Minggu, 10 Februari 2013

Merenungkan Menjadi Indonesia


Percik-percik sulutan api kian membara. Entah mengapa semakin geram saja dengan negeri ini. Negeri dimana aku memulai mengeja dengan terbata-bata hingga sekarang semakin susah untuk memaknainya.  

Indonesia, apa yang kau tahu dengan Indonesia?
Perekonomian yang semakin sulit untuk sekadar menyusur mulut, lingkungan yang semakin punah, penebangan pohon dimana-mana, pembukaan lahan secara besar-besaran, pendidikan yang memihak pada kaum elit, kebebasan Hak Asasi Manusia yang masih saja tertindas,  ditambah tingkah polah para dewan terhormat?

Ya, barangkali semua itu benar. Namun, tak ada salahnya jika mengenal Indonesia dimulai dari diri sendiri. Sudah sejauh manakah sikap dan tindakan diri untuk menuju cita bersama. Dan setidaknya pada cita diri sendiri. Atau kita ada pada kelas orang-orang yang selalu menyoal omongan daripada tindakan nyata. Hanya sebagai penonton belaka. Salah. Kita lahir di perut Indonesia dan punya hak atas nasib Indonesia.   

Terkadang kita sudah ngalor ngidul adu otot dan otak terkait permasalahan besar negara ini. Menggebu-gebu dalam setiap ucapan. Namun, nol dalam tindakan. 

Berbicara Indonesia tentulah sebuah negara yang gemah ripah loh jinawe, katanya. Namun, barangkali sekarang menjadi negeri yang sedang limbung arah. Apalagi permasalahan perut. Paradoks dari kaum borjuis dan proletar sangat kentara. 

Di setiap sudut permasalahan negeri ini, rasa-rasanya semakin mengakar kuat. Untuk mulai ngrancaki (baca: membabat) ranting-ranting kecil saja sulit. Apalagi hingga mencabut keseluruhan akarnya. Persepsi, idealisme, intelektualitas, kekayaan, melebur menjadi satu. Persepsi membentuk pemikiran yang menghalalkan segala cara. Sementara  idealisme dan intelektualitas runtuh ketika dihadapkan pada pilihan kekayaan. Tak semuanya memang

Selama 18 hari mengikuti pelatihan menulis dan leadership Menjadi Indonesia dari Tempo Institute, setidaknya ada perenungan-perenungan dalam diri yang bergejolak. Menjadi Indonesia. Dua buah kata yang mempunyai berjuta makna. Aku memulainya dari kata dasar ‘jadi’. Setidaknya ada tiga pemaknaan. Pertama, sudah selesai atau siap. Selesai dengan pergulatan diri sendiri dan siap untuk melangkah ke depan, mencoba mengajak orang di sekitar untuk turut serta melakukan sesuatu hal. Tentunya hal-hal yang dapat memberikan perubahan. Jadi, tahap mengenali diri sendiri sudah dilewati. 

Kedua, dikerjakan. Setelah mengetahui betul diri sendiri kemudian merealisasikan gagasan dalam bentuk tindakan. Mencoba dan mencoba. Dimulai dari hal kecil yang ada di sekeliling. Ketiga, betul-betul terjadi (nyata). Setelah mencoba melakukan perubahan dari hal kecil kemudian melangkah bersama-sama masyarakat. Betul-betul terjadi (nyata) gagasan  akan terealisasi, apabila usaha yang dilakukan setara. Jadi, nasib Indonesia bukan hanya di tangan segelintir orang, namun secara individual pun bisa untuk melakukan perubahan. Minimal merubah diri sendiri.  

Menjadi Indonesia secara hakiki adalah bagaimana diri sendiri mau jegur di dalam situasi dan kondisi yang terus berkembang. Mau melepas dan menggerakkan tangan yang bersedekap. Memang butuh perenungan jiwa dan rasa untuk yakin Menjadi Indonesia. 

Meminjam quote-nya Goenawan Mohamad bahwa Menjadi Indonesia adalah manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tak kan sempurna. Dan ikhtiar itu tidak pernah selesai. Menjadi Indonesia merupakan paduan antara takdir dan pilihan bebas. Sulit memang, namun tiada yang tak mungkin.
Lantas, bagaimana kau memaknai ‘Indonesia’?


Tidak ada komentar: