Percik-percik
sulutan api kian membara. Entah mengapa semakin geram saja dengan negeri ini.
Negeri dimana aku memulai mengeja dengan terbata-bata hingga sekarang semakin
susah untuk memaknainya.
Indonesia,
apa yang kau tahu dengan Indonesia?
Perekonomian
yang semakin sulit untuk sekadar menyusur mulut, lingkungan yang semakin punah,
penebangan pohon dimana-mana, pembukaan lahan secara besar-besaran, pendidikan
yang memihak pada kaum elit, kebebasan Hak Asasi Manusia yang masih saja
tertindas, ditambah tingkah polah para
dewan terhormat?
Ya,
barangkali semua itu benar. Namun, tak ada salahnya jika mengenal Indonesia
dimulai dari diri sendiri. Sudah sejauh manakah sikap dan tindakan diri untuk
menuju cita bersama. Dan setidaknya pada cita diri sendiri. Atau kita ada pada
kelas orang-orang yang selalu menyoal omongan daripada tindakan nyata. Hanya sebagai
penonton belaka. Salah.
Kita lahir di perut Indonesia dan punya hak atas nasib Indonesia.
Terkadang
kita sudah ngalor ngidul adu otot dan
otak terkait permasalahan besar negara ini. Menggebu-gebu dalam setiap ucapan.
Namun, nol dalam tindakan.
Berbicara
Indonesia tentulah sebuah negara yang gemah
ripah loh jinawe, katanya. Namun, barangkali sekarang menjadi negeri yang sedang
limbung arah. Apalagi permasalahan perut. Paradoks dari kaum borjuis dan
proletar sangat kentara.
Di
setiap sudut permasalahan negeri ini, rasa-rasanya semakin mengakar kuat. Untuk
mulai ngrancaki (baca: membabat)
ranting-ranting kecil saja sulit. Apalagi hingga mencabut keseluruhan akarnya.
Persepsi, idealisme, intelektualitas, kekayaan, melebur menjadi satu. Persepsi
membentuk pemikiran yang menghalalkan segala cara. Sementara idealisme dan intelektualitas runtuh ketika
dihadapkan pada pilihan kekayaan. Tak semuanya memang.
Selama
18 hari mengikuti pelatihan menulis dan leadership
Menjadi Indonesia dari Tempo Institute, setidaknya ada perenungan-perenungan dalam
diri yang bergejolak. Menjadi Indonesia. Dua buah kata yang mempunyai berjuta
makna. Aku memulainya dari kata dasar ‘jadi’. Setidaknya ada tiga pemaknaan. Pertama, sudah selesai atau siap.
Selesai dengan pergulatan diri sendiri dan siap untuk melangkah ke depan,
mencoba mengajak orang di sekitar untuk turut serta melakukan sesuatu hal. Tentunya
hal-hal yang dapat memberikan perubahan. Jadi, tahap mengenali diri sendiri
sudah dilewati.
Kedua,
dikerjakan. Setelah mengetahui betul diri sendiri kemudian merealisasikan gagasan
dalam bentuk tindakan. Mencoba dan mencoba. Dimulai dari hal kecil yang ada di
sekeliling. Ketiga, betul-betul
terjadi (nyata). Setelah mencoba melakukan perubahan dari hal kecil kemudian
melangkah bersama-sama masyarakat. Betul-betul terjadi (nyata) gagasan akan terealisasi, apabila usaha yang
dilakukan setara. Jadi, nasib Indonesia bukan hanya di tangan segelintir orang,
namun secara individual pun bisa untuk melakukan perubahan. Minimal merubah
diri sendiri.
Menjadi
Indonesia secara hakiki adalah bagaimana diri sendiri mau jegur di dalam situasi dan kondisi yang terus berkembang. Mau
melepas dan menggerakkan tangan yang bersedekap. Memang butuh perenungan jiwa
dan rasa untuk yakin Menjadi Indonesia.
Meminjam
quote-nya Goenawan Mohamad bahwa
Menjadi Indonesia adalah manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap
pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tak kan sempurna. Dan ikhtiar itu tidak
pernah selesai. Menjadi Indonesia merupakan paduan antara takdir dan pilihan
bebas. Sulit memang, namun tiada yang tak mungkin.
Lantas,
bagaimana kau memaknai ‘Indonesia’?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar