Hampir setiap hari, aku makan nasi. Juga belakangan mulai
sedikit nggaya perlahan tidak harus makan nasi. Mengingat nasi adalah mengingat
peluh yang menggantung di dahi orang tua. Betapa susahnya untuk nandur padi
hingga berupa beras. Sebab itu, aku merinding jika aku ketergantungan dengan
nasi, aku yang belum sanggup untuk bisa menanam dan ngrumati. Pilihannya, aku
bisa makan apa saja agar tak lapar untuk kali ini. Kala kecil, aku sering
bermain-main ke sawah. Mencari keong, iwak wader, dan paling gembira jika ada
burung bangau. Huhah rasanya.
Nasi liwet merupakan nasi khas solo. Aku baru mencoba empat
hari lalu. Tepatnya nasi liwet Yu Yati. Nasi yang dimasak dengan santan, dan
menggunakan kuah nangka muda. Kamu bisa memilih macam-macam lauknya. Kalau aku
memilih telor bacem. Ditambah lagi sudah tahu caranya buat telor bacem, rasane
kesengsem dalam hati. Tak jauh beda rasa telur bacem buatanku dan buatan Yu
Yati.
Nasi liwet, menjadi satu hal yang semakin membuatku
nyer-nyeran di kota Solo. Juga soal masa depan. Pernah mendengar kalau Jogja
berhati mantan? Nah, bagiku Jakarta lah yang berhati mantan. Kalau solo berhati
masa depan. Aku suka dengan Solo, sejak penempuhan perjalanan dengan sendiri.
Lhah, kog bisa berhati masa depan? Lha wong kamu saja masih suka sendiri? Lhoh,
justru itu saat sendiri aku bisa menikmati keberduaan atau keberjamakaan.
Aku gembira jika melihat plang Kartosuro. Walau aku mesti
nyasar-nyasar hingga ke karanganyar, tapi aku yakin aka nada jalan menuju Kota
Solo. Solo itu nyaman. Tentang hal-hal yang tak bisa tergamblangkan. Aku juga
heran. Jika ku telisik, aku suka dengan gang-gang di solo, rumah-rumah yang
masih jawa bingit dengan dinding kayu dan lantai ‘jubin’, pasar-pasar
tradisional yang masih nyaman, masjid agung di keraton, dan keramahan
nenek-nenek di pasar. Satu yang ku benci, solo kini mulai seperti metropolitan
yang kian membangun hotel di sana-sini, mall-mall, dan pasar modern lainnya.
Begitullah, aku semakin khawatir dengan perasaan yang macam
ini. Aku berimaji solo dengan keramahan dan keriuhannya akan menjadi kota masa
depan. Aku membayangkan, akan akrab dengan Yu Yati. Menjadi pelanggan setia
nasi liwetnya dengan telor bacem. Juga, beberapa hari sekali ke pasar untuk
membeli sayur dan minum jamu kunir-asem. Di waktu selo, aku bisa menonton acara
budaya, aku juga akan berdiam diri di masjid keraton, ngayuh sepeda di
sabtu-minggu, dan merenung di stasiun. Sekadar untuk duduk di kursi pengunjung
dan melempar senyum.
Keparat keparat! Nasi liwet ngawe-awe akan kota masa depan.
Dan ketika mesti kuabaikan aku akan kesakitan untuk kesekian kali. Dan jika
mesti kurangkul, aku belum bisa untuk sesegera ini. Akhirnya aku memilih bahwa
solo adalah kota kegembiraan. Aku tak menyebut senang, sebab aku tahu bahwa
soal senang siapa saja bisa dari hal-hal yang sekilas dan Nampak wow. Dan beda
jika soal bahagia. Bahagia itu keluar dari ruang terdalam walau lirih tanpa
suara. Namun, orang akan legowo dan tinemu laku sak madya. Oh… Solo, aku
bahagia.
Solo |
Agustus 2015