Bocah-bocah nampak berlarian
kesana kemari. Di bibir sungai Kalimalang setidaknya mereka banyak menghabiskan
waktu. Baju-bajunya yang lusuh mereka copot kemudian ditaruh di tanggul. Hanya
berbalut celana kolor saja mereka bersenang-senang.
“Byur, byur, byur,” dengan
bergantian mereka mencemplungkan dirinya ke dalam pekatnya air sungai. Dengan
sesekali tak memunculkan diri di permukaan. Terkesan mahir memang, mereka dalam
berenang.
Aku sempat shock
ketika melihat mereka mulai berjalan ke arahku. Berbