Negeri
ini sedang koma. Hidup namun tak berdaya. Kaya namun haus. Kekeringan di tengah
samudra. Negeri yang malang. Ah, mengulas kisah itu menyenangkan. Konon, suatu
saat akan datang seorang penyelamat. Ia akan membawa kesejahteraan,
ketentraman, dan keadilan. Ini ramalan datang dari Prabu Jayabaya seorang
Raja Kadiri yang memerintah di tahun 1135-1157.
Dalam
bukunya Musasar ia berkelakar akan ratu keadilan. Sosok yang meneduhkan
masyarakat dalam bergerak bersama. Ia sederhana dan bersahaja. ia hadir ketika
perpecahan sedang datang. Konflik antar manusia, kekuasaan, dan bencana di
mana-mana. Kelak ia datang menjelang kiamat.
Satria
piningit bisa jadi akan ada atau hanya sebuah alkisah yang berujung pada bumbu-bumbu
kemenangan terhadap lawan. Satria piningit bukan benda yang ditunggu
kedatangannya secara tiba-tiba. Ia tak bisa dibeli di toko mana pun. Dan tak
bisa direka-reka sedemikian rupa. Ditunggu dengan menyandarkan pada waktu.
Namun, satria piningit adalah sebuah kerja panjang yang menyisakan pilu dan
getir. Ia bukan instan dan ditunggu. Ia tak bisa serta merta mendatangkan
kebahagiaan abadi, justru ia adalah kesakitan yang panjang untuk menegakkan
keadilan.
Satria
piningit tak akan membawa kebahagian sejati dan mutlak. Sebab tak akan pernah
ada kebahagian mutlak di dunia ini atau dunia lain. Manusia perlu melawan
keping-keping sifat kebengisan diri. Sebab sejatinya manusia adalah hal yang
suci, fitrah.
Pekerjaan
menunggu adalah pekerjaan yang rendah yang akan berujung kesia-siaan.
Lebih-lebih jka tak ada ketidakpastian. Tak akan ada cerita selanjutnya. Akhir
kata alkisah akan selesai. Bandingkan dengan mengganti menjadi mengusahakan,
mengupayakan. Setidaknya ada sebuah usaha yang di tempuh. Ada step yang
dilakukan. Pekerjaan menunggu barangkali pekerjaan yang statis. Dan statis itu
mendekati mati, katanya. Walau dalam beberapa hal menunggu itu dimaknai untuk
merefleksi segala sesuatu. Itu jauh lebih bagus daripada diam. Sebab alkisah
akan berlanjut, berkembang, dan menemukan tandanya.
Suatu
kali, aku ingin ke tempat A. Untuk menuju ke sana aku harus menempuh kurang
lebih lima belas menit menggunakan angkot. Di tepi jalan aku menunggu angkot
yang akan lewat. Semenit aku menunggu namun tak ada tanda-tanda kedatangannya.
Kuputuskan untuk jalan kaki. Jika memang ada angkot di tengah perjalanan aku
akan menyetopnya. Jika tidak setidaknya waktuku tak habis hanya untuk melamun
di tepi jalan. Tentunya keputusan seperti itu harus mempertimbangkan waktu
untuk sampai di tempat agar tidak telat dan marabahaya lain. Di sini, manusia
dituntut untuk berpikir dan bergerak dalam kondisi seperti apapun. Maka, Tuhan
sangat menghargai setiap usaha yang dilakukan.
Berdasarkan
cerita dangkal tersebut tidak akan pernah ada satria piningit yang hanya
dinanti. Ia ada sebab proses diri yang panjang untuk memperbaharui peradaban.
Di mulai dari lingkungan keluarga, sosial, serta hubungan dengan Tuhan. Maka,
menjadikan diri sebagai satria piningit untuk diri sendiri merupakan bentuk
penggalangan untuk memunculkan satria piningit dalam kelompok besar. Sebab,
perang abadi hanyalah memerangi diri sendiri. Memerangi kemalasan, kebodohan,
ketakpedulian terhadap lingkungan, lebih-lebih menutup panca inderawi. Hanya
dengan memerangi diri sendiri dari lingkup kecil untuk membangun negeri ini.
Dan setiap manusia berhak untuk memetakan negeri dari lingkup kecil di
lingkungan sekitarnya.
Ini
negeri butuh kepala-kepala dalam mendesain. Butuh tangan-tangan untuk meraba
desain tersebut, butuh kaki-kaki untuk menegakkan, butuh darah untuk menyuplai
aliran di semua lini. Setiap diri berharga. Setiap diri berhak memberhargakan
diri. Pesta demokrasi dilakukan untuk menjadikan diri sebagai satria piningit
bagi diri sendiri dan liyan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar