Gang sirandu begitu terkenal. Aku berangan untuk
menjelajah. Sementara waktu sangat singkat. Jabat tangan serta senyuman saling
aku kamu lemparkan. Aku sudah jauh-jauh hari merencanakan akan mengunjungi gang
sirandu. Gang yang kata orang-orang di luar sana, kebenaran diagungkan di atas
segalanya. Ketika itu, aku sendiri, kau pun sendiri.
Gang pembantaian ini kata orang tak jarang penuh
ceceran darah. Penggalan-penggalan kepala bergeletak. Kepala yang tak mampu
mengimbangi sudah tentulah keos.
Anehnya, orang-orang meronta untuk tetap berada di sana. Menggantungkan takdir
di sana. Bahwa, Tuhan tak akan mengubah takdir, jika diri tak mengubahnya. Sepelik
apapun kondisinya masih banyak orang yang setia mengelap tembok atau sekadar menumpang
leyeh-leyeh. Aku heran, barang di
luar sana gang-gang begitu sepi. Orang-orang mulai melirik gang sebelah yang
membumbung hedonisme. Atau sudah muak dengan apa yang telah dipertahankannya
selama bertahun-tahun. Walau setiap gang kini dibuat bak hotel berbintang.
Segala fasilitas terpenuhi. Namun sayang, genderang tak dipukul sekeras dulu.
Lebih-lebih jauh lebih keras.
Aku hanya punya waktu 8 menit untuk berada di gang
sirandu. Untuk bertatap muka denganmu. Dengan waktu sekejap itu, aku ingin
menelusuri jejak-jejak pembantaian. Delapan memang angka yang sempurna.
Titik-titik saling terhubung sehingga membentuk dua bulatan yang seimbang.
Saling menyangga.
Delapan menit itu, aku bayangkan lima tahun silam
ketika ku berlabuh di Mataram. Gunung tertinggi
di Indonesia yang menjadi impianku. Gunugng Rinjani. Aku berkelana menyusur
jalan bebatu. Entah apa yang ku mahu aku tak tahu. Namun, jalanku sudah
berpuluh-puluh kilometer. Setiap ada persimpangan, hatiku selalu gundah.
Kuikuti saja apa yang diinginkan kakiku. Kususur jalan-jalan buntu, pohon-pohon
saling tumbang, ditambah pula angin yang menerkamku. Sejenak kubaringkan
punggung di rumput, ada sesosok lelaki yang menaruh air mineral di sampingku.
Lantas ia pergi. Menjelma menjadi daun-daun teh. Ku kejar ke sana ke mari,
kuberteriak sekencang-kencangnya, tak pula ia muncul.
Entah, aku sendiri pun bingung dengan perjalanan
ini. Namun, aku selalu mendamba bercengkerama langsung dengan alam. Aku yang
bisa menumpahkan apapun pada pohon, rerumputan, air mengalir, batu-batu, bahkan
semut. Ke manapun langkahku aku selalu teringat lelaki berperawakan kekar
sedikit gemuk. Rambut lurus mengkilau.
“Mb, mampir dulu ke gubug yang kami buat ini,” kata
Parjo. Ia seorang teman yang baru aku kenal di perjalanan ini. ia menawariku
sebuah tempat peristirahatan, lengkap dengan berbagai makanan ringan yang ia
bawa. Ia bersama dua rekannya memang gemar untuk melancong. Separuh hidupnya ia
habiskan untuk mengenal apa itu Indonesia. Negeri yang berlimpah panorama.
Negeri yang memberikan sejuta kesaksian hidup, dan Negeri yang membuat Parjo
kembali ingin menemukan seorang permaisuri.
“Oh iya, bolehkah aku memejamkan mata sejenak, di
gubug ini?, ujarku dengan nafas terengah-engah.
“silakan.”
“Terima kasih,” ujarku sembari membuka serambi
gubug.
Mereka yang di luar gubug terdengar berbincang-bincang
dengan sura lirih. Aku pun turut berbincang dengannya. Paijo, berulang-ulang
kali memandangiku. Aku dan mereka bercerita tentang apa yang menjadi pengalaman
masing-masing. Pilu, cerita dari mereka. Paijo khususnya. Kulit sawo matangnya
mengkilap ketika tersorot sengatan matahari. Sorotan matanya begitu tajam
memandangiku, seolah ia masuk ke dalam bola mataku. Aku tak tega. Sebaliknya
ketika aku bercerita, mereka diam. Hanya hembusan angin yang terkadang menyapu
rambut Paijo. Tak lama, Paijo mengajakku mengunjungi danau segara anak. Biru
air telaga serta gemericik air terjun mengumbara aku dan ia untuk saling
bercerita. Cerita soal aku dan Ia. Namun, aku takut ketika Paijo sudah mulai
menyorot mataku. Sempat, Paijo akan mengatakan sesuatu padaku. Namun tak
kesampaian. Aku yang berada di dalam gubug, terbangun karena suara raungan harimau.
Aku sudah delapan puluh jam terlelap di gubug ini.
Kukaitkan tali-tali sepatu, kemudian berpamitan
dengan mereka. Sejuta terima kasih kusampaikan.
“jika kau rindu, ke marilah pada tanggal dan bulan
yang sama – 8 Agustus- di setiap tahun kelipatan delapan dari tahun ini,” ujar
Paijo padaku.
“Baiklah, jika aku rindu.”
Kubergegas menyusur kembali jalan. Kali ini jalan
penuh lumut. Aku tak bisa berjalan sekencang kemarin. Sesekali ku terpeleset
dan bangun. Jalanku sudah bertambah kilometernya. Setiap ada persimpangan
hatiku selalu gundah. Kuikuti saja apa yang diinginkan kakiku. Kususur
jalan-jalan buntu, pohon-pohon saling tumbang, ditambah pula angin yang
menerkamku. Sejenak kubaringkan punggung di rumput, ada sesosok lelaki yang
menaruh air mineral di sampingku. Lantas ia pergi. Menjelma menjadi daun-daun.
Ku kejar ke sana ke mari, kuberteriak sekencang-kencangnya, tak pula ia muncul.
Lagi-lagi lelaki itu muncul membawa air mineral.
Dengan botol yang sama dan diisi air yang tak penuh. Kuteguk hingga air menjadi
setengah. Kusimpan botol itu pada tasku. Kucari botol kemarin yang ia berikan
pula padaku. Namun, sudah raib. Tak ada di dalam tas.
Lima puluh meter di depan pandanganku,
Sepertinya ada Sandi. Ia teman akrabku.
Aku sudah mengenalnya hampir satu tahun ini. telekomunikasi kami cukup lewat handpone. Kami tak pernah bertemu
sebelumnya. Baru kali ini, aku melihatnya langsung. Memandangi mukanya di jarak
lima puluh meter. Menerawang warna baju yang ia pake. Hitam, warna yang ia
sukai. Di jarak lima meter aku menyapanya.
“San, Sandi. . . .”
Ia memandangku, mengingat-ngingatku. Aku, sibuk menjelaskan apa yang
pernah kita bicarakan tempo hari. Ia tersenyum, dan sesekali menimpali. Sama,
ia selalu menjadi orang yang memulai pembicaraan. Tak pernah kehabisan tema
untuk kita bahas. Asyik, ia memang.
“Ima, sedang apakah kau ke
mari?” ujar Sandi padaku.
“Aku tak tahu apa yang aku
cari di sini.Aku menuruti langkah kakiku.”
“Cukup. Kita obrolkan yang
lain,” ujarnya.
Ia mengajakku bernostalgia,
menyoal kegilaan kita. Tiada hari untuk saling ejek. Dari orang yang oon,
telmi, kuru, sampai si manis. Kala itu merupakan kesempatan yang bagus untuk
kami saling meluapkan semuanya. Aku tak banyak bicara. Ia yang terus mengajakku
tertawa ria. Melupakan semua keluh. Hanya alam, aku, dan ia.
Pelan-pelan, ia mengulur tali
untuk di kaitkan di bebatuan. Ia ingin menyebrangi gunung di sebelahnya. Oke,
aku membantunya. Saat ia sudah sampai berteriaklah ia padaku.
“Sekarang, giliranmu. Pegang tali
erat-erat,”ucapnya.
Aku tak mau, karena ada bayangan laki-laki yang
sudah dua kali memberiku air mineral. Kukejar ia. Ia terus berlari kencang. Tak
sering aku harus jatuh dan sobek lututku tersandung batu. Bangkit, berdiri, dan
mengejarnya kembali.
Aku penasaran. Siapa Ia? Manusia yang telah
mengusikku berpuluh-puluh hari. Kemudian ia terengah-engah duduk di batu besar
di bawah pohon beringin. Kudekati dengan langkah yang pelan dan lirih. Ia terus
memandang telaga biru di depannya. Ia tak melihat aku. Dari jarak lima meter ia
berteriak.
“Bangunlah, aku hanya sebuah imajinasi yang selalu
kau pikirkan. Aku tak pernah ada. Aku tak mengenalmu.aku tak pernah memberimu
air mineral. Aku pula tak pernah mengusik hidupmu.”
“Tidak, kau bohong. Aku seperti ini karenamu. Aku
hampir selalu memikirkanmu. Kau telah mengusikku,”jeritku dengan kucuran air
yang keluar dari mata.
“Bangunlah sayang, tatap indah dunimu. Ini hanya
ruang imajinasi. Imajinasi bisa terwujud bisa saja tidak. Jangan kau selalu
berharap nyata dari apa yang kau imajinasikan.”
“Baik, aku akan melupakan kamu dan air mineralmu.
Namun, siapa namamu?”
“Aku, aku, . . .”
“Siapa?”
Lantas kau hilang. Menjelma
menjadi angin yang memudar. Meninggalkan hawa segar di bawah pohon beringin
itu. Langit sontak mendung, air mengguyur seluruh tubuhku, juga telaga yang ada
di depanku semakin penuh. MU, dua huruf yang terukir di atas danau itu.
Di gang sirandu, aku
menghabiskan delapan menit. Kau Imajinasi, telah membunuhku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar