Sabtu, 04 Oktober 2014

Tadarus Cinta untuk Munir


Ini ruang pertemuan. Cat dinding yang nampak usang, begitu debu-debu yang nampak mengotori jendela-jendela. Di Gedung notariat Undip, Pleburan, Safuddin Hafiz menyulapnya menjadi galeri. Puluhan lukisannya ia padu padankan di tembok tersebut. Ia menamai “tribute to Munir”. Sebuah pameran tunggal untuk melawan lupa atas kematian Munir 10 tahun silam.

Pentas budaya, diskusi, dan aksi damai tersebut berlangsung 7-11 September. Ia yang sebelumnya melakukan pameran tunggal dengan karya yang sama di rumah seni Lokananta Solo. Ia sempat ditolak ketika mengajukan proposal pameran di Galeri Bentara Solo. Telisik demi telisik, Bentara Solo tidak berani memamerkan karyanya sebab berhubungan dengan Munir. Maka, ketika kawan-kawan yang mengatasnamakan Koalisi Semarang untuk Munir menerima dengan tangan terbuka, Uddin panggilan akrabnya, begitu bahagia.
            
“Tadarus tak hanya mengeja lewat mulut dan melafalkannya,” tutur Uddin sembari menghirup asap rokok yang tak lepas dari tangannya sejak awal perbincangan. Tadarus adalah kekuatan jiwa, energi, dan niat untuk tetap menjaganya. Tadarus menjadi sikap melawan lupa akan segala hal. “Ini adalah sikap, komitmen sekaligus dedikasi seni dan kebudayaan, yang sejatinya diciptakan untuk mengabdi pada pemikiran dan nilai kemanusiaan. Sebagaimana Cak Munir mengabdi pada pemikiran untuk melawan lupa dan perjuangan penegakan hak asasi manusia. Bagaimana dengan kita?”
            
Lanjutnya, “Saya memilih melalui jalan ini. Saya akan tetap meyakini bahwa ini adalah jalanku.” Pria kelahiran 6 Agustus 1970 ini menjadikan referensi-referensi terkait Munir sebagai dasar pemikirannya. Munir telah menegakkan Hak Asasi Manusia di negeri ini. Apapun kata orang tentang dirinya, Munir telah membuktikan bahwa perjuangan menegakkan HAM adalah sesuatu yang mulia, meski penuh bahaya. Di masa-masa mencekam rejim Orde Baru berkuasa, saat kebebsan dipasung dan segala aktivitas yang berseberangan dengan Negara diawasi secara ketat, ia bersikap : tak kenal takut menyuarakan kelompok masyarakat serta rakyat yang mengalami penindasan dan ketidakadilan.
            
Uddin menjadikan setiap karyanya sebagai ibadah. Maka tak ada keresahan padanya ketika ia harus mengeluarkan 10 juta untuk proses pembuatannya. Terlebih tak ada satu pun sponsor yang mendukungnya. Baginya, belajar untuk ikhlas adalah hal terindah. “Jika ada masyarakat senang melihat karya saya, itu lah hal yang menggembirakan. Tak meminta lebih,” tuturnya. Benar, beberpa karyanya yang sedang dipamerkan tersebut telah ditawar seorang advokat dari Jogjakarta. Ia pun tak mematok harga. Ia lebih memilih untuk bertanya pada siapapun yang tertarik pada karyanya dan ingin memilikinya, “Jenengan, gadah arto berapa?” Ia akan ikhlas pada siapa pun yang menawar dengan kemampuan masing-masing.
            
Salah satu lukisan Munir yang dipamerkan, ada rajutan kata-kata Suciwati, istri Munir yang begini bunyinya, “Keberanian itu mudah, selama kita mau. Mari menjadi berani untuk kebenaran dan keadilan.” Suciwati dan anak-anaknya tak akan pernah melupakan sosok legendaris dalam keluarga kecil mereka. Melalui langkah-langkah kecil, Suciwati dan dua orang anaknya akan terus menghidupi Munir. Munir tidak mati. Ia hanya pergi ke alam yang beda. Di sini, dunia, ruhnya akan hidup untuk selamanya. Selama para manusia masih mau menadarus dunia dengan penuh cinta dan segala seluk beluknya.

Uddin mengaku akrab pula dengan Wiji Thukul. Seorang aktivis yang menyuarakan gagasannya melalui puisi. Namun, nasib malangnya tak jauh beda dengan Munir. Entah, kini Thukul ke mana? Orang tak sibuk menanti kehadiran fisiknya. Namun dengan karya yang ditorehkannya, orang menganggap Thukul benar-benar masih. Sebab, puisinya benar-benar ‘hidup’.