Minggu, 10 Februari 2013

Memoar Tunggang Langgang Petani

Gemah ripah loh jinawi
Sebuah ungkapan Jawa yang selalu didengung-dengungkan. Kesuburan tanah Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Bahkan “gemah”  menunjukkan suatu kemakmuran. Ibarat membuang bonggol, namun tumbuh pundi-pundi kocek. Berbagai varian tanaman tumbuh di lemah Indonesia. Sayang, nasib pertanian kita tak semulus membalikkan telapak tangan.

Saya lahir dari seorang petani. Berbagai pekerjaan pernah dilakukan orang tua saya. Namun, takdir petani akhirnya yang setia mendampingi kehidupan kami. Di sebuah desa kecil di Kota ukir. Desa Paren tepatnya yang berada di kecamatan Mayong. 

Hamparan hijau padi memanjakan sejauh mata memandang. Setiap harinya para lelaki paruh baya terlihat berjalan dengan memanggul cangkul di pundak kanannya. Sementara tangan kirinya mencengkiwing sabit dan kresek hitam. Tak jarang pula sembari mengepul rokok. Para ibu-ibu nampak menenteng rantang dan ceret. Jalan dengan intonasi serempak dari suara jarik-jarik yang dikenakan. Namun, orang-orang yang yang usinya menginjak kepala lima memilih mengenakan celana kolor dan kaos panjang. Mereka berjalan menuju tegalan yang harus dikerjakannya, milik pribadi atau punya orang lain (menjadi buruh).

Aura kesejukan begitu terasa di pagi dan sore hari. Tua muda tumpah ruah untuk sekadar menikmati pemandangan tersebut. Keramaiannya tak seperti mereka yang sedang berada di hotel berbintang atau pun mall, memang. Namun, begitu dahsyatnya daya pikat hamparan padi tersebut. Tanggul-tanggul di pinggiran sawah mereka manfaatkan untuk sekadar bertutur sapa, mengobrol masalah pawon, hingga himpitan permasalahan yang mereka alami. 

Anak-anak begitu senang ketika diajak orangtuanya ke sawah. Sawah masih menjadi idaman untuk tempat bermain.Tak jarang mereka saling janjian antar teman untuk bermain di sawah sembari membantu orangtuanya bekerja. Ada suatu cercah senyum sumingrah dari bibir mereka. Memancing, memungut besusul (keong), mencari walang dan jangkrik, bermain layangan atau sekadar berlari ke sana - ke mari. Semua itu terekam dalam kaset memoriku sepuluh tahun silam. Ketika masih duduk di bangku SD. Kini, ku mulai memutar kembali. Namun, kondisinya semakin memprihatinkan. 

Kini, banyak yang  berubah. Petani tak sebanyak lalu lalang yang dulu. Mereka tak lagi mengobrol di pinggiran sawah. Rumah menjadi tempat privasi yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Mereka lebih senang untuk berdiam diri di rumah. Anak-anak juga memilih bermain mobile remote control, play station, dan sesekali mereka menjubel di warnet. Dan sebaliknya anak-anak nangis tersedu-sedu ketika diajak ke sawah. 

Lahan pertanian semakin sempit. Antara pangan dan papan saling mendesak. Dan papan pun yang memenangkan perseteruan itu. Akhirnya rumah-rumah di bangun di tengah lahan pertanian. Begitu pula dibukanya toko-toko. Berbagai pekerjaan lain pun mulai dilirik petani. Alih profesi dirasa memberikan keuntungan lebih. 

Tanah pertanian telah murka. Tak bisa lagi ditangani dengan sentuhan-sentuhan tradisional. Sebab, sudah terlampau sering dicekoki dengan dosis yang tinggi dan modern. Polah tingkah penggarapan pertanian dengan bahan-bahan kimia sudah mendarah daging. Harga obat-obat membumbung tinggi. Setiap saat ada saja produk baru dengan menawarkan berbagai keunggulan. Manjur memang untuk jangka pendek, namun mematikan untuk jangka panjang. Betapa tidak, jika kita menelisik ke dalam seberapa besar pengaruh obat kimia, entah positif atau negatif. Positifnya, hama dengan cepat dapat dilenyapkan. Namun, tak lantas hilang begitu saja, karena hama ini terlalu manja. Dosis yang semakin tinggi membuat tanaman semakin kebal. 

Saya pikir kimia tak menyelesaikan masalah, namun membuat masalah-masalah semakin bergejolak. Negatifnya, banyak uang yang harus dikeluarkan. Dampak terhadap ekologi lingkungan pun semakin menjadi-jadi. Keseimbangan alam yang harusnya mendukung tumbuhnya pertanian, namun akhirnya teracuni juga. Ditambah lagi dampak kesehatan yang ditimbulkan. Setiap hari petani terpapar dengan bahan-bahan tersebut tanpa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). Seperti masker, sarung tangan, sepatu, dll. Bahkan mereka dengan enteng mengindahkan APD tersebut. Imbasnya berbagai penyakit serius kini melanda para petani. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.

Stereotip Miskin
     Bidang pertanian kini semakin disepelekan. Stereotip miskin sangat lekat dengan petani. Petani yang saya maksud bukan mereka yang hanya memiliki lahan namun buruh juga termasuk di dalamnya. Betapa stereotip miskin itu semakin mengikis langkah petani untuk berbuat lebih banyak lagi. Dan akhirnya para petani pasrah. Sejalannya saja, tanpa ada target-target yang memukau. Dan harapan mereka terhadap anaknya seperti ini. 

     “Nak, sekolah yang pintar. Biarpun bapakmu ini hanya seorang tani, jangan sampai kau menjadi tani seperti bapakmu ini. Jadilah Presiden, Bupati, Walikota, dll.”

      Tak ada yang salah memang terkait doa itu. Pertama, bisa saja orang tua telah muak dengan kondisi pertanian di negeri ini. Begitu jatuh bangun dan sedikit orang yang menghargainya. Bahkan banyak yang merendahkan. Padahal, petani adalah seorang pejuang sesungguhnya. Betapa besar jasanya untuk menghasilkan satu bulir padi. Di tengah sengatan terik matahari, ancaman obat kimia terhadap kesehatannya, dan tenaga yang dikucurkan. Kedua, doa yang sangat tepat. Tahu tidak jika para petani ini pun ingin diperhatikan oleh pemangku jabatan. Seorang Presiden, Walikota, Bupati. Dia berharap suatu saat jika anaknya yang menempati jabatan tersebut jangan sampai melupakan kucur-kucur keringat para petani. Bahan pokok yang mereka makan setiap hari. 

    Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak saya. Walau dalam kesulitan sekalipun orang tua saya sadar akan pendidikan anaknya. Seringkali anak-anak ia harus berbagi jatah dengan obat kimia pertanian. Karena memang bertani sudah menjadi anggota dalam keluarga kami. Kami pun bangga dengan kondisi senang susah yang sepeti itu. Bangga dengan sepak terjang para petani. Seorang pahlawan yang dikenal bangsa, namun masih saja sedikit yang menghargainya.

Melucuti Keruwetan Benang
         Hemat saya, dengan menarik benang merah yakni ada tiga poin penting yang terlupakan. Pertama, tepat dan tidak tepat gagasan dalam setiap kebijakan pasti ada. Menilik sistem Revolusi Hijau yang meliputi dua hal yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian kala orde baru dirasa kurang tepat. Degradasi tanah dan kerusakan ekologi sekarang merupakan imbas dari cara pertanian yang diperkenalkan kala itu. Benar, jika dulu pernah swasembada pangan. Namun, kebijakan dulu tak memikirkan imbasnya dalam jangka panjang. Yang dikedepankan hanya hasil pertanian berlipat ganda dalam waktu yang singkat. Sehingga pintu modernitas dibuka selebar-lebarnya. Akhirnya cara-cara penggunaan obat kimia dalam pertanian dianggap halal dan semakin menjamur. Idealnya ketika Revolusi Hijau tersebut diterapkan, harus diperkenalkan juga cara-cara pemulihan kembali tanah setiap dua atau tiga tahun kemudian. Jadi, tidak terlalu lama seperti sekarang ini semuanya baru tersadar. 

      Kedua, pemerintah tergoda dengan negara maju di eropa. Amerika serikat salah satunya. Sehingga mencoba untuk menerapkan cara-cara mereka di negara ini. Industri salah satu contoh yang kentara. Obsesi untuk memajukan bidang industri sudah melampaui ambang. Sangat mudah untuk mendirikan industri di Indonesia. Padahal, satu saja pabrik yang berdiri menimbulkan berbagai masalah. Dari masalah pencemaran, polusi, dan pembunuhan secara perlahan. Kita bisa menjadi negara maju tanpa harus menjiplak sepak terjang negara luar secara persis. Melihat kondisi, sumber daya alam dan manusia yang ada. Saya yakin jika dulu obsesi Indonesia menjadi negara maju dengan memanfaatkan kekayaan alam sendiri pasti sekarang kita sudah bisa menikmati. Dengan pertanian dan hasil laut misalnya. 

      Ketiga, kurang efektifnya petugas penyuluh pertanian. Biasanya mereka bekerja kalau ada proyek saja. jadi, untuk kontinuitasnya dan keseriusannya dipertanyakan. Padahal, banyak petani yang bergerak dengan minim ilmu. Biasanya mereka menjalankan karena turun temurun. Padahal, kondisi semakin mengglobal dan permasalahan-permasalahan pertanian juga semakin berkembang. Posisi strategis di sini adalah petugas atau penyuluh pertanian untuk melakukan pendekatan pada masyarakat menengah ke bawah.

Selamatkan Petani
          Petani tak selalu identik dengan miskin dan kaum marginal. Rasa bangga yang harus dipupuk untuk pejuang bangsa. Andaikan semua petani beralih profesi karena tak sanggup lagi bertahan, lantas siapa yang akan mensuplai kebutuhan pokok rakyat? Mau selamanya impor beras tak layak makan?

       Semangat dari anak muda terutama. Bahwa jabatan yang prestisius itu tak selalu menjadi impian satu-satunya. Seperti mahasiswa jurusan pertanian yang pernah saya wawancarai. Mereka merasa bangsa berada di jurusan tersebut. Setidaknya mereka ingin memulai memperbaiki kondisi pertanian Indonesia dari hal-hal kecil dulu. Misalnya, mereka memulai mengolah lahan dan merawat tanaman dengan cara-cara tradisional, dimulai dari lahan sempit yang mereka kelola. Dengan harapan jika sukses, masyarakat akan mencontoh dan dapat merasakan perbedaan keduanya. Intan, salah satu mahasiswa pertanian di Jogjakarta. Dia tak merasa rikuh atau lemah dihadapan teman-teman lelakinya. “Semua wanita dan laki itu sama.” Perempuan harus bisa mengerjakan hal-hal yang dilakukan laki. Menjalankan traktor ataupun alat penggemburan tanah harus bisa. Cita-cita dia begitu mulia, yakni agar pertanian Indonesia menemukan titik terang.

       Selamatkan, selamatkan, selamatkan pertanian kita dengan cara-caramu. Sedikit yang dilakukan akan berdampak besar bagi orang lain. Seperti yang dikatakan Bung Karno “Tjamkan, sekali lagi tjamkan, kalau kita tidak “tjampakkan” soal makanan rakjat ini setjara besar-besaran, setjara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka!”


Tidak ada komentar: