Jika kelak
nanti aku akan menjadi ibu, aku akan menjadi ibu hanya seperti ibu (kami)
Jika kelak
nanti aku akan menjadi ibu, aku akan menjadikan ibu (kami) sebagai referensi petualangan
Jika kelak
nanti ia menjadi ayah, ia akan menjadi kawan dalam berbincang. Aku akan menjadi
lawan dalam bermain catur atau kartu. Ia yang terkadang membuat nasi goreng
buat kami. Atau aku yang akan menaiki genteng untuk menambal. Namun tetap aku
yang menyusui. Sesekali ia pun bisa menyusu(i). Kami akan menjadi pasangan di
atas bale. Kami akan menyatu namun tidak melebur.
Jika kelak
nanti aku akan menjadi ibu, aku akan menjadi ibu hanya seperti ibu (kami)
Jika kelak
nanti aku akan menjadi ibu, aku akan menjadikan ibu (kami) sebagai referensi
petualangan
Jika kelak
nanti ia menjadi ayah. Aku suka warna hitam. Ia suka warna putih. Seribu anak
kami memilih pink, jingga, ungu, bunga, dll. Bapak ibu-ibu bapak (kami)
terserah warna apa pun. Mereka memuji warna hijau. Di bilik ini menjadi ruang
kita bebas berekspresi.
Tentang anggapan Nietzsche,
Laki-laki menghendaki hanya dua hal: bahaya dan permainan. Untuk alasan itu, ia
menginginkan wanita sebagai mainan paling berbahaya. Atau pendapat Edgar Watson
Howe tidak ada wanita yang pernah jatuh cinta kepada seorang pria kecuali dia
memiliki pendapat yang lebih baik daripada apa yang dianggap oleh pria itu. Ah, itu
hanya pendapat mereka. Kami akan memaknai sendiri. Kami ingin sederhana.
Sesederhana mengejanya.
Kau tahu
bapak ibu kita, telah membentang samudra untuk kita? Kau tahu bapak ibu kita
yang menyibak ilalang untuk menemukan satu apel untuk kita? Kau tahu bapak ibu
kita yang terkadang memecut tangan dengan rotan hanya soal ketidaktepatan kecil?
Kau tahu? Hanya bapak ibu kita
Jika kelak
nanti,
Jika kelak
nanti, Tuhan telah menyusup dalam sukma kami