Minggu, 16 Maret 2014

Ayah Ibu = Ibu Ayah

Jika kelak nanti aku akan menjadi ibu, aku akan menjadi ibu hanya seperti ibu (kami) 

Jika kelak nanti aku akan menjadi ibu, aku akan menjadikan ibu (kami) sebagai referensi petualangan

Jika kelak nanti ia menjadi ayah, ia akan menjadi kawan dalam berbincang. Aku akan menjadi lawan dalam bermain catur atau kartu. Ia yang terkadang membuat nasi goreng buat kami. Atau aku yang akan menaiki genteng untuk menambal. Namun tetap aku yang menyusui. Sesekali ia pun bisa menyusu(i). Kami akan menjadi pasangan di atas bale.  Kami akan menyatu namun tidak melebur.

Jika kelak nanti aku akan menjadi ibu, aku akan menjadi ibu hanya seperti ibu (kami) 

Jika kelak nanti aku akan menjadi ibu, aku akan menjadikan ibu (kami) sebagai referensi petualangan

Jika kelak nanti ia menjadi ayah. Aku suka warna hitam. Ia suka warna putih. Seribu anak kami memilih pink, jingga, ungu, bunga, dll. Bapak ibu-ibu bapak (kami) terserah warna apa pun. Mereka memuji warna hijau. Di bilik ini menjadi ruang kita bebas berekspresi.

Tentang anggapan Nietzsche, Laki-laki menghendaki hanya dua hal: bahaya dan permainan. Untuk alasan itu, ia menginginkan wanita sebagai mainan paling berbahaya. Atau pendapat Edgar Watson Howe tidak ada wanita yang pernah jatuh cinta kepada seorang pria kecuali dia memiliki pendapat yang lebih baik daripada apa yang dianggap oleh pria itu. Ah, itu hanya pendapat mereka. Kami akan memaknai sendiri. Kami ingin sederhana. Sesederhana mengejanya.

Kau tahu bapak ibu kita, telah membentang samudra untuk kita? Kau tahu bapak ibu kita yang menyibak ilalang untuk menemukan satu apel untuk kita? Kau tahu bapak ibu kita yang terkadang memecut tangan dengan rotan hanya soal ketidaktepatan kecil? Kau tahu? Hanya bapak ibu kita
  
Jika kelak nanti,
Jika kelak nanti, Tuhan telah menyusup dalam sukma kami