“Gemah ripah loh jinawi”
Sebuah
ungkapan Jawa yang selalu didengung-dengungkan. Kesuburan tanah Indonesia sudah
tidak diragukan lagi. Bahkan “gemah” menunjukkan suatu kemakmuran. Ibarat membuang
bonggol, namun tumbuh pundi-pundi kocek. Berbagai varian tanaman tumbuh di lemah Indonesia. Sayang, nasib pertanian
kita tak semulus membalikkan telapak tangan.
Saya
lahir dari seorang petani. Berbagai pekerjaan pernah dilakukan orang tua saya.
Namun, takdir petani akhirnya yang setia mendampingi kehidupan kami. Di sebuah
desa kecil di Kota ukir. Desa Paren tepatnya yang berada di kecamatan Mayong.
Hamparan
hijau padi memanjakan sejauh mata memandang. Setiap harinya para lelaki paruh
baya terlihat berjalan dengan memanggul cangkul di pundak kanannya. Sementara
tangan kirinya mencengkiwing sabit dan kresek hitam. Tak jarang pula sembari
mengepul rokok. Para ibu-ibu nampak menenteng rantang dan ceret. Jalan dengan
intonasi serempak dari suara jarik-jarik yang dikenakan. Namun, orang-orang
yang yang usinya menginjak kepala lima memilih mengenakan celana kolor dan kaos
panjang. Mereka berjalan menuju tegalan yang harus dikerjakannya, milik pribadi
atau punya orang lain (menjadi buruh).
Aura
kesejukan begitu terasa di pagi dan sore hari. Tua muda tumpah ruah untuk
sekadar menikmati pemandangan tersebut. Keramaiannya tak seperti mereka yang
sedang berada di hotel berbintang atau pun mall,
memang. Namun, begitu dahsyatnya daya pikat hamparan padi tersebut.
Tanggul-tanggul di pinggiran sawah mereka manfaatkan untuk sekadar bertutur
sapa, mengobrol masalah pawon, hingga
himpitan permasalahan yang mereka alami.
Anak-anak
begitu senang ketika diajak orangtuanya ke sawah. Sawah masih menjadi idaman
untuk tempat bermain.Tak jarang mereka saling janjian antar teman untuk bermain
di sawah sembari membantu orangtuanya bekerja. Ada suatu cercah senyum
sumingrah dari bibir mereka. Memancing, memungut besusul (keong), mencari
walang dan jangkrik, bermain layangan atau sekadar berlari ke sana - ke mari. Semua
itu terekam dalam kaset memoriku sepuluh tahun silam. Ketika masih duduk di
bangku SD. Kini, ku mulai memutar kembali. Namun, kondisinya semakin
memprihatinkan.
Kini,
banyak yang berubah. Petani tak sebanyak
lalu lalang yang dulu. Mereka tak lagi mengobrol di pinggiran sawah. Rumah
menjadi tempat privasi yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Mereka
lebih senang untuk berdiam diri di rumah. Anak-anak juga memilih bermain mobile remote control, play station, dan sesekali mereka menjubel
di warnet. Dan sebaliknya anak-anak nangis tersedu-sedu ketika diajak ke sawah.
Lahan
pertanian semakin sempit. Antara pangan dan papan saling mendesak. Dan papan
pun yang memenangkan perseteruan itu. Akhirnya rumah-rumah di bangun di tengah lahan
pertanian. Begitu pula dibukanya toko-toko. Berbagai pekerjaan lain pun mulai
dilirik petani. Alih profesi dirasa memberikan keuntungan lebih.
Tanah
pertanian telah murka. Tak bisa lagi ditangani dengan sentuhan-sentuhan
tradisional. Sebab, sudah terlampau sering dicekoki dengan dosis yang tinggi dan
modern. Polah tingkah penggarapan pertanian dengan bahan-bahan kimia sudah
mendarah daging. Harga obat-obat membumbung tinggi. Setiap saat ada saja produk
baru dengan menawarkan berbagai keunggulan. Manjur memang untuk jangka pendek,
namun mematikan untuk jangka panjang. Betapa tidak, jika kita menelisik ke
dalam seberapa besar pengaruh obat kimia, entah positif atau negatif.
