Sore, aku hanya suka senja. Ia meneduhkan. Memberikan corak
yang eksotis pada langit. Bayangannya persis jatuh di depanku. Ini sore, aku
sedang duduk di bangku panjang. Bangku ini dibentuk setengah lingkaran yang
dijajar saling membelakangi hingga tujuh sampai delapan barisan. Bangku ini
sering dipenuhi penonton kala ada pertandingan atau sekadar acara hiburan. Di
depanku ada selapis beton yang menjulang tinggi dan bercokolan batu-batu kecil
di lapisan epidermisnya.
Menikmati senja dengan ditemani buku dan pulpen melepas imaji
untuk berkelana. Ada beberapa baris coretan yang kutuangkan di kertas. Entah,
hal yang telah terlewati selalu menjadi kenangan. Lebih-lebih yang menyoal
kesakitan. Ia terekam kuat di memori. Ia menjelma menjadi dorongan yang kuat.
Ia tak lantas datang seketika namun menyublim dalam diri. Terkadang ia datang
melampaui kemampuan maksimal yang pernah diramalkan diri.
Ia mohamad yang akan berbagi cerita. Sebuah nama yang banyak
didoakan orang. Mohamad didambakan mempunyai perbuatan terpuji. Ia tokoh
sepanjang masa. Ia seorang rasulnya rasul, nabinya nabi, rasul dan nabi untuk umatnya.
Ia mendekat. Dua tiga detik ia memandangiku dengan kening
mengernyit. Ia semacam menerawang siapa aku. Tentu, kami saling kenal dan
akrab. Mohamad seorang pemuda rantau dari pulau seberang. Aku mengenalnya
semenjak semester awal. Ia pemuda yang mau berusaha lebih. Ia akan melakukan
segala hal untuk memenuhi kebutuhannya. Ya, ia anak ke dua dari dua bersaudara.
Umur lima tahun menjadi alarm yang senantiasa hidup di kepalanya. Terakhir kali
memandang bola mata yang menawan dan tajam dari seorang ayah. Semenjak itu, ia menganggap ayah untuk
perempuan paruh baya. Memanggil ibu di saat menemaninya di atas ranjang.
“Nak, aku hanya punya uang sepuluh juta, barang kau bisa
manfaatkan untuk bekal di tanah rantau,” ucap ibunya. Kala itu ia duduk di
semester empat.
Ia berdiri untuk mendirikan kedai makanan ringan. Dua bulan
berjalan, ia menikmati setiap pelanggan yang datang. Ia meracik menunya
sendiri. Ia namakan kapal selam, kapal karem, dan kapal kapal lainnya. Lima
bulan berjalan kedai mulai sepi. Ia tak
sanggup lagi menggaji karyawan. Lantas, ia putuskan untuk menjadi pemilik
sekaligus karyawan untuk kedainya. Pukul 05.30 ia sudah siap berdiri di tepi
jalan menyetop angkot. Belanja terigu, bawang, ikan, gula, minyak, dll.
Setibanya di kedai ia memasak dan menata ruangan. Ruangan yang sudah bercampur
dengan buku-buku berserakan, baju-baju, dan bantal dengan kapuk lepek bekas
tidurnya semalam. Kala kuliah jam tujuh ia selalu telat. Untuk jalan menuju
kampus ia menghabiskan waktu sepuluh menit.
Delapan bulan berjalan, pintu kedai hanya dibuka pagi dan
malam hari. Di sela-sela kuliah ia menghabiskan waktunya di fotokopian. Sempat
pula menjadi agen buku untuk teman-temannya. Menjadi kurir fotokopi buku
pelajaran, menjadi agen kos-kosan. Barang masih banyak hal lagi yang dikerjakan
untuk menyambung hidup. Untuk sekadar mengabari ibunya, “Saya baik dan kuliah lancar.”
Saat ini, ia merintis bimbel untuk sekolah dasar, menengah,
dan atas. Di manajemen ada empat orang yang mengontrol dan enam belas pengajar.
Dari senyum mungilnya ia menggodaku, “kapan kita akan memulai untuk
menyelesaikan tugas akhir perkuliahan ini?” belum sempat aku menjawab, “Pilihan
untuk menyiapkan bekal sebelum mengenakan toga ternyata penting. Aku berencana
untuk tinggal di jawa saja,” terangnya sembari menatap dan meyakinkan wanita
mungil di sampingnya.
“Kau nampak beda. Sejak tadi aku hampir tak mengenalimu.
Pipi, bahu, dan paha mu …….,” tutupnya sembari ketawa. “Sssttt….barangkali ini
dewi yang lain.”
Rasa sakit yang dalam akan melahirkan ide-ide baru yang tak
terduga. Rasa sakit bukan menjadi alasan untuk tidak melakukan apa-apa.
Barangkali harus diawali dengan paksaan. Aku tak akan memandang kesuksesanmu di
masa yang akan datang, Mohamad. Sebab, saat ini kau telah sukses menjadikan
raja buat dirimu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar