“…..Kehidupanku berbeda dengan kalian. Kau
urusi sendiri perutmu. Ini kelaminku. kalian tak punya hak untuk melarang.
Hidup ini kejam pecundang….”
Hidup di masyarakat justru lebih mengerikan. Ia lahir dari seragamisasi pemaknaan terhadap simbol-simbol. Entah kekayaan, kesuksesan, dan ketaqwaan. Maka setiap manusia berlomba-lomba menunjukkan eksistensi diri untuk mendapat pengakuan. Caranya saja yang membedakan antar satu dengan yang liyan. Ada yang memilih profesi sebagai pekerja seks komersial misalnya.
Manusia tak bisa lepas dari bau-bau seks. Awalnya, kita dipertontonkan pada sensualitas yang ada. Layaknya dalam blue film, sensualitas dibangun dengan berbagai macam dialog yang saling memuji satu sama lain, isyarat tubuh yang mempertontonkan keelokan tubuh, pelambatan adegan-adegan yang dapat memancing nafsu, hingga adegan yang direpetisi. Penonton pun dibuat berkhayal setinggi mungkin. Aktor dan penonton sepakat jika seluruhnya bermuara pada orgasme.
Sensualitas kemudian membangkitkan imajinasi seksualitas, yang mana mendorong hasrat seseorang untuk berkhayal melakukannya. Seksualitas merupakan ketertarikan untuk melakukan kegiatan seks. Pada prinsipnya, Seks tak boleh dimaknai sebagai birahi secara serampangan. Seks sejak lahir di dunia dilakukan untuk membuktikan keintiman fisik dan keterikatan maknawi antar dua atau lebih manusia. Jika sekarang bertebaran film yang disisipi adegan seksualitas, itu sangat primitif. Sebab lahiriyah manusia memang butuh memfungsikan kelamin yang dimilikinya tanpa harus dipancing-pancing hal-hal semacam itu. Namun menilik sekarang, seks hanya sebuah pengaminan terhadap birahi yang diyakini secara bersama. Maka tak heran jika sekarang teknologi dijadikan media untuk mengimajinasikan birahi tersebut. Bilik mesum warnet yang beberapa tahun belakang dimanfaatkan remaja untuk berpacaran diyakini pula untuk menyalurkan birahi. Sebab di sana menyuguhkan akses lebih luas dalam referensi pemaknaan birahi.
Seksualitas bersifat kompleks, bervariasi, dan sangat kontradiktif. Ia melibatkan hasrat dan ketertarikan, keintiman dan kelembutan, risiko dan bahaya, cinta dan benci yang muncul dalam kombinasi yang membingungkan. Secara historis berpikir tentang seksualitas telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Kita cenderung mengekspresikannya dalam berbagai cara. Tindakan seksual yang sama dapat dialami sebagai pengalaman yang unik dan menarik, biasa dan berulang, bergantung pada harapan, mood, dan situasi. Seksualitas merupakan aspek kehidupan yang paling intim dan pribadi.
Imajinasi Ilustrasi di atas dilontarkan salah satu pekerja
seks komersial saat digelandang petugas keamanaan ke dalam mobil polisi. Ada
haru, isak tangis, dan rontaan dari mereka. Ia menggelandang manusia bak mengutuk
kucing yang telah mencuri lauk makan malamnya. Padahal, mereka tak saling
merugikan bak benalu yang numpang di pohon mangga. Para pekerja seks komersial
tak pernah menggerogoti uang rakyat yang menderita di tengah gegap gempita
pecahnya dunia. Ia hanya menawarkan atas hak yang ia miliki untuk memperoleh
pengakuan hidup di masyarakat.
Hidup di masyarakat justru lebih mengerikan. Ia lahir dari seragamisasi pemaknaan terhadap simbol-simbol. Entah kekayaan, kesuksesan, dan ketaqwaan. Maka setiap manusia berlomba-lomba menunjukkan eksistensi diri untuk mendapat pengakuan. Caranya saja yang membedakan antar satu dengan yang liyan. Ada yang memilih profesi sebagai pekerja seks komersial misalnya.
Manusia tak bisa lepas dari bau-bau seks. Awalnya, kita dipertontonkan pada sensualitas yang ada. Layaknya dalam blue film, sensualitas dibangun dengan berbagai macam dialog yang saling memuji satu sama lain, isyarat tubuh yang mempertontonkan keelokan tubuh, pelambatan adegan-adegan yang dapat memancing nafsu, hingga adegan yang direpetisi. Penonton pun dibuat berkhayal setinggi mungkin. Aktor dan penonton sepakat jika seluruhnya bermuara pada orgasme.
Sensualitas kemudian membangkitkan imajinasi seksualitas, yang mana mendorong hasrat seseorang untuk berkhayal melakukannya. Seksualitas merupakan ketertarikan untuk melakukan kegiatan seks. Pada prinsipnya, Seks tak boleh dimaknai sebagai birahi secara serampangan. Seks sejak lahir di dunia dilakukan untuk membuktikan keintiman fisik dan keterikatan maknawi antar dua atau lebih manusia. Jika sekarang bertebaran film yang disisipi adegan seksualitas, itu sangat primitif. Sebab lahiriyah manusia memang butuh memfungsikan kelamin yang dimilikinya tanpa harus dipancing-pancing hal-hal semacam itu. Namun menilik sekarang, seks hanya sebuah pengaminan terhadap birahi yang diyakini secara bersama. Maka tak heran jika sekarang teknologi dijadikan media untuk mengimajinasikan birahi tersebut. Bilik mesum warnet yang beberapa tahun belakang dimanfaatkan remaja untuk berpacaran diyakini pula untuk menyalurkan birahi. Sebab di sana menyuguhkan akses lebih luas dalam referensi pemaknaan birahi.
Seksualitas Wanita dan
Gender
Kesehatan
seksual tak hanya sebatas layanan yang berfokus pada kontrasepsi, kontrol
penyakit, dan pengobatan disfungsi. Kesehatan Seksual menurut WHO dimaknai
sebagai integrasi dari aspek-aspek somatik, emosional, intelektual, dan sosial
makhluk seksual, yang dalam cara yang positif dapat memperkaya dan meningkatkan
kepribadian, komunikasi, dan cinta. Setiap orang punya hak untuk menerima
informasi seksual dan mempertimbangkan hubungan seks demi kenikmatan maupun keturunan
tanpa paksaan, diskriminasi, dan kekerasan.
Seksualitas bersifat kompleks, bervariasi, dan sangat kontradiktif. Ia melibatkan hasrat dan ketertarikan, keintiman dan kelembutan, risiko dan bahaya, cinta dan benci yang muncul dalam kombinasi yang membingungkan. Secara historis berpikir tentang seksualitas telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Kita cenderung mengekspresikannya dalam berbagai cara. Tindakan seksual yang sama dapat dialami sebagai pengalaman yang unik dan menarik, biasa dan berulang, bergantung pada harapan, mood, dan situasi. Seksualitas merupakan aspek kehidupan yang paling intim dan pribadi.
Seks
biologis merupakan karakteristik fisik pria dan wanita. Sedangkan gender
merupakan penilaian masyarakat untuk menjadi pria dan wanita dan memiliki arti
yang beda pada budaya dan waktu. Gender lahir dari produk konstruksi sosial.
Wanita dalam
hal seksualitas dianggap menjadi penyebab dalam mindset masyarakat. Seperti halnya, banyak kasus pemerkosaan di
transportasi umum yang justru perempuan dipojokkan dengan wacana-wacana tak
santun dalam berpakaian. Konstruksi masyarakat selalu mensyaratkan wanita dalam
batasan-batasan budaya yang anggun, ramah, dan tak neko-neko. Sementara pria
boleh leluasa untuk bergerak.
Di Negara ini,
seksualitas wanita dibangun dari dua steriotip, yaitu wanita tunasusila dan suci. Wanita secara seksual dianggap sebagai
manusia yang rakus dan serakah atau suci dan murni. Wanita yang aktif secara
seksual sering disalahkan atas perilaku mereka dan diberi label sebagai wanita
tunasusila. Lebih-lebih yang menggunakan pakaian terbuka dan minim. Sementara
wanita yang terlihat menutup badannya secara penuh dianggap suci dan murni.
Konstruksi yang semacam itu seringkali memojokkan posisi wanita. Padahal, kita
lahir di dunia ini tak sebatas mencari derajat yang tinggi antara pria dan
wanita. Lebih-lebih kesetaraan gender. Manusia di dunia hanya butuh keadilan.
Keadilan yang tak memandang pria dan wanita. Namun, kita mengemban amanah untuk
menjaga diri dan bermanfaat untuk liyan.
Dalam hal
berhubungan seks, tidak ada yang salah di dalamnya. Hanya saja manusia dalam
alam bawah sadar selalu ingin mengekspresikan kebutuhannya. Pada intinya setiap
individu bertanggungjawab atas perilaku dirinya. Semestinya jika kita memaknai
hakikat manusia sebagai hal yang unggul, kita patut percaya dengan yang
dilakukan individu lain. Tanpa curiga dan mencurigai yang berimbas saling
mengucilkan. Pertanggungjawaban yang paling hakiki adalah pertanggungjawaban
kepada Tuhan. Sebab Tuhan adalah kekuatan bagi manusia. Ia tidak boleh
tercerai-berai, tetapi harus diikat menjadi satu kesatuan yang harmonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar