Lulus
merupakan dambaan setiap mahasiswa. Sejuta harapan berkeliaran setelah selembar kertas menyatakan
dirinya lulus. Mengaplikasikan ilmu yang telah diterima di bangku kuliah.
Namun, tak selamanya mindset
mahasiswa tersebut benar. Toh, pekerjaan tak hanya bisa dilakukan ketika kertas
pengesahan tersebut berada di tangan. Malah, banyak mahasiswa yang limbung
setelah gelar penyandangan diterima. Namun, mengapa begitu banyak mahasiswa
yang mengejar lulus cepat?
Ah,
setiap mahasiswa mempunyai pandangan sendiri terkait gelar yang disandangnya.
Mengejar lulus cepat atau tidak yang terpenting adalah sebuah proses pencapain
sebuah ilmu yang bisa diamalkan. Tidak menutup kemungkinan kelas dalam perkuliahan
tak juga memberikan ilmu apapun. Belajar bisa dari mana saja. Organisasi,
lingkungan, dan dirinya sendiri.
Tentunya
proses untuk menjadi lulus haruslah melewati TA (tugas Akhir) atau Skripsi. Hal
yang menjadi momok beberapa mahasiswa. Saya pikir skripsi sama saja seperti
tugas-tugas lainnya. Namun, mengapa skripsi terkesan menjadi sebuah beban
berat?
Ya,
mari telisik lebih dalam. Harusnya mahasiswa dapat dengan mudah membuat
skripsi. Namun mengapa banyak kecurangan dalam proses pembuatan skripsi
mahasiswa. “Dandakke skripsi” dengan
membayar upah oknum jutaan salah satu contohnya. Bahkan tawaran jalan mudah
dari sang dosen itu sendiri.
Ada
sebuah kecurangan atau bisa dikatakan korupsi dalam proses pembelajaran
mahasiswa. Pengoreksian tugas mahasiswa oleh dosen. Saya pikir intelektualitas
mahasiswa teruji dalam kesehariaanya. Bukan saat skripsi. Tapi, beberapa dosen
luput menyadarinya. Dosen mengorupsi cara penilaian tugas mahasiswa. Tugas tak
dinilai secara seksama. Hanya menjadi gundukan kertas yang tak bernyawa.
Sehingga imbasnya adalah mental mahasiswa yang semakin ngloro. Pertanggungjawaban
kevalidan tugas tak teruji. Wajar saja jika skripsi bak hantu. Begitu kaget
ketika pembantaian skripsi berlangsung. Hal yang di luar biasa. Biasanya hanya
mengumpulkan tugas selesai, sekarang harus ada pertanggungjawaban yang akurat.
Ditambah lagi tak hanya satu dosen yang menguji.
Dari
situ mahasiswa sudah tak dilatih jujur. Menyadari seberapa jauh kemampuan tiap
individu kemudian membenarkan secara bersama. Tidak ada sesi pembahasan tugas.
Dosen tentunya mengejar materi habis dengan waktu sesingkat-singkatnya dan
secepat-cepatnya daripada mendiskusikan tugas mereka kembali. Begitu pula
sebaliknya. Mahasiswa merasa sebuah anugerah terindah ketika dosen berhalangan
hadir. Saya pikir mulai untuk melakukan gerakan antikorupsi memberantas yang
pantas diberantas. Seperti penjabaran di atas. Jadi, gerakan antikorupsi tak
sebatas membual celoteh di ruang mimbar. Lebih secara praktis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar