Kuliah Kerja Lapangan merupakan kegiatan ilmiah yang berupa kajian materi
perkuliahan. Dengan menggunakan pendekatan keilmuan terhadap objek di luar
kelas terkait dengan jurusan dan program studi yang ditempuh. Namun,
pengaplikasian Kuliah Kerja Lapangan pada Perguruan Tinggi berbanding terbalik.
Kini, KKL hanya sebatas euforia.
Paradigma Kuliah Kerja Lapangan (KKL)
telah beralih menjadi wisata. Bukan lagi untuk memperoleh pengetahuan dan
ketrampilan yang berkenaan atas konsep, teori, pengetahuan yang diperoleh saat
perkuliahan.
Frekuensi untuk melaksanakan KKL yaitu sekali selama masa studi. Namun,
tidak menutup kemungkinan beberapa jurusan tertentu melaksanakan lebih dari
satu kali. Euforia KKL pun telah menutup akan esensi sebenarnya kerja lapangan.
Yang hanya dijadikan sebagai rutinitas wajib yang harus ada pada setiap tahun.
Walaupun tidak begitu mendesak kebutuhannya.
Esensi KKL
Modernisme manusia telah membawa pada hilangnya hakikat diadakannya suatu
kegiatan. Begitu juga dengan KKL. Kebutuhan untuk bersenang-senang semakin
mendesak daripada melakukan kerja lapangan. Jika memang hakikat dari KKL sudah
beralih makna, lebih baik dicarikan solusi. Mungkin lebih cocok dengan wisata mahasiswa dan KKL mungkin
ditiadakan. Tidak menutup kemungkinan bahwa wisata merupakan suatu kebutuhan
manusia. Dengan begitu tidak ada pembohongan publik terkait kerancuan makna
dari KKL.
Persoalan bukan terletak pada kebutuhan akan kerja lapangan atau wisata. Namun
hakikat dari KKL telah melenceng dari tujuan awal. Pemaknaan dan
pengaplikasiannya berubah menjadi kegiatan melancong. Berarti itu tidak sejalan
dengan pengertian diatas mengapa dilaksanakannya KKL. Seakan hanya menjadi
label. Tujuan yang akan dicapai jauh dari harapan.
Semakin berkembangnya jaman, manusia
seakan salah kaprah untuk memaknai sesuatu. Manusia modern yang seharusnya
mempunyai pemikiran yang maju namun seolah terbelakang (primitif) dan
mementingkan nilai kepraktisan dan kesenangan semata.
Kegiatan Menghamburkan Uang
Kuliah Kerja Lapangan
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ketika beban yang diemban mahasiswa belum
rampung dan selalu ada, mencuat sebuah kegiatan yang kontroversi. Dikatakan
penting tidak begitu penting, namun dikatakan salah seorang dosen KKL sebagai
syarat skripsi.
Selama ini KKL selalu identik dengan mengunjungi tempat ke luar daerah asal
Perguruan Tinggi berada. Misalnya saja, Jakarta-Bandung, Bali, dll. Bukankah di
sekitar kita banyak tempat-tempat yang dapat memberikan informasi dan memenuhi
syarat? Menapa harus memilih tempat yang jauh. Toh tempat itu tidak sepenuhnya
dapat memberikan informasi yang lengkap. Dengan melihat lagi pada biaya yang
dikeluarkan. Yang dalam kenyataanya kerja lapangan yang dilakukan hanya
mengunjungi satu dua tempat namun sisa waktu digunakan untuk mengunjungi objek
wisata.
Hal tersebut merupakan suatu kegiatan yang hanya menghambur-hamburkan uang.
Ketika masih banyak kegiatan yang bermanfaat untuk dilakukan.
Penentuan daerah tujuan KKL memang bisa dikatakan sesuai kesepakatan antara
kedua belah pihak, mahasiswa dan pendamping. Namun keputusan tertinggi masih
tetap pada penentu kebijakan (pendamping). Jadi, sama saja ketika dari
mahasiswa mempunyai usulan tempat lain yang pada akhirnya tidak disetujui. Dan
tempat pilihan pendamping ya itu-itu saja dari tahun ke tahun.
Harusnya KKL tidak hanya dijadikan sebagai rutinitas semata. Namun jika memang
KKL sangat diperlukan dalam perkuliahan maka, butuh keseriusan dari semua
pihak. Jangan sampai tujuan dari kegiatan yang sakral menjadi beralih menjadi
sebuah tuntutan kesenangan. Memang diperlukan adanya pembedaan antara KKL dan
wisata. Di samping itu tidak menutup kemungkinan masih ada beberapa program
studi yang melakukan KKL sesuai kebutuhan dan penting untuk dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar