Ini ruang pertemuan. Cat dinding yang nampak usang, begitu debu-debu yang nampak mengotori jendela-jendela. Di Gedung notariat Undip, Pleburan, Safuddin Hafiz menyulapnya menjadi galeri. Puluhan lukisannya ia padu padankan di tembok tersebut. Ia menamai “tribute to Munir”. Sebuah pameran tunggal untuk melawan lupa atas kematian Munir 10 tahun silam.
Pentas
budaya, diskusi, dan aksi damai tersebut berlangsung 7-11 September. Ia yang
sebelumnya melakukan pameran tunggal dengan karya yang sama di rumah seni
Lokananta Solo. Ia sempat ditolak ketika mengajukan proposal pameran di Galeri
Bentara Solo. Telisik demi telisik, Bentara Solo tidak berani memamerkan
karyanya sebab berhubungan dengan Munir. Maka, ketika kawan-kawan yang
mengatasnamakan Koalisi Semarang untuk Munir menerima dengan tangan terbuka,
Uddin panggilan akrabnya, begitu bahagia.
“Tadarus
tak hanya mengeja lewat mulut dan melafalkannya,” tutur Uddin sembari menghirup
asap rokok yang tak lepas dari tangannya sejak awal perbincangan. Tadarus
adalah kekuatan jiwa, energi, dan niat untuk tetap menjaganya. Tadarus menjadi
sikap melawan lupa akan segala hal. “Ini adalah sikap, komitmen sekaligus
dedikasi seni dan kebudayaan, yang sejatinya diciptakan untuk mengabdi pada
pemikiran dan nilai kemanusiaan. Sebagaimana Cak Munir mengabdi pada pemikiran
untuk melawan lupa dan perjuangan penegakan hak asasi manusia. Bagaimana dengan
kita?”
Lanjutnya,
“Saya memilih melalui jalan ini. Saya akan tetap meyakini bahwa ini adalah
jalanku.” Pria kelahiran 6 Agustus 1970 ini menjadikan referensi-referensi
terkait Munir sebagai dasar pemikirannya. Munir telah menegakkan Hak Asasi
Manusia di negeri ini. Apapun kata orang tentang dirinya, Munir telah
membuktikan bahwa perjuangan menegakkan HAM adalah sesuatu yang mulia, meski
penuh bahaya. Di masa-masa mencekam rejim Orde Baru berkuasa, saat kebebsan
dipasung dan segala aktivitas yang berseberangan dengan Negara diawasi secara
ketat, ia bersikap : tak kenal takut menyuarakan kelompok masyarakat serta
rakyat yang mengalami penindasan dan ketidakadilan.
Uddin
menjadikan setiap karyanya sebagai ibadah. Maka tak ada keresahan padanya
ketika ia harus mengeluarkan 10 juta untuk proses pembuatannya. Terlebih tak
ada satu pun sponsor yang mendukungnya. Baginya, belajar untuk ikhlas adalah
hal terindah. “Jika ada masyarakat senang melihat karya saya, itu lah hal yang
menggembirakan. Tak meminta lebih,” tuturnya. Benar, beberpa karyanya yang
sedang dipamerkan tersebut telah ditawar seorang advokat dari Jogjakarta. Ia
pun tak mematok harga. Ia lebih memilih untuk bertanya pada siapapun yang
tertarik pada karyanya dan ingin memilikinya, “Jenengan, gadah arto berapa?” Ia akan ikhlas pada siapa pun yang
menawar dengan kemampuan masing-masing.
Salah
satu lukisan Munir yang dipamerkan, ada rajutan kata-kata Suciwati, istri Munir
yang begini bunyinya, “Keberanian itu mudah, selama kita mau. Mari menjadi
berani untuk kebenaran dan keadilan.” Suciwati dan anak-anaknya tak akan pernah
melupakan sosok legendaris dalam keluarga kecil mereka. Melalui langkah-langkah
kecil, Suciwati dan dua orang anaknya akan terus menghidupi Munir. Munir tidak
mati. Ia hanya pergi ke alam yang beda. Di sini, dunia, ruhnya akan hidup untuk
selamanya. Selama para manusia masih mau menadarus dunia dengan penuh cinta dan
segala seluk beluknya.
Uddin mengaku akrab pula dengan Wiji Thukul.
Seorang aktivis yang menyuarakan gagasannya melalui puisi. Namun, nasib
malangnya tak jauh beda dengan Munir. Entah, kini Thukul ke mana? Orang tak
sibuk menanti kehadiran fisiknya. Namun dengan karya yang ditorehkannya, orang
menganggap Thukul benar-benar masih. Sebab, puisinya benar-benar ‘hidup’.