Positifnya, hama dengan cepat dapat dilenyapkan. Namun, tak lantas hilang
begitu saja, karena hama ini terlalu manja. Dosis yang semakin tinggi membuat tanaman
semakin kebal.
Saya
pikir kimia tak menyelesaikan masalah, namun membuat masalah-masalah semakin
bergejolak. Negatifnya, banyak uang yang harus dikeluarkan. Dampak terhadap
ekologi lingkungan pun semakin menjadi-jadi. Keseimbangan alam yang harusnya
mendukung tumbuhnya pertanian, namun akhirnya teracuni juga. Ditambah lagi
dampak kesehatan yang ditimbulkan. Setiap hari petani terpapar dengan
bahan-bahan tersebut tanpa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). Seperti
masker, sarung tangan, sepatu, dll. Bahkan mereka dengan enteng mengindahkan
APD tersebut. Imbasnya berbagai penyakit serius kini melanda para petani. Ibarat
sudah jatuh tertimpa tangga.
Stereotip Miskin
Bidang pertanian kini semakin
disepelekan. Stereotip miskin sangat lekat dengan petani. Petani yang saya
maksud bukan mereka yang hanya memiliki lahan namun buruh juga termasuk di
dalamnya. Betapa stereotip miskin itu semakin mengikis langkah petani untuk
berbuat lebih banyak lagi. Dan akhirnya para petani pasrah. Sejalannya saja,
tanpa ada target-target yang memukau. Dan harapan mereka terhadap anaknya seperti
ini.
“Nak, sekolah yang pintar. Biarpun bapakmu ini
hanya seorang tani, jangan sampai kau menjadi tani seperti bapakmu ini. Jadilah
Presiden, Bupati, Walikota, dll.”
Tak ada yang salah memang terkait
doa itu. Pertama, bisa saja orang tua
telah muak dengan kondisi pertanian di negeri ini. Begitu jatuh bangun dan
sedikit orang yang menghargainya. Bahkan banyak yang merendahkan. Padahal,
petani adalah seorang pejuang sesungguhnya. Betapa besar jasanya untuk
menghasilkan satu bulir padi. Di tengah sengatan terik matahari, ancaman obat
kimia terhadap kesehatannya, dan tenaga yang dikucurkan. Kedua, doa yang sangat tepat. Tahu tidak jika para petani ini pun
ingin diperhatikan oleh pemangku jabatan. Seorang Presiden, Walikota, Bupati.
Dia berharap suatu saat jika anaknya yang menempati jabatan tersebut jangan
sampai melupakan kucur-kucur keringat para petani. Bahan pokok yang mereka
makan setiap hari.
Hal senada juga diungkapkan oleh
Bapak saya. Walau dalam kesulitan sekalipun orang tua saya sadar akan
pendidikan anaknya. Seringkali anak-anak ia harus berbagi jatah dengan obat
kimia pertanian. Karena memang bertani sudah menjadi anggota dalam keluarga
kami. Kami pun bangga dengan kondisi senang susah yang sepeti itu. Bangga
dengan sepak terjang para petani. Seorang pahlawan yang dikenal bangsa, namun
masih saja sedikit yang menghargainya.
Melucuti Keruwetan Benang
Hemat
saya, dengan menarik benang merah yakni ada tiga poin penting yang terlupakan. Pertama, tepat dan tidak tepat gagasan
dalam setiap kebijakan pasti ada. Menilik sistem Revolusi Hijau yang meliputi
dua hal yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian kala orde baru dirasa
kurang tepat. Degradasi tanah dan kerusakan ekologi sekarang merupakan imbas
dari cara pertanian yang diperkenalkan kala itu. Benar, jika dulu pernah
swasembada pangan. Namun, kebijakan dulu tak memikirkan imbasnya dalam jangka
panjang. Yang dikedepankan hanya hasil pertanian berlipat ganda dalam waktu
yang singkat. Sehingga pintu modernitas dibuka selebar-lebarnya. Akhirnya
cara-cara penggunaan obat kimia dalam pertanian dianggap halal dan semakin
menjamur. Idealnya ketika Revolusi Hijau tersebut diterapkan, harus
diperkenalkan juga cara-cara pemulihan kembali tanah setiap dua atau tiga tahun
kemudian. Jadi, tidak terlalu lama seperti sekarang ini semuanya baru tersadar.
Kedua,
pemerintah tergoda dengan negara maju di eropa. Amerika serikat salah satunya.
Sehingga mencoba untuk menerapkan cara-cara mereka di negara ini. Industri
salah satu contoh yang kentara. Obsesi untuk memajukan bidang industri sudah
melampaui ambang. Sangat mudah untuk mendirikan industri di Indonesia. Padahal,
satu saja pabrik yang berdiri menimbulkan berbagai masalah. Dari masalah
pencemaran, polusi, dan pembunuhan secara perlahan. Kita bisa menjadi negara
maju tanpa harus menjiplak sepak terjang negara luar secara persis. Melihat
kondisi, sumber daya alam dan manusia yang ada. Saya yakin jika dulu obsesi
Indonesia menjadi negara maju dengan memanfaatkan kekayaan alam sendiri pasti
sekarang kita sudah bisa menikmati. Dengan pertanian dan hasil laut misalnya.
Ketiga,
kurang efektifnya petugas penyuluh pertanian. Biasanya mereka bekerja kalau ada
proyek saja. jadi, untuk kontinuitasnya dan keseriusannya dipertanyakan.
Padahal, banyak petani yang bergerak dengan minim ilmu. Biasanya mereka
menjalankan karena turun temurun. Padahal, kondisi semakin mengglobal dan
permasalahan-permasalahan pertanian juga semakin berkembang. Posisi strategis
di sini adalah petugas atau penyuluh pertanian untuk melakukan pendekatan pada
masyarakat menengah ke bawah.
Selamatkan Petani
Petani
tak selalu identik dengan miskin dan kaum marginal. Rasa bangga yang harus
dipupuk untuk pejuang bangsa. Andaikan semua petani beralih profesi karena tak
sanggup lagi bertahan, lantas siapa yang akan mensuplai kebutuhan pokok rakyat?
Mau selamanya impor beras tak layak makan?
Semangat dari anak muda terutama.
Bahwa jabatan yang prestisius itu tak selalu menjadi impian satu-satunya.
Seperti mahasiswa jurusan pertanian yang pernah saya wawancarai. Mereka merasa
bangsa berada di jurusan tersebut. Setidaknya mereka ingin memulai memperbaiki
kondisi pertanian Indonesia dari hal-hal kecil dulu. Misalnya, mereka memulai
mengolah lahan dan merawat tanaman dengan cara-cara tradisional, dimulai dari
lahan sempit yang mereka kelola. Dengan harapan jika sukses, masyarakat akan
mencontoh dan dapat merasakan perbedaan keduanya. Intan, salah satu mahasiswa
pertanian di Jogjakarta. Dia tak merasa rikuh atau lemah dihadapan teman-teman
lelakinya. “Semua wanita dan laki itu sama.” Perempuan harus bisa mengerjakan
hal-hal yang dilakukan laki. Menjalankan traktor ataupun alat penggemburan
tanah harus bisa. Cita-cita dia begitu mulia, yakni agar pertanian Indonesia
menemukan titik terang.
Selamatkan, selamatkan, selamatkan pertanian
kita dengan cara-caramu. Sedikit yang dilakukan akan berdampak besar bagi orang
lain. Seperti yang dikatakan Bung Karno “Tjamkan, sekali lagi tjamkan,
kalau kita tidak “tjampakkan” soal makanan rakjat ini setjara besar-besaran,
setjara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar