Ini bukan cerpen. Bukan cerbung. Bukan cerkak. Bukan
cer-cer lainnya. Dan bukan juga novel.
“lalu apa?” tanyanya.
“Aku pun bertanya. Apakah ketika seorang itu menulis
harus terkategori? Ini masuk apa? Ini masuk apa? Ya persepsikanlah sesuai yang
kamu telaah,” ujar ketusnya. Aku menulis karena aku ingin menulis. Menulislah apa
yang ingin kau tulis, kawan.
Langit begitu cerah sore tadi. Meja triplek beserta
kursi biru mendampingi aku. Sembari bersandar di tembok. Kucing kuning tak
henti-hentinya mendekatiku dengan wajah yang muram. Semuram lubukku. Ah, kau
kucing tahu saja!
Puluhan ruangan berderet di belakang dan depanku. Ada yang
nampak ramai. Ada pula yang tak pernah sekalipun aku melihat pintunya ternganga
walau selebar 5 centi. Ah, dua kamar itu tak selalu ada orang yang beda. Ke mana
gerangan?
Siap, fokus. Satu bulan yang lalu aku melahirkan putra. Aku selalu menginginkan kesebelasan
dari putra yang kulahirkan. Entah cowok atau cewek. Rasanya begitu indah
melihat pertandingan antara chealse dan Mancester united. Tidak faham. Memang iya.
Tapi suka. Sehat. Ya, mereka bermain secara sehat. Tidak seperti permainan
sepak bola dinegeriku. Ngeri. Sungguh ngeri. Daerahku yang selalu berseteru
dengan daerah tetangga. Asu! Tulisan itu aku lihat di banyak dinding. Kasar. Barangkali
memang iya. Tapi aku sudah biasa mengejanya dalam hati. Karena terpampang di
pojok-pojok gang.
Facebook. Masuk. Keluar. Lihat. Tutup.
Sekasar-kasar tulisan itu aku menginginkan kau berucap
langsung tanpa mengumpat di belakang. Atau memang seperti itulah gayamu. Tikus.
Ya seperti tikus. Terkesan berbirit-birit ketika sedikit mendapat rangsangan. Tikus.
Ya, sengaja memang aku biarkan tikus berkelana. Tikus di rumahku memang belum
kebal. Aku ingin melihatnya sampai kebal. Hingga aku bisa mabuk bersamanya. Menenggak
satu botol seprit.
“Apa yang kamu inginkan, sayang? Berbicaralah”.
“Sudi telinga ini mendengar suara paraumu.”
Bumi. Benar jika bumi memang terkadang murka. Menelan segala
pernak-pernik di atasnya. Termasuk kamu sayang. Tapi, aku masih merindukanmu
untuk menenggak teh ini. Teh yang tak pernah kita nikmati bersama. Bibirku menempel
di bekas jilatan bibirmu. Dan sebaliknya. Pernah suatu ketika aku menjilat
bekas bibirmu. Tapi, apa yang terjadi? kau tak sudi untuk sekadar merasakan
kembali manisnya ice cream itu. Sayang. Sayang sekali. Sekali lagi sayang. Sayang
itu seperti anjing.
Sudahlah terima saja. Aku bahkan belum melihat kelegowoanmu.
Macan kau tahu. Hampir aku melihatnya. Kau. Kau belum bisa bersikap mana semestinya.
Semestinya yang seperti apa. Tanpa iktikad. Bubar. Grekk. Gedebok. Seenaknya sendiri.
Berkoar. Meracuni. Ya, semoga tuhanmu dan tuhanku selalu berdamai.
Anak-anakku. Siapa saja bapakmu. Satu pun aku tak hafal.
Tapi, aku punya tanggungjawab besar terhadapmu. Entah jam berapa, tanggal
berapa, kau lahir dari rahimku. Tentu tidak. Aku pikir anakku kau sudah besar. Perbedaan
pasti dapat kau lihat. Kencangkan sabukmu untuk meraih tempat tujuan yang kamu
inginkan. Bisa saja uangmu habis untuk membayar tol, kakimu bengkak bak seperti
penyakit filariasis namun uang masih banyak, kaki segede gajah dan sialnya uang
kau kasih ke copet bajingan itu, kau mengemis sana-sini, atau tetap memiliki
keputusan-keputusan atas perbekalan dan sesekali harus merasakan pula lumut di
sungai-sungai kecil itu.
Entah sayang. Aku butuh kelegowoanmu. Ini bukan masalah
aku punya anak berapa, siapa saja anak yang ku lahirkan, dan ini tahun berapa.
Pembaca itu budiman. Bijak dalam mempersepsikan apa
yang dibaca. Salah. Jelas salah. Jika saling menyalahkan keberadaan. Lanjut baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar