Minggu, 16 Maret 2014

Bergerak Menjadi Satria Piningit

Negeri ini sedang koma. Hidup namun tak berdaya. Kaya namun haus. Kekeringan di tengah samudra. Negeri yang malang. Ah, mengulas kisah itu menyenangkan. Konon, suatu saat akan datang seorang penyelamat. Ia akan membawa kesejahteraan, ketentraman, dan keadilan. Ini ramalan datang dari  Prabu Jayabaya seorang Raja Kadiri yang memerintah di tahun 1135-1157.


Dalam bukunya Musasar ia berkelakar akan ratu keadilan. Sosok yang meneduhkan masyarakat dalam bergerak bersama. Ia sederhana dan bersahaja. ia hadir ketika perpecahan sedang datang. Konflik antar manusia, kekuasaan, dan bencana di mana-mana. Kelak ia datang menjelang kiamat.



Satria piningit bisa jadi akan ada atau hanya sebuah alkisah yang berujung pada bumbu-bumbu kemenangan terhadap lawan. Satria piningit bukan benda yang ditunggu kedatangannya secara tiba-tiba. Ia tak bisa dibeli di toko mana pun. Dan tak bisa direka-reka sedemikian rupa. Ditunggu dengan menyandarkan pada waktu. Namun, satria piningit adalah sebuah kerja panjang yang menyisakan pilu dan getir. Ia bukan instan dan ditunggu. Ia tak bisa serta merta mendatangkan kebahagiaan abadi, justru ia adalah kesakitan yang panjang untuk menegakkan keadilan.


Satria piningit tak akan membawa kebahagian sejati dan mutlak. Sebab tak akan pernah ada kebahagian mutlak di dunia ini atau dunia lain. Manusia perlu melawan keping-keping sifat kebengisan diri. Sebab sejatinya manusia adalah hal yang suci, fitrah.


Pekerjaan menunggu adalah pekerjaan yang rendah yang akan berujung kesia-siaan. Lebih-lebih jka tak ada ketidakpastian. Tak akan ada cerita selanjutnya. Akhir kata alkisah akan selesai. Bandingkan dengan mengganti menjadi mengusahakan, mengupayakan. Setidaknya ada sebuah usaha yang di tempuh. Ada step yang dilakukan. Pekerjaan menunggu barangkali pekerjaan yang statis. Dan statis itu mendekati mati, katanya. Walau dalam beberapa hal menunggu itu dimaknai untuk merefleksi segala sesuatu. Itu jauh lebih bagus daripada diam. Sebab alkisah akan berlanjut, berkembang, dan menemukan tandanya.


Suatu kali, aku ingin ke tempat A. Untuk menuju ke sana aku harus menempuh kurang lebih lima belas menit menggunakan angkot. Di tepi jalan aku menunggu angkot yang akan lewat. Semenit aku menunggu namun tak ada tanda-tanda kedatangannya. Kuputuskan untuk jalan kaki. Jika memang ada angkot di tengah perjalanan aku akan menyetopnya. Jika tidak setidaknya waktuku tak habis hanya untuk melamun di tepi jalan. Tentunya keputusan seperti itu harus mempertimbangkan waktu untuk sampai di tempat agar tidak telat dan marabahaya lain. Di sini, manusia dituntut untuk berpikir dan bergerak dalam kondisi seperti apapun. Maka, Tuhan sangat menghargai setiap usaha yang dilakukan.


Berdasarkan cerita dangkal tersebut tidak akan pernah ada satria piningit yang hanya dinanti. Ia ada sebab proses diri yang panjang untuk memperbaharui peradaban. Di mulai dari lingkungan keluarga, sosial, serta hubungan dengan Tuhan. Maka, menjadikan diri sebagai satria piningit untuk diri sendiri merupakan bentuk penggalangan untuk memunculkan satria piningit dalam kelompok besar. Sebab, perang abadi hanyalah memerangi diri sendiri. Memerangi kemalasan, kebodohan, ketakpedulian terhadap lingkungan, lebih-lebih menutup panca inderawi. Hanya dengan memerangi diri sendiri dari lingkup kecil untuk membangun negeri ini. Dan setiap manusia berhak untuk memetakan negeri dari lingkup kecil di lingkungan sekitarnya.


Ini negeri butuh kepala-kepala dalam mendesain. Butuh tangan-tangan untuk meraba desain tersebut, butuh kaki-kaki untuk menegakkan, butuh darah untuk menyuplai aliran di semua lini. Setiap diri berharga. Setiap diri berhak memberhargakan diri. Pesta demokrasi dilakukan untuk menjadikan diri sebagai satria piningit bagi diri sendiri dan liyan

Tidak ada komentar: