Sabtu, 05 September 2015

Luka, Musa, dan Saga


Melangkah seperti bukan. Menatap seperti kosong. Berbicara justru menikam. Tujuh bulan ini berlalu dengan kehampaan. Hambar. Ada yang aneh pada sang diri. Aku  yang masa tingkat dasar. Aku  yang masa menengah. Aku  yang masa tinggi. Dan masa sesudahnya terus membulat ruwet. Membacanya semacam menuntut penyembuhan. Apa aku sedang terluka? Di titik mana luka tersebut? Aku tidak tahu di titik mana aku terluka. Yang pasti aku ingin menempuh jalan baru untuk sembuh.  

Membaca luka bukan semata sepenuhnya memasukkan sang diri. Bahkan, di situ lah kegagalanku untuk menemu sang diri. Tentang masa kanak yang melintas. Tentang tanah yang menjadi saksi ketercerabutan. Tentang ruang yang memabukkan. Tentang menjadi bebal atas ‘rasa’. Tentu semua hal yang mengkonstruksi diri. Dan sebab satu hal, narasi panjang nan berliku.

Luka yang mengukir memang perih. Katanya orang tua dahulu, “mandilah di laut Nak untuk menghilangkan segala penyakit.” Jika penyakit adalah luka. Apa laut sanggup untuk menampung luka-luka ini? Betapa jijiknya manusia yang sering menumpahkan segala lelah, kecewa, kemarahan pada laut. Kamu begitu kasian laut. Betapa mulianya dirimu menjadi pendengar yang baik. Dan sesekali marah. Aku ingin, aku ingin duduk mendengar ceritamu. Seberapa pun lukaku, aku akan kuat jika kau sapu pipiku dengan desir angin laut. Aku hanya ingin bercumbu denganmu. Malam ini, aku membayangkan kau sedang memelukku. Di remangnya sang malam, aku menatap kau begitu lekat, lekat, dan menahan agar kuat. Aku yang duduk di bibir laut, dengan lembut kau kecup lembut bibirku. Sekali saja. Berkali-kali kau menghempasku dengan sapuan ombak yang pecah. Aku masih duduk di sana, tak beranjak. Seluruh badanku kuyup, namun aku tak merasa kedinginan. Sebab, kau sedang memelukku walau sembari menusukkan sebilah pisau.

Bukan. Bukan sebab aku tak berdaya. Justru sangat bertenaga. Namun, sebagaimana ibu adalah laut, yang mana perempuan. Aku tak sanggup memandang dengan lantang. Ingin sebenarnya mengajari untuk melecutkan pecut, sekali lagi bukan soal tak berdaya. Ibu, laut, semakin keras kepala. Ia terus berjalan demi. Demi apapun di luar sang diri. Seperti Musa yang dengan seenaknya menyabetkan tongkat untuk membelah laut. Menginjak-injaknya. Musa memang hidup dengan nama besar. Maka ia memegang kuasa. Walau mungkin dengan niat yang baik, Musa telah sewenang mengiris laut. Musa telah memisahkan keutuhan diri laut. Memisahkan sang aliran kehidupan. Mengelompokkan yang baik dan tidak baik. Yang kanan dan kiri. Lalu yang terakhir yang tertumpas. Menyisakan aliran merah saga. Menganga.

Maka kemudian ada berbagai macam rupa ibu. Ibu yang kiri dan kanan. Ibu yang atas dan bawah. Ibu yang mengapit ketiak dan menyudutkan siku lancip. Ibu perhiasan dan ibu batu. Ibu yang terpisah dari keutuhannya. Kau tahu Bu, kamu tak benar salah. Sebab di luar memang sungguh kejam. Mereka merekonstruksi segalanya tentang ibu. Yang modern bahkan tradisionalis. Ibu adalah laut. Ia harus benar-benar tetap menjadi utuh walau pora-poranda. Ia bukan berjalan untuk menyiku lantas mengedepankan nafsu. Ia berjalan atas langkah spiritualisme. Dunia kejam, Bu. Maka kamu harus tetap tegar, walau sebenarnya remuk. Ibu, laut, tak bisakah mereka memandang dengan suci? Memandang sebagai makhluk yang mesti kembali pada haribaan-Nya?

Dewi Maghfi| 05 September 2015


Tidak ada komentar: