Selasa, 19 Januari 2016

AADC

Di bandara Batam
Triller filem ada apa dengan cinta II sudah dirilis. Banyak orang yang menunggu-nunggu. Katanya sih pada penasaran. Tapi, apalah aku. Sumpah kesan pertama kali nonton AADC biasa saja. Yang keren menurutku hanya adegan ketika Dian Sastro memaki Rangga di depan ruang osis. Saat memaki itu, rasanya aku juga ingin menjambak rambut kriwil Nicholas. Sejak saat itu, mindset soal rambut kriwil berubah. Keren, ndaa! ‘Menjadi peran’ memaki dan mengumpat menurutku adalah kepuasan. Maka, aku selalu berada di pihak Dian Sastro. Tak peduli secakep atau penyayang apa Nichola tak penting. Melihat Dian sastro jauh lebih keren. Seorang periang, teguh pendirian, keras kepala, juga pengasih. Dan untuk AADC II, aku tak minat menonton. Jalan ceritanya pasti cenderung pada porsi ‘akhirnya bertemu kembali’. Bayangkan, dalam jarak bertahun-tahun itu, yang mendapat perhatian hanya pada pertemuannya. Padahal mereka melewati waktu itu dengan tegar, pasrah, dan ikhtiar tiada usai. Kalau aku menjadi Dian, memutuskan untuk tak bertemu selamanya. Ada ‘malam terakhir untuk selamanya’. Agar sama-sama berbalik arah untuk tetap melanjutkan perjalanan dengan nyaman kata orang melayu. Sebab, melihat misi ujung hidup selalu ada hal-hal menarik di luar mengurusi diri sendiri ternyata. 

Kali ini, aku ingin membahas AADC yang lain. Ye, ada apa dengan cincin? Aku sempat terheran-heran ketika dua hari menjelang deployment pengajar muda tetiba santer isu percincinan. Aku aja tak suke pake perhiasan apalagi emas. Entah sejak kapan telingaku ini tak terpasang anting. Yang ku ingat, sejak telingaku memerah dan gatal-gatal gegara pakai anting tindik. Kapok dekok! Isu percincinan itu menyebar dari kaum adam juga hawa. Oh ternyata, biar gak ditanya-tanya lebih lanjut soal teman hidup (kata Tulus) di penempatan karena ada cincin yang terpasang. Bukti penguat. Awalnya, aku juga resah. Sudah memilih-milih cincin ketika sampai di Batam. Namun, hal terbenci adalah ketika saat pilih memilih itu muncul pertanyaan “why?” Akhirnya, aku menepi sejenak untuk menemu jawabannya. Sudah ketemu dan tak perlu beli cincin kataku. Aku antimainstreem soal hal prinsip dan apalagi sekadar imitasi (pura-pura). 

Sejak datang di Natuna sampai hari ini memang dikejutkan dengan pertanyaan sama. Hari pertama saat menelusur pantai di depan hotel bertemu seorang Ibuk, ujungnya “Buk, semoge dape jodo orang sini sehingga ibu ke depan tetap di Natuna.” Saat datang berkunjung ke rumah kepala desa. Ibu desanya menceritakan kisah pertemuannya dengan Pak Desa yang tak pernah disangka. “Buk, siapa tahu. Sudah ada apa belum. Wah, sayang anak masih semester tiga di IPDN. Doaken ye Buk semoge cepa lulus. Eh Buk, kemonakan baru selesai sarjana lho.” Suatu malam memang aku berkeliling untuk jalan ke rumah-rumah sebelah. Bertemulah dengan Bapak Zabir, “Buk, sudah ada apa belum? Pasti sudah ya, Buk?” juga saat diundang kepala sekolah katanya ada pengawas datang. Juga ada sisipan-sisipan, “Buk, sejak pertamo saye jempu ibuk, kawan-kawan tanye laki ato perempuan, dape salam Buk. Mau yang mane Buk?” Selain itu, saye punya keinginan belajar bahasa melayu dengan serius. Saya mencoba untuk cakap dengan bahasa melayu juga saat mengirim pesan pendek. Saat cakap dengan salah satu guru, “Buk, cepa kali dapet basa melayu. Nak cari jodo orang sini pulak?” Hhhmmm. 

Siang tadi, tetiba ada kurcil usia 3 tahun datang. “Buk, ibuk Mamak minta dibantu buat kue”. Karena lagi masak pula, tak kuhiraukan lah dia. “Buk, Ibuk Mas Naga minta ditanyaken. Ibuk sudah punya pacar belum? Nak belum Mas Naga mau Buk.” Lumayan juga sih nih pemuda. Pasti kesan pertama ngobrol kemarin. Oh, ternyata sedari pagi di rumah depan Mamak ini to. Tumben-tumbenan maen sampe sini. Padahal rumahnya jauh dari sini. “Ibuk, nak punya pacar Ferdi. Ibuk berteman saja.” Ku kira akan selesai sampai di situ. Oh, “Buk, Mas Naga cakap katanye kecewa dengan ibuk yang punya teman.” Mamak die nyusul, “Buk, Ferdi bilang ape, tuh Naga di rumah saye Buk. Ferdi jadi makcomblang Buk. Kecil tapi rawit. Gimane Buk?” Ohhhh….. 

Biasanye aku jadi idola bapak-bapak ketika PKL dan KKN. Entah apa yang dilihat bapak-bapak tersebut. Masih baik saja sampai sekarang. Masih suka telpon dan tanyak. Katanya sih karena aku asyik, sopan, keibuan, juga kebapakan. Yalaaaa, itu karena aku saja yang longgar untuk masih menerima panggilan mereka. Soalnya yang lain, entahlah. Begitu juga kali ini, masih hangat-hangatnya, baru, coba aja setelah aku eksotis menjurus pekat, mulai bosan, mulai di sini kadang aku merasa lelah. Beeeeuuh. Tak usah memberi penjelasan soal jodo. Sebab, aku tak tahu pulak. Bantu saya Gusti. “Tapi, bukankeh kite aken disatuken same orong-orong yang dalam satu lingkaran batin? Aok lah, ujungnye ade pada setiap anak. Bukan pada siape beranak. Yuhuuui.”

Dewi Maghfi | 26 Desember 2015

Tidak ada komentar: