Selasa, 12 Februari 2013

Melebur Kemrungsung

Beberapa rumah berderet di kaki Gunung Ungaran tepatnya Promasan. Dalam hitungan tangan hanya ada sekitar 30-an rumah. Sederhana, sangat sederhana. Papan menjadi dinding rumah mereka. Genting yang lusuh dan sudah tak nampak lagi warna aslinya menjadi atap untuk menahan goncangan angin. Sementara, lantai lemah turut mewarnai rumah mereka.

          Pagi dini hari sekitar jam setengah enam Pak Min sudah siap dengan sepatu boat hijau. Tentunya setelah ia selesai menjalankan sholat. Celana hitam panjang dan baju kotak-kotak berlengan panjang tampak komprong. Topi menyertai kepala Pak Min. Jalan berkilo-kilo meter sudah dijalani Pak Min dan masyarakat desa Promasan berpuluh-puluh tahun silam untuk memetik teh. 

          Canda tawa dan keramahan mereka sontak membuat saya begitu mengaburkan hiruk pikuk kehidupan di kota. Hidup nerimo, tak lagi kemrungsung

“Alhamdulillah, bocah papat semalem sing teko jam 12 ngewenehi seket ewu. Ya, pancen wis rejekine. Iso gawe tuku-tuku lombok,” ujar Bu Min sembari mengasih kabar pada saudara perempuannya.

“Lha saiki podho nang ndi?”
“Wis podho muncak, jam 3 mau,” terang Bu Min. Bu Min tak lancar bahasa Indonesia. Kami, para pendaki biasanya pakai bahasa jawa kalau berbincang dengan ia. “Mae” panggilan akrabnya.

          Hampir setiap hari keluarga Pak Min kedatangan pendaki dari Jawa atau pun Luar Jawa. Pukul 12 malam suara gedor papan semakin menderu. Ya, pastinya para pendaki.

“Pak Min, Pak Min,…..”
Tak bisa nyenyak mungkin tidur keluarga Pak Min, sebab pendaki berdatangan tak kenal malam atau siang hari. Namun, hal tersebut sudah biasa. Dengan ramah Bu Min menyambutnya. Setiap kali kedatangan pendaki Bu Min langsung menawari makan. Seperti halnya rombongan malam itu. Namun, karena hanya ada sambal dan nasi mereka hanya bisa menikmati hidangan tersebut. 

          Untuk masalah minum, Bu Min mempersilahkan untuk membuat sesuka hati. Kopi, teh, susu, energen cemepak di meja. Terkadang juga bagi mereka yang ingin membuat mie instan silahkan membuat sendiri. Menggunakan mie sendiri atau meminta pada Pak Min. 

Siang itu 12.00 setiba dari gunung, kami merasa sangat lapar. Di meja hanya ada mendoan dan nasi kemarin. Tak pusing-pusing untuk mencari lauk ini itu kami langsung melahap makanan sederhana yang ada di meja.

Sederhana
          Hidup bermasyarakat begitu kentara saat memasuki desa tersebut. Saling sapa satu sama lain. Pagi hari ibu-ibu berkumpul di luar rumah  sembari menyuapi bayi-bayi mereka bagi yang punya anak kecil. Berbincang sepetah dua patah keluh kesah. 

          Hampir semua warga Promasan bekerja sebagai pemetik teh. Beberapa rumah yang menyediakan tempat istirahat bagi pendaki dan membuka warung sembako. Entah kenapa, tempat peristirahatan Pak Min yang popular di mata pendaki. Walaupun begitu Pak Min tak pernah mematok harga. Para pendaki biasanya mengira-ngira sendiri untuk perhitungan makan mereka. Namun, untuk penginapan perhari biasanya pendaki memberi dua ribu lima ratus rupiah per orang. 
          Sementara jika Pak Min dan Mae sedang memetik teh, pendaki dipersilahkan menggunakan fasilitas yang sederhana tersebut. Mau masak mie atau goreng telor silahkan membuat sendiri. Tungku terbuat dari lemah dengan bahan bakar kayu dan ranting-ranting kecil menjadi corong utama pemenuhan kalori setiap harinya.
          “Yo, masak mie yo,” ujar salah satu pendaki kepada temannya.
          “Dihidupkan dulu tungkunya,” sahutnya.
          “Wah susah banget.”
          “Sambil disemprong dong pelan-pelan.”
          “Hehe… pinter lho!”
          Sontak seluruh ruangan berterbangan debu-debu hasil pembakaran. Basecamp dengan dapur Mae memang satu ruangan. Tak ada papan pemisah. Suasana menyatu dengan pawon itulah yang membuat rasa kekeluargaan terpupuk. Sebab, ada beberapa pendaki terutama perempuan yang membantu Mae masak. 
Akses Sulit
          Desa Promasan dengan desa sebelumnya terpaut kira-kira 4 kilometer. Jalan bebatuan yang terjal berkelok-kelok harus ditempuh selama satu setengah jam menggunakan kendaraan bermotor. Lebih-lebih jika gumpalan kabut pekat menghadang. Jarak pandang 5 meter yang hanya dapat dijangkau. 
          Namun demikian, anak-anak desa Promasan tetap bersekolah. Jalan berkilo-kilo setiap harinya. Seperti halnya cucu Mae, ia sedang duduk di kelas 1 SMP. Indah namanya. Perempuan dengan kuliat cokelat, tinggi sekitar 130 meter, dan rambut pirang lurus sepunggung. 
          Saya tak bisa membayangkan, perjuangan ibu yang mau melahirkan. Sementara dukun tak sanggup menangani dan harus dirujuk ke rumah sakit. Di kampung itu saya tak menemukan bidan desa atau pun puskesmas.
         

Tidak ada komentar: