Minggu, 09 Agustus 2015

Nasi Liwet dan Masa Depan

Hampir setiap hari, aku makan nasi. Juga belakangan mulai sedikit nggaya perlahan tidak harus makan nasi. Mengingat nasi adalah mengingat peluh yang menggantung di dahi orang tua. Betapa susahnya untuk nandur padi hingga berupa beras. Sebab itu, aku merinding jika aku ketergantungan dengan nasi, aku yang belum sanggup untuk bisa menanam dan ngrumati. Pilihannya, aku bisa makan apa saja agar tak lapar untuk kali ini. Kala kecil, aku sering bermain-main ke sawah. Mencari keong, iwak wader, dan paling gembira jika ada burung bangau. Huhah rasanya.

Nasi liwet merupakan nasi khas solo. Aku baru mencoba empat hari lalu. Tepatnya nasi liwet Yu Yati. Nasi yang dimasak dengan santan, dan menggunakan kuah nangka muda. Kamu bisa memilih macam-macam lauknya. Kalau aku memilih telor bacem. Ditambah lagi sudah tahu caranya buat telor bacem, rasane kesengsem dalam hati. Tak jauh beda rasa telur bacem buatanku dan buatan Yu Yati.

Nasi liwet, menjadi satu hal yang semakin membuatku nyer-nyeran di kota Solo. Juga soal masa depan. Pernah mendengar kalau Jogja berhati mantan? Nah, bagiku Jakarta lah yang berhati mantan. Kalau solo berhati masa depan. Aku suka dengan Solo, sejak penempuhan perjalanan dengan sendiri. Lhah, kog bisa berhati masa depan? Lha wong kamu saja masih suka sendiri? Lhoh, justru itu saat sendiri aku bisa menikmati keberduaan atau keberjamakaan.

Aku gembira jika melihat plang Kartosuro. Walau aku mesti nyasar-nyasar hingga ke karanganyar, tapi aku yakin aka nada jalan menuju Kota Solo. Solo itu nyaman. Tentang hal-hal yang tak bisa tergamblangkan. Aku juga heran. Jika ku telisik, aku suka dengan gang-gang di solo, rumah-rumah yang masih jawa bingit dengan dinding kayu dan lantai ‘jubin’, pasar-pasar tradisional yang masih nyaman, masjid agung di keraton, dan keramahan nenek-nenek di pasar. Satu yang ku benci, solo kini mulai seperti metropolitan yang kian membangun hotel di sana-sini, mall-mall, dan pasar modern lainnya.

Begitullah, aku semakin khawatir dengan perasaan yang macam ini. Aku berimaji solo dengan keramahan dan keriuhannya akan menjadi kota masa depan. Aku membayangkan, akan akrab dengan Yu Yati. Menjadi pelanggan setia nasi liwetnya dengan telor bacem. Juga, beberapa hari sekali ke pasar untuk membeli sayur dan minum jamu kunir-asem. Di waktu selo, aku bisa menonton acara budaya, aku juga akan berdiam diri di masjid keraton, ngayuh sepeda di sabtu-minggu, dan merenung di stasiun. Sekadar untuk duduk di kursi pengunjung dan melempar senyum.

Keparat keparat! Nasi liwet ngawe-awe akan kota masa depan. Dan ketika mesti kuabaikan aku akan kesakitan untuk kesekian kali. Dan jika mesti kurangkul, aku belum bisa untuk sesegera ini. Akhirnya aku memilih bahwa solo adalah kota kegembiraan. Aku tak menyebut senang, sebab aku tahu bahwa soal senang siapa saja bisa dari hal-hal yang sekilas dan Nampak wow. Dan beda jika soal bahagia. Bahagia itu keluar dari ruang terdalam walau lirih tanpa suara. Namun, orang akan legowo dan tinemu laku sak madya. Oh… Solo, aku bahagia.

Solo | Agustus 2015