Beberapa rumah berderet di
kaki Gunung Ungaran tepatnya Promasan. Dalam hitungan tangan hanya ada sekitar
30-an rumah. Sederhana, sangat sederhana. Papan menjadi dinding rumah mereka.
Genting yang lusuh dan sudah tak nampak lagi warna aslinya menjadi atap untuk
menahan goncangan angin. Sementara, lantai lemah turut mewarnai rumah mereka.
Pagi dini
hari sekitar jam setengah enam Pak Min sudah siap dengan sepatu boat hijau. Tentunya
setelah ia selesai menjalankan sholat. Celana hitam panjang dan baju kotak-kotak
berlengan panjang tampak komprong. Topi menyertai kepala Pak Min. Jalan
berkilo-kilo meter sudah dijalani Pak Min dan masyarakat desa Promasan berpuluh-puluh
tahun silam untuk memetik teh.
Canda tawa
dan keramahan mereka sontak membuat saya begitu mengaburkan hiruk pikuk kehidupan
di kota. Hidup nerimo, tak lagi kemrungsung.
“Alhamdulillah, bocah papat
semalem sing teko jam 12 ngewenehi seket ewu. Ya, pancen wis rejekine. Iso gawe
tuku-tuku lombok,” ujar Bu Min sembari mengasih kabar pada saudara
perempuannya.
“Lha saiki podho nang ndi?”
“Wis podho muncak, jam 3
mau,” terang Bu Min. Bu Min tak lancar bahasa Indonesia. Kami, para pendaki
biasanya pakai bahasa jawa kalau berbincang dengan ia. “Mae” panggilan
akrabnya.
Hampir
setiap hari keluarga Pak Min kedatangan pendaki dari Jawa atau pun Luar Jawa.
Pukul 12 malam suara gedor papan semakin menderu. Ya, pastinya para pendaki.
“Pak Min, Pak Min,…..”
Tak bisa nyenyak mungkin tidur keluarga Pak Min, sebab
pendaki berdatangan tak kenal malam atau siang hari. Namun, hal tersebut sudah
biasa. Dengan ramah Bu Min menyambutnya. Setiap kali kedatangan pendaki Bu Min
langsung menawari makan. Seperti halnya rombongan malam itu. Namun, karena
hanya ada sambal dan nasi mereka hanya bisa menikmati hidangan tersebut.
Untuk
masalah minum, Bu Min mempersilahkan untuk membuat sesuka hati. Kopi, teh,
susu, energen cemepak di meja.
Terkadang juga bagi mereka yang ingin membuat mie instan silahkan membuat
sendiri. Menggunakan mie sendiri atau meminta pada Pak Min.
Siang itu 12.00 setiba dari
gunung, kami merasa sangat lapar. Di meja hanya ada mendoan dan nasi kemarin. Tak
pusing-pusing untuk mencari lauk ini itu kami langsung melahap makanan
sederhana yang ada di meja.
Sederhana
Hidup
bermasyarakat begitu kentara saat memasuki desa tersebut. Saling sapa satu sama
lain. Pagi hari ibu-ibu berkumpul di luar rumah
sembari menyuapi bayi-bayi mereka bagi yang punya anak kecil. Berbincang
sepetah dua patah keluh kesah.
Hampir
semua warga Promasan bekerja sebagai pemetik teh. Beberapa rumah yang
menyediakan tempat istirahat bagi pendaki dan membuka warung sembako. Entah
kenapa, tempat peristirahatan Pak Min yang popular di mata pendaki. Walaupun
begitu Pak Min tak pernah mematok harga. Para pendaki biasanya mengira-ngira sendiri
untuk perhitungan makan mereka. Namun, untuk penginapan perhari biasanya
pendaki memberi dua ribu lima ratus rupiah per orang.
Sementara
jika Pak Min dan Mae sedang memetik teh, pendaki dipersilahkan menggunakan
fasilitas yang sederhana tersebut. Mau masak mie atau goreng telor silahkan
membuat sendiri. Tungku terbuat dari lemah dengan bahan bakar kayu dan
ranting-ranting kecil menjadi corong utama pemenuhan kalori setiap harinya.
“Yo, masak
mie yo,” ujar salah satu pendaki kepada temannya.
“Dihidupkan
dulu tungkunya,” sahutnya.
“Wah susah
banget.”
“Sambil disemprong dong pelan-pelan.”
“Hehe…
pinter lho!”
Sontak
seluruh ruangan berterbangan debu-debu hasil pembakaran. Basecamp dengan dapur Mae memang satu ruangan. Tak ada papan
pemisah. Suasana menyatu dengan pawon itulah yang membuat rasa kekeluargaan
terpupuk. Sebab, ada beberapa pendaki terutama perempuan yang membantu Mae
masak.
Akses
Sulit
Desa
Promasan dengan desa sebelumnya terpaut kira-kira 4 kilometer. Jalan bebatuan
yang terjal berkelok-kelok harus ditempuh selama satu setengah jam menggunakan
kendaraan bermotor. Lebih-lebih jika gumpalan kabut pekat menghadang. Jarak
pandang 5 meter yang hanya dapat dijangkau.
Namun
demikian, anak-anak desa Promasan tetap bersekolah. Jalan berkilo-kilo setiap
harinya. Seperti halnya cucu Mae, ia sedang duduk di kelas 1 SMP. Indah
namanya. Perempuan dengan kuliat cokelat, tinggi sekitar 130 meter, dan rambut
pirang lurus sepunggung.
Saya tak
bisa membayangkan, perjuangan ibu yang mau melahirkan. Sementara dukun tak
sanggup menangani dan harus dirujuk ke rumah sakit. Di kampung itu saya tak
menemukan bidan desa atau pun puskesmas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar