Selasa, 11 Maret 2014

Mitologi Seks

“…..Kehidupanku berbeda dengan kalian. Kau urusi sendiri perutmu. Ini kelaminku. kalian tak punya hak untuk melarang. Hidup ini kejam pecundang….”

Imajinasi Ilustrasi di atas dilontarkan salah satu pekerja seks komersial saat digelandang petugas keamanaan ke dalam mobil polisi. Ada haru, isak tangis, dan rontaan dari mereka. Ia menggelandang manusia bak mengutuk kucing yang telah mencuri lauk makan malamnya. Padahal, mereka tak saling merugikan bak benalu yang numpang di pohon mangga. Para pekerja seks komersial tak pernah menggerogoti uang rakyat yang menderita di tengah gegap gempita pecahnya dunia. Ia hanya menawarkan atas hak yang ia miliki untuk memperoleh pengakuan hidup di masyarakat. 

Hidup di masyarakat justru lebih mengerikan. Ia lahir dari seragamisasi pemaknaan terhadap simbol-simbol. Entah kekayaan, kesuksesan, dan ketaqwaan. Maka setiap manusia berlomba-lomba menunjukkan eksistensi diri untuk mendapat pengakuan. Caranya saja yang membedakan antar satu dengan yang liyan. Ada yang memilih profesi sebagai pekerja seks komersial misalnya. 

Manusia tak bisa lepas dari bau-bau seks. Awalnya, kita dipertontonkan pada sensualitas yang ada. Layaknya dalam blue film, sensualitas dibangun dengan berbagai macam dialog yang saling memuji satu sama lain, isyarat tubuh yang mempertontonkan keelokan tubuh, pelambatan adegan-adegan yang dapat memancing nafsu, hingga adegan yang direpetisi. Penonton pun dibuat berkhayal setinggi mungkin. Aktor dan penonton sepakat jika seluruhnya bermuara pada orgasme. 

Sensualitas kemudian membangkitkan imajinasi seksualitas, yang mana mendorong hasrat seseorang untuk berkhayal melakukannya. Seksualitas merupakan ketertarikan untuk melakukan kegiatan seks. Pada prinsipnya, Seks tak boleh dimaknai sebagai birahi secara serampangan. Seks sejak lahir di dunia dilakukan untuk membuktikan keintiman fisik dan keterikatan maknawi antar dua atau lebih manusia. Jika sekarang bertebaran film yang disisipi adegan seksualitas, itu sangat primitif. Sebab lahiriyah manusia memang butuh memfungsikan kelamin yang dimilikinya tanpa harus dipancing-pancing hal-hal semacam itu. Namun menilik sekarang, seks hanya sebuah pengaminan terhadap birahi yang diyakini secara bersama. Maka tak heran jika sekarang teknologi dijadikan media untuk mengimajinasikan birahi tersebut. Bilik mesum warnet yang beberapa tahun belakang dimanfaatkan remaja untuk berpacaran diyakini pula untuk menyalurkan birahi. Sebab di sana menyuguhkan akses lebih luas dalam referensi pemaknaan birahi. 

Seksualitas Wanita dan Gender 
Kesehatan seksual tak hanya sebatas layanan yang berfokus pada kontrasepsi, kontrol penyakit, dan pengobatan disfungsi. Kesehatan Seksual menurut WHO dimaknai sebagai integrasi dari aspek-aspek somatik, emosional, intelektual, dan sosial makhluk seksual, yang dalam cara yang positif dapat memperkaya dan meningkatkan kepribadian, komunikasi, dan cinta. Setiap orang punya hak untuk menerima informasi seksual dan mempertimbangkan hubungan seks demi kenikmatan maupun keturunan tanpa paksaan, diskriminasi, dan kekerasan. 

Seksualitas bersifat kompleks, bervariasi, dan sangat kontradiktif. Ia melibatkan hasrat dan ketertarikan, keintiman dan kelembutan, risiko dan bahaya, cinta dan benci yang muncul dalam kombinasi yang membingungkan. Secara historis berpikir tentang seksualitas telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Kita cenderung mengekspresikannya dalam berbagai cara. Tindakan seksual yang sama dapat dialami sebagai pengalaman yang unik dan menarik, biasa dan berulang, bergantung pada harapan, mood, dan situasi. Seksualitas merupakan aspek kehidupan yang paling intim dan pribadi. 

Seks biologis merupakan karakteristik fisik pria dan wanita. Sedangkan gender merupakan penilaian masyarakat untuk menjadi pria dan wanita dan memiliki arti yang beda pada budaya dan waktu. Gender lahir dari produk konstruksi sosial. 

Wanita dalam hal seksualitas dianggap menjadi penyebab dalam mindset masyarakat. Seperti halnya, banyak kasus pemerkosaan di transportasi umum yang justru perempuan dipojokkan dengan wacana-wacana tak santun dalam berpakaian. Konstruksi masyarakat selalu mensyaratkan wanita dalam batasan-batasan budaya yang anggun, ramah, dan tak neko-neko. Sementara pria boleh leluasa untuk bergerak. 

Di Negara ini, seksualitas wanita dibangun dari dua steriotip, yaitu wanita tunasusila dan suci. Wanita secara seksual dianggap sebagai manusia yang rakus dan serakah atau suci dan murni. Wanita yang aktif secara seksual sering disalahkan atas perilaku mereka dan diberi label sebagai wanita tunasusila. Lebih-lebih yang menggunakan pakaian terbuka dan minim. Sementara wanita yang terlihat menutup badannya secara penuh dianggap suci dan murni. Konstruksi yang semacam itu seringkali memojokkan posisi wanita. Padahal, kita lahir di dunia ini tak sebatas mencari derajat yang tinggi antara pria dan wanita. Lebih-lebih kesetaraan gender. Manusia di dunia hanya butuh keadilan. Keadilan yang tak memandang pria dan wanita. Namun, kita mengemban amanah untuk menjaga diri dan bermanfaat untuk liyan

Dalam hal berhubungan seks, tidak ada yang salah di dalamnya. Hanya saja manusia dalam alam bawah sadar selalu ingin mengekspresikan kebutuhannya. Pada intinya setiap individu bertanggungjawab atas perilaku dirinya. Semestinya jika kita memaknai hakikat manusia sebagai hal yang unggul, kita patut percaya dengan yang dilakukan individu lain. Tanpa curiga dan mencurigai yang berimbas saling mengucilkan. Pertanggungjawaban yang paling hakiki adalah pertanggungjawaban kepada Tuhan. Sebab Tuhan adalah kekuatan bagi manusia. Ia tidak boleh tercerai-berai, tetapi harus diikat menjadi satu kesatuan yang harmonis.
                                                                                   

Tidak ada komentar: