sosial, serta perbedaan pebelajar dan kebutuhan belajar. Menurut Jean Piaget dan Lev Vygosky diulas oleh Woolfolk (2010) dasar perkembangan kognitif diidentifikasi menjadi empat faktor kematangan. Pertama, faktor kematangan biologis meliputi pemenuhan gizi dan perawatan kesehatan untuk memastikan tercapainya kematangan biologis. Kedua, faktor aktivitas yaitu kegiatan pembelajaran yang berasal dari lingkungan. Ketiga, faktor pengalaman sosial terjadi dalam kegiatan interaksi dengan orang lain dan suatu budaya. Sementara factor sense of equilibrium dimaknai sebagai upaya untuk selalu berada pada zona nyaman atau keadaan yang seimbang untuk menyelesaikan masalah. 

Aspek perkembangan pribadi, moral, dan sosial dimaksudkan untuk memperkaya pemahaman guru dalam menyelesaikan masalah siswa sekaligus membantu siswa mengembangkan ketrampilan sosial mereka. Dalam gambaran demografi dianggap mempengaruhi perkembangan kualitas pribadi siswa dengan mengutip teori bioekologis dan bioekosistem Bronfenbrenner menurut Woolfolk (2010). 

Siswa sebagai individu dengan segala entitasnya hidup dan berinteraksi dalam konteks sosial sebagai cerminan sebuah mikrosistem. Dalam mikrosistem terdapat unsur keluarga, teman sebaya, dan guru yang saling berinteraksi dalam hubungan sosial sehingga terjadi saling pengaruh yang bersifat timbal balik. Setiap komponen mikrosistem akan berinteraksi dalam pola mesosistem dan melakat pada sebuah makrosistem. Dalam pendalaman perkembangan pribadi, moral, dan sosial dilatarbelakangi oleh keluarga, pola asuh, pola teman sebaya, serta kepedulian dan obyektivitas guru dalam penilaian dan advokasi terhadap siswa. 

Aspek perbedaan pebelajar dan kebutuhan belajar didasarkan pada perspektif umum yang mencakup intelegensi. Intelegensi atau kecerdasan merupakan salah satu perbedaan khas yang dimiliki setiap siswa. Intelegensi diartikan sebagai kemampuan atau berbagai kemampuan untuk mendapatkan dan menggunakan pengetahuan dalam menyelesaikan masalah dan beradaptasi dengan dunia. Perkembangan baru yang banyak membahas kecerdasan yakni multiple intelligence berupa kecerdasan logika-matematika, linguistik, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal dan natural.  

Dari entitas siswa tersebut, siswa memang menjadi pusat pembelajaran di sekolah, di rumah, dan lingkungan luas. Betapa menariknya jika anak-anak dari investasi Negara ini ke depan bisa benar-benar mewujudkan cita-cita bangsa. Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat Indonesia? Merumuskan pendidikan Negara mestinya menjadi tugas mudah. Diri kita masing-masing bisa melakukannya. Lakukan saja dari langkah terkecil, bahwa anak-anak kita benar-benar diperhatikan sejak dari dalam rumah sendiri. Anak-anak kita menjadi tujuan dari sebuah pernikahan keluarga.  Bayangkan jika kamu sebagai orangtua, kamu sibuk bekerja dan sebagainya sehingga tidak memperhatikan anak anda, padahal ia adalah tujuan rumah tangga anda? 

Anak-anak yang berhambur di jalanan dan anak-anak yang butuh kasih sayang juga anak-anak kita. Jika kita memberi senyum saja pada mereka dan membantu lembaga-lembaga yang konsen menanganinya, kamu adalah penggerak pendidikan. Walau kamu bukan guru dan hanya masyarakat sipil biasa. Terlebih jika anda guru. Datang ke sekolah lebih awal dan menyalami siswa, mengajar dengan media pembelajaran dan hati gembira itu adalah solusi pendidikan. Dalam lingkungan sekitar rumah, banyak anak-anak yang minat membacanya tinggi atau anak-anak yang tidak tertarik membaca sekalipun. Sediakan sudut ruangan diantara ruang-ruang besar lainnya berupa buku-buku. Ajak mereka hadir ke rumah dan sekadar membaca-baca.  Tahukah anda mukjizat dari membaca? 

Anak-anak bisa berlagak seperti dokter beneran menjelaskan sistem pernapasan. Anak-anak bisa berlagak layaknya astronot dengan membaca buku tentang bintang-bintang. Keren bukan? Atau kamu yang sedang dilimpahi rejeki yang cukup, sisihkan sedikit rejeki itu untuk mendatangkan pemuda-pemuda pilihan hadir di daerah-daerah yang membutuhkan pemercepat mutu pendidikan. Di daerah-daerah terdepan butuh sosok yang mempunyai grassrootunderstand sehingga mampu memberi warna dan tentunya kerja bersama. Atau bahkan kamu bisa hadir sendiri untuk berinteraksi langsung. 

Tugas pendidikan bukan tugas satu entitas. Kerja pendidikan adalah kerja komprehenshif. Dari hulu hingga ke hilir. Dari diri kita memulai hingga ke diri setiap orang. Pendidikan Indonesia adalah soal tujuan akhir dari pendidikan yakni cerdasnya anak-anak Indonesia, bukan kita untuk menjadi cerdas lantas menjadi kaya. Kalau ditanya soal solusi pendidikan, dengan bangga mestinya setiap diri kita masyarakat Indonesia menjawab, ‘Saya adalah solusi pendidikan Indonesia’. 
(Dewi Maghfiroh-Artikel pilihan memperingati 95 th Penerbit Kanisius yang dibukukan bersama penulis lainnya)

Kamis, 01 Juni 2017

Perempuan Berotak Kerikil-Kerikil Tajam


Menua


Pernah kamu merasa betul patah hati? 
Tapi kamu tak pernah merasakan cinta!

Maemun duduk di sudut kamar. Bersandar di almari jati tuanya. Jika ada waktu senggang, Maemun suka untuk sekadar melihat notifikasi media sosial sembari bersandar di almari itu. Air matanya menetes. Ia tak tahu persis musababnya apa. 

“Apa aku sedang patah hati?” selorohnya lirih. 
“Tapi aku tak pernah jatuh cinta. Dasar, otakmu ini berisi kerikil-kerikil tajam!” marahnya pada diri sendiri. 

Tepatnya lima tahun silam. Pertemuan Maemun dengan Bob. Tak pernah diduga tak pernah disangka, ingatan selama itu bergoyang-goyang kembali di otaknya. Bob seorang lelaki ibukota. Suatu ketika, ia menelponnya di jam 3 dini hari.

“Aku mencintaimu Mae. Sejak pertama kita jumpa aku merasa ada hal unik darimu,” tutur Bob di ujung telpon. 
“Aku tak tahu cinta. Mau jika kita berjalan apa adanya saja?” pungkasku. 

Sejak sebuah pertemuan lembaga. Aku dan Bob semakin sering berkomunikasi. Bob tepatnya yang selalu memberi kabar setelah jam 00.00. Aku tahu, ia baru ada waktu di jam-jam itu. Aku pun merasa antusias padanya karena dia pintar berwacana dan pandai memetik senar gitar. Selalu saja aku minta ia menyanyikan lagunya peterpan diulang-ulang. Ia bosan. Marah. Tapi aku tak peduli. Aku suka dengan lagu peterpan. Titik. 

Beberapa saat, Aku dan Bob tak lagi bersua via telepon. Aku tenggelam dalam kesibukan menyelesaikan tugas-tugas kampus dan pekerjaan sebagai penulis di sebuah majalah sekolah. Pikirku, aku ingin membincang banyak hal ketika mataku dan matanya saling bertatap. Bukan dalam kepalsuan maya namun realita. Akhirnya tiba saatnya kakiku menginjak di ibukota lagi. Bertemu Bob sudah tercatat dalam list agendaku. Saat aku bertemu dia aku merasa senang sekali. Tapi lidahku terlalu kaku untuk membicarakan hal-hal serius padanya seperti yang aku rencanakan. Bagaimana mungkin, aku menjanjikan sebuah hubungan, sementara aku harus pergi meninggalkan untuk ketidakpastian di tanah rantau yang menjadi pilihanku. Terlalu konyol jika aku membangun komitmen di ujung pertaruhan. Bahkan tentang diriku sendiri aku tak pernah tahu nasibnya di sana. Aku mengunci mulut. Merobohkan keinginan-keinginan egoisku untuk berpikir ‘jika kamu setia kamu bisa menunggu’. Tidak. Aku tentu tidak bisa untuk obral omongan. Karena aku menghargai setiap insan punya pilihan-pilihan logis untuk berbahagia. Sekalipun tidak bersamaku.  

Bob orang yang humoris. Yang agaknya pas dengan diriku yang kaku. Tapi, entah kenapa mulutku selalu pedas saat berucap padanya.
“Kamar kamu itu kotor sekali. Kenapa gak ditata yang rapi barang-barangmu itu!” Aku tidak bisa melihat barang-barang berada lalu lalang di yang bukan pada tempatnya. Sebenarnya aku bisa berkata lebih halus sedikit. Tapi, mulut rasanya spontan berkata seperti itu. 
“Perempuan seperti apa yang kamu cari? Menikahlah. Beri aku kejutan ketika aku sampai menjumpaimu lagi,” tuturku menantang dia. Padahal, tentu tidak benar aku menginginkan hal demikian. 
Pernyataan-pernyataan kecil itu yang sering membuat perdebatan. Tentu siapa lagi kalau bukan aku yang memulai. 

Keputusanku untuk pergi jauh dari orang-orang yang pernah aku kenal, sekalipun keluarga memang sudah bulat. Aku ingin hidup dengan orang-orang baru yang tanpa aku kenal satu pun di tempat yang tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa air bersih, kamar mandi seadanya, dan anak-anak kecil yang liar. Atas obrolan kecil itu, ternyata kamu tidak terlalu suka dengan keputusanku. Tapi ini sudah keputusan final. Tidak ada satu pun orang yang dapat menentangku. Kecuali Tuhan. 

Setiap hari aku benamkan diriku dalam kesibukan mengajar anak-anak. Pagi siang dan malam. Bertemu anak-anak sebenarnya menjadi ketakutanku di masa silam. Aku tidak suka dengan masa anak-anak. Bukannya menyenangkan justru sebaliknya. Tapi, aku belajar dari anak-anak yang tumbuh bersamaku. Walau setiap hari mereka menyita seluruh waktuku, mereka memberiku banyak pembelajaran. Seperti kesabaran, bersikap adil, welas asih, dan bercanda-canda kecil. Aku mulai tahu untuk apa aku harus mempertahankan hidupku dengan hal-hal yang bermanfaat. Karena hidup tak layak dijalani jika harus merutuki dan penuh kelukaan saja.

Sebelum kedatanganku di desa kecil nun jauh itu, aku ingin mengatakan kejujuran padamu. Bahwa aku akan benar yakin untuk berpulang padamu. Aku butuh kamu. Tapi, selalu saja pertemuan kita penuh perdebatan tak lain memang dariku yang selalu menyulut bara api. Tentang hal-hal inti yang tak tersampaikan karena hal remeh temeh. Dasar perempuan berotak kerikil-kerikil tajam! 

Aku mengatur pertemuan denganmu sekali lagi. Aku ingin melepas hal-hal tajam yang menjadi duri bagi otakku sendiri. 

“Kau itu berotak kerikil. Mana ada lelaki yang sanggup melapangkan dadanya untukmu!” tutur Bob penuh kemarahan dan caci maki. 

“Kau tahu, jika setiap perempuan bisa memilih akan seperti apa isi otaknya, aku akan memilih otak yang hanya berisi perempuan-perempuan anggun yang pandai memakai eye liner dan high heels. Sudah aku katakan padamu berulang-ulang, pergi saja dariku jika kau tak sanggup.”

“Aku tak sanggup,” tuturnya lirih dan tanpa perlawanan. 

“Kau tau Bob, perjalananku terlalu rumit untuk merumuskan aku dengan kamu. Aku diam-diam menjadi pelanggan setia tulisan-tulisanmu. Sebuah pojok cerita yang sederhana dan jujur. Kau diminta untuk menikah segera oleh Umimu, bukan? Dengan perempuan anggun yang berotak mutiara anak teman pengajian Umimu?”

“Aku sanggup mencari sendiri tanpa harus dijodohkan!”

“Iya. Aku dengar kamu sudah menemukan sosok senama denganku dan beruntungnya berotak mutiara pula. Itu yang membuat aku mundur perlahan darimu. Langkahmu tinggal sejengkal lagi. Sementara aku mesti melompat berpuluh kilometer. Apa aku bisa berlari melepas ketertinggalanku?”

“Kenapa kau tak pernah cerita?
Hidup layak dijalani, sesederhana minum teh


“Buat apa? Aku menghargai setiap alasan logis untuk memilih dengan siapa kau berhak bahagia. Juga alasan realistis Umimu. Menginginkan anak lelakinya menikah segera. Sementara, walaupun tekadku untuk bertahan dan memulai dari awal denganmu pernah ku ikrarkan dalam diri kini runtuh dihempas waktu. Pernah aku berpikir, apa kamu pilihan yang tepat buatku? Bagaimana jika aku mesti melanjutkan kepedihan lebih dalam bersamamu dari luka yang aku alami selama ini?”

“Kamu kenapa? Berkata lah jujur. Kamu memang perempuan berotak kerikil-kerikil tajam!” katamu. 

“Bisakah perempuan jatuh cinta pada lelaki lain dan menyerahkan seluruh hidupnya Bob, jika ia tak pernah merasakan jatuh cinta pada ayahnya? Apakah ada hubungan sebuah pasangan yang lebih damai tanpa kemarahan seorang ayah setiap hari?” 

Ia lalu memelukku erat. Sangat erat. Degup-degup jantungnya mengejar suara sesenggukanku. 
Keyakinanku untuk berpulang padamu begitu kuat. Tapi tak pernah sekalipun aku bercerita alasan-alasan perasaan macam ini padamu. Karena aku pun tak tahu tentang diriku. Aku ingin melihat penilaian jujurmu atas perempuan, tanpa tahu latar belakangnya ia tumbuh seperti apa. Tentu, perempuan berotak mutiara yang akan lebih bisa memabahagiakanmu. Karena ia tumbuh dalam balutan kemuliaan. Sementara apa yang bisa diandalkan dari perempuan berotak kerikil-kerikil tajam? Tergelincir sedikit, justru bisa mencelakakan. Aku ingin memberi pilihan-pilihan realistis dengan siapa kau mesti bahagia. 

“Aku ingin kau bercerita lagi. Teruskan Mae. Teruskan...” ia memaksaku. Mencengkeram kedua lenganku. 
Ayahku seorang yang ringan tangan dan ringan mulut. Apa yang dikatakannya seolah titah Tuhan. Tak ada satu pun yang bisa melarang kehendaknya. Sewaktu kecil, saat anak perempuannya melakukan kesalahan-kesalahan kecil, segala sapu lantai, kipas dari rotan, sendal, keset lantai pernah semua melesat ke tubuhku. Berkali-kali. Bahkan sampai tumbuh dewasa, ia tak tahu bagaimana bisa berbincang hal-hal yang inti pada ayahnya. Bagaimana bisa bersikap tegar menghadapi ayahnya.  

“Bisa kah perempuan seperti itu mencintai laki-laki lain, Bob?”

Mulut Bob mengatup. Aku yang masih dipelukannya masih sesenggukan dan terus tersedu. Ia semakin mencengkeram diriku. Aku susah napas. Ia lalu menutup bibirku dan membisiki telingaku “Kamu tahu, ada banyak alasan untuk melanjutkan hidup. Pilihlah dan ikuti nuranimu.” 

“Kau tahu Bob, walaupun aku tak pernah bisa jatuh cinta. Setidaknya aku merasa nyaman di sampingmu.” Sayang, perdebatan kecil terakhir ini tidak pernah terjadi. Dan tidak mau terjadi. Sebab membiarkan seseorang mengambil keputusan yang tepat tanpa terkontaminasi pada bayangan-bayangan tak mengenakkan jauh membuat lega. Aku akan melanjutkan hidup, seperti katamu. 

Cerpen untuk melepas ingatan-ingatan kecil yang tak tersampaikan mulut

Sabtu, 20 Februari 2016

Jurnalku Temanku




Siswa kelas V SD 004 Pian Tengah berjumlah 8 siswa. Mereka Rifky, Ade, Puput, Erni, Hambali, Arif, Zar, dan Amil. 3 orang perempuan dan 5 orang laki-laki. Mereka saling membaur satu dengan yang lainnya. Saat bermain atau pun di kelas, tidak ada yang saling udur-uduran peran laki-laki dan perempuan. Zar misalnya ia akan dengan sigap memimpin doa. Puput juga akan siap menghapus papan tulis. Sementara siswa laki-lakinya akan bekerjasama dengan siswa lainnya setiap hari menyapu kelas. 

Saat melakukan praktik pengalaman mengajar dulu di sebuah SD di Purwakarta, saya hampir kebingungan saat ingin membagi kelompok entah bermain atau eksperimen. Sebab antara siswa laki-laki dan perempuan tidak mau dicampur. Begitu pula saat ingin mengganti posisi duduk dan tata letak kelas. Mereka semacam membuat kubu. Namun, sekarang hal yang menarik yakni anak-anakku sangat luwes. 

Suatu ketika, saya melihat siswa saya murung. Tidak seperti biasanya yang lincah. Namun, antar saya dan dia seolah ada tembok. Saat saya menerangkan, ia sering bermain sendiri entah mencorat-coret buku, menjahili teman, atau membaca buku. Intinya dia tidak memperhatikan saya. Tidak seperti anak yang lain yang cerewet bertanya ini-itu. Saat saya mengingatkan untuk kembali fokus pada pelajaran, dari raut mukanya justru semakin menunjukkan ketidak senangannya. Kadang saya jengkel, namun saya simpan saja. Saya ingin mengetahui diri masing-masing anak saya. 

Jurnal harian. Ya, ini adalah semacam catatan harian yang ditulis berdasar refleksi keseharian. Atau cerita-cerita konyol bahkan menyedihkan. Dua tahun terakhir, saya sempatkan untuk menulis catatan harian yang dalam satu buku. Walau tak setiap hari juga diisi. Kalau dulu, menulis di sembarang lembaran. Namun, saya sadar butuh satu buku tersendiri untuk menjadi teman. Dari situ, saya mencoba menawarkan pada anak-anak untuk membuat jurnal harian. Mereka tertarik untuk membuatnya. “Iye Bu, saye nak suka. Tapi, kawan lain nak boleh melihat. Cuma ibu seorang yang boleh,” kesepakatan anak-anak. 

Saya tidak membebankan pada mereka buku baru. Atau macam buku diari yang lawa (lawa : bagus). Mereka datang ke sekolah tepat waktu dan membawa buku pelajaran saja sudah satu kesyukuran bagiku. Saya hanya menghimbau untuk membawa satu buku yang masih ada lembar kosong. Bisa buku sisa di kelas sebelumnya, atau yang tak terpakai. Walhasil, jurnal mereka jadi lawa. Mereka sulap sampul buku yang sebelumnya penuh coretan dan lipat-lipatan menjadi gambar yang menarik dilihat. 

Dari situ saya melihat perasaan anak saya. Puput misalnya menulis ingin sekali punya teman bercerita dan yang bisa diajak berpuisi bersama. Sementara Zar, ia menuliskan sangat sayang keluarga. Ia ingin membuat bangga orang tua. Ia juga sangat senang jika di sekolah bisa bermain-main. Sebab, kalau di rumah tidak ada waktu untuk bermain.

Dewi Maghfi, 29 Januari 2016

Sarapan Tambol




Satu diantara perempuan yang menjadi idolaku adalah Mimak. Kala isuk jemun (pagi betul), Mimak telah bangun dan menyiapkan sarapan. Belum pernah sekalipun, saya tidak menjumpai sarapan di meja pagi hari. Entah apapun lauknya, nomer wahid ada nasi. Fiqih soal hukum sarapan di rumah kami adalah wajib! Tidak ada toleransi bagi siapapun tidak sarapan. Saya tak pernah berani untuk tidak sarapan. Walau sebenarnya kadang tidak suka dengan lauknya, mau tidak mau harus makan. Makan juga kadang sambil mecucu. Namun, karena budaya di rumah telah menjadi kolaborasi dari budaya tulen dan budaya tambahan, mimak mulai mempertimbangkan hak asasi manusia, pilihan.

Kami di rumah (anak-anak), hilir mudik mulai mencicipi hidup di kota tetangga. Yang mana anak kos, sarapan adalah hukumnya mubah. Sebatas diperbolehkan, tidak dimulyakan tidak juga dilarang. Awalnya saya berpegang teguh pada hukum sunnah. Artinya jika sarapan berarti dimulyakan. Namun, itu tak bertahan lama. Saya menggeser menjadi mubah. Jika ada waktu, eh ada uang, eh tidak bangun kesiangan, eh tidak ada kelas pagi, eh eh yang lain ya sarapan. Jika tidak ya tidak apa lah. 

Campuran budaya itu yang membuat rindu pada Mimak. Belakangan, Mimak mulai membuat kelonggaran atas pertimbangan banyak hal. “Dimakan atau tidak, yang penting saya  tetap konsisten menyiapkan sarapan tiap pagi,” keluhnya. Tentu, bukanlah karena Mimak sudah mulai bosan. Ia adalah orang yang memberi contoh dari sekadar petuah.  Iya ya, saya sadar. Ada satu alasan rindu yang khas dari Mimak. Saya tidak pernah datang terlambat ke sekolah gegara soal sarapan. Mimak adalah nomor wahid soal urusan di pagi hari sebelum kami meninggalkan rumah. Maka, saya pun memegah teguh soal mindset sarapan. Kata Mimak, harus ada makanan yang masuk ke perut di pagi hari. Perut tidak boleh kosong saat beraktivitas. Kalau dulu, kami diwajibkan sarapan nasi. Namun, mimak kian memahami bahwa ada makanan lain yang bisa digunakan untuk mengganjal perut di pagi hari. 

Sejak ngekos, saya cenderung mengupayakan sarapan dari tidak. Bedanya dengan di rumah adalah soal waktunya. Kalau di rumah, sarapan paling lambat adalah pukul setengah tujuh. Saat kos, mulai menoleransi bisa pukul delapan, Sembilan, bahkan sepuluh. Nah, sekarang ini di Natuna hidup dengan orangtua yang berasal dari Jawa (Jogja), mamakku mengupayakan sarapan. Di desa Pian Tengah, sarapan nasi tidak wajar. Para mamak-mamak akan membeli tambol (kue-kue beraneka macam yang selalu khas dengan ikan tongkol). Ada namanya kue tinju, lampar, pulut janda, kue batu, kernas, dll. Biasanya anak-anak sekolah sd-smp, pagi-pagi akan bersliweran di jalanan untuk menjajakan tambol-tambolnya sebelum ke sekolah. 

Pukul 06.15 saya sudah siap mengenakan seragam ngajar. Dilla (siswa sd kelas 6), kadang datang membawa bakulnya ke rumah. “Buk, nak kue tinju ndok?” tuturnya. Sekembalinya, dia berjalan berlari ke rumah-rumah lainnya. Pukul 06.50 saya mulai berjalan dari rumah dengan jarak menuju sekolah kira 200 meter. Di jalan, kadang menjumpai anak yang berlari-lari dengan handuk dan jariknya. Juga menjumpai anak yang memakai celana dalam sedang mengguyurkan air ke badannya dengan kegirangan. Biasanya ia menyapa “Ibuuuuuk………”Ada juga yang merengek meminta uang jajan lebih. Juga Mamak yang nampak memegang kuat tangan anaknya sembari mengguyurkan air dan mantra-mantra yang tiada ujung titiknya. 

Bel masuk sekolah dihidupkan pukul 07.30. Ruangan yang berada di dalam ruangan kantor kadang gemboknya masih berbentuk ‘n’ kaki dua (lagu untuk anak kelas 1 sd dalam mengingat abjad). Saat melewati kelas-kelas menuju kelas lima, kadang ada satu-dua meja yang kosong. Juga meja yang berada di barisan paling depan tak luput. Kelas berlangsung lima belas menit, “Buk, maaf ye terlambat. Nunggu sarapan matang.” Bukankah, ini semua harus dimulai selayaknya ketulusan Mimak yang senantiasa menyiapkan sarapan di pagi hari? Kalau saya, belajar dari sarapan ketulusan Mimak juga mantra-mantra minimalisnya. Mari…… 

Ranai, 6 Februari 2016