Minggu, 10 Februari 2013

Siap, Memotong Oyot-oyot Korupsi

Lulus merupakan dambaan setiap mahasiswa. Sejuta harapan  berkeliaran setelah selembar kertas menyatakan dirinya lulus. Mengaplikasikan ilmu yang telah diterima di bangku kuliah. Namun, tak selamanya mindset mahasiswa tersebut benar. Toh, pekerjaan tak hanya bisa dilakukan ketika kertas pengesahan tersebut berada di tangan. Malah, banyak mahasiswa yang limbung setelah gelar penyandangan diterima. Namun, mengapa begitu banyak mahasiswa yang mengejar lulus cepat?

Ah, setiap mahasiswa mempunyai pandangan sendiri terkait gelar yang disandangnya. Mengejar lulus cepat atau tidak yang terpenting adalah sebuah proses pencapain sebuah ilmu yang bisa diamalkan. Tidak menutup kemungkinan kelas dalam perkuliahan tak juga memberikan ilmu apapun. Belajar bisa dari mana saja. Organisasi, lingkungan, dan dirinya sendiri.

Tentunya proses untuk menjadi lulus haruslah melewati TA (tugas Akhir) atau Skripsi. Hal yang menjadi momok beberapa mahasiswa. Saya pikir skripsi sama saja seperti tugas-tugas lainnya. Namun, mengapa skripsi terkesan menjadi sebuah beban berat?

Ya, mari telisik lebih dalam. Harusnya mahasiswa dapat dengan mudah membuat skripsi. Namun mengapa banyak kecurangan dalam proses pembuatan skripsi mahasiswa. “Dandakke skripsi” dengan membayar upah oknum jutaan salah satu contohnya. Bahkan tawaran jalan mudah dari sang dosen itu sendiri.

Ada sebuah kecurangan atau bisa dikatakan korupsi dalam proses pembelajaran mahasiswa. Pengoreksian tugas mahasiswa oleh dosen. Saya pikir intelektualitas mahasiswa teruji dalam kesehariaanya. Bukan saat skripsi. Tapi, beberapa dosen luput menyadarinya. Dosen mengorupsi cara penilaian tugas mahasiswa. Tugas tak dinilai secara seksama. Hanya menjadi gundukan kertas yang tak bernyawa. Sehingga imbasnya adalah mental mahasiswa yang semakin ngloro. Pertanggungjawaban kevalidan tugas tak teruji. Wajar saja jika skripsi bak hantu. Begitu kaget ketika pembantaian skripsi berlangsung. Hal yang di luar biasa. Biasanya hanya mengumpulkan tugas selesai, sekarang harus ada pertanggungjawaban yang akurat. Ditambah lagi tak hanya satu dosen yang menguji.  

Dari situ mahasiswa sudah tak dilatih jujur. Menyadari seberapa jauh kemampuan tiap individu kemudian membenarkan secara bersama. Tidak ada sesi pembahasan tugas. Dosen tentunya mengejar materi habis dengan waktu sesingkat-singkatnya dan secepat-cepatnya daripada mendiskusikan tugas mereka kembali. Begitu pula sebaliknya. Mahasiswa merasa sebuah anugerah terindah ketika dosen berhalangan hadir. Saya pikir mulai untuk melakukan gerakan antikorupsi memberantas yang pantas diberantas. Seperti penjabaran di atas. Jadi, gerakan antikorupsi tak sebatas membual celoteh di ruang mimbar. Lebih secara praktis.

Tidak ada komentar: