Minggu, 09 Agustus 2015

Mbak Susi

Tepat pada 31 Juli 2015 kemarin menjadi hari yang ku nanti. Hampir 5 bulan, aku meyakinkan diri dari langkah-langkah kecil. Seharian melakukan Direct Assaesment. Hari itu, aku melihat kembali rupa perempuan yang pernah membuka kembali pikiranku.

Aku berinteraksi secara empat mata dengan Mbak Susi selama satu jam. Sosok yang kali pertama ku lihat secara sekelebat telah membuat terpana. Gurat wajah yang tegas, sorot matanya yang teduh, serta senyum yang senantiasa mengembang. Satu hal lagi, lincah.

Entah kenapa, saat itu pula ada semacam ikatan batin yang kuat bahwa aku menemukan jiwaku yang lain. Ada semacam kekuatan yang tertransfer dalam diriku. Kalau dalam bahasanya Paulo Coelho hal macam itu dinamakan faal. Ada sedikit bayangan bahwa aku mengulas ingatan akan Menteri Kelautan, Susi Pudjiastuti. Bukan, bukan soal nama yang sama. Namun, lebih ke mata dan gesturnya. Ya, dua nama yang sama dengan ramalan jiwa yang serupa. Entah kenapa, aku tertarik dengan perempuan macam ini. Seketika juga aku membayangkan dua orang di kepalaku, Mbak Maria Hartiningsih dan Mbak Alissa Wahid.

Satu hari saat DA itu aku begitu seperti hari-hari biasa. Tak ada ketegangan dan memasrahkan pada jalannya pikiran dan mulutku saja. Aku ingin memerdekakan betul diriku di hari itu. Membicarakan banyak hal dengan Mbak Susi selama satu jam, menuntunku menjadi seorang yang jujur. Hal tersulit yang ku raih adalah soal jujur entah atas ucapan dan laku. Sebab, aku lebih sering berbicara dengan diri sendiri. Aku menyimpan hal besar hanya untuk diri. Itu sebabnya, aku bisa menjadi pendengar yang sangat baik. Dan sebenarnya tidak tahan dengan yang banyak bicara. Maka, untuk menyeimbangkan itu aku akan mendengar sekuat yang ku mampu.

Obrolan mbak susi memang obrolan yang sengaja mengejar dari satu pernyataan ke pernyataan lain. Membalikkan dua tiga pernyataan yang telah berlalu dan mengait-ngaitkan ke pernyataan tebakan. Ah, sebab kelincahan itu, aku bisa begitu mengalir dan jujur. Dan dalam kondisi itu, aku benar tidak bisa memposisikan diri sebagai pendengar. Walau hal tersedih dalam diriku adalah momen seperti itu.

Setengah jam obrolan berlangsung. Aku kadang terdiam, menutup mata, menggali peristiwa yang lalu dan melukiskan dalam sebuah bahasa. Menggali peristiwa yang lalu adalah menggali dengan sengaja kesakithatian yang coba aku kubur dalam-dalam. Namun, denganmu mbak susi, aku mampu untuk teteg merangkai dalam sebuah bahasa. Lalu, kamu dengan lamat-lamat benar-benar mendengar. Ah, ku yakin tak hanya mendengar namun kamu pintar untuk menangkap ‘tanda-tanda’ atas itu. Lalu, kamu sesekali menuliskannya di sebuah kertas.

Obrolan kadang berhenti pada kesunyian, lirih, dan senyap. Dan pada titik tertentu aku begitu meluap, terbahak, menggelengkan kepala, juga seluruh badan serasa bergerak. “Ini adalah kegilaanku pada sisi yang lain.” Hingga hari ini masih menjadi teka-teki. So why?

“Dewi, setelah aku membuka pertanyaan padamu, adakah yang ingin kamu bagi padaku. Hal di luar yang aku-kamu obrolkan ini?”

“Ohh……” Suasana senyap. Aku mencoba menarik napas dan tetiba pertahananku runtuh. Aku paling sebal, jika mendapat pertanyaan seperti itu. Secara tersirat aku diminta untuk berbagi ruang yang aku sendiri masih belum bisa membagi itu. Aku itu masih terlalu sombong dalam hal itu. Namun, bukan berarti tanpa alasan, justru sebaliknya.

………………………”Cukup Dewi, jika kamu tidak bisa. I am so sorry.”
“O, Yes. I am so sorry too. Mbak, it’s very hard fo me. And I don’t know about this. About my self.”
“O, yes. It’s Ok.”

Menatap mata ibukku hari ini, mengingatkanku pada mata Mbak Susi. Ibukku hari ini mungkin begitu kelelahan. Menguras energi, pikiran, kekecewaan, begitu juga aku. Pandangan yang meneduhkan namun penuh kekuatan. Momen yang ku benci, namun tak bisa menghindari. Juga mengingat padamu kembali akan momen mata bertemu mata dan lalu saling tak bisa mengendalikan hal-hal setelahnya. Saling tak pernah tahu dan soal kejujuran menuju diri.

“Mbak…. senang bertemu denganmu. Lewat apakah saya bisa bercakap lebih lanjut dengan anda?”
“Oh, very thanks. You can meet me via email, blab la bla. Kabari saya jika di Ibu Kota.”

Aku berpisah dengan memalingkan mata. Sebab, mata ini tak lagi bisa teteg. Walau sebenarnya berharap ditawarkan sebuah pelukan. Dan aku sudah sangat dipeluk dalam sebuah bahasa dan keteduhan.


For Gedung G and Maskam | 9 Mei 2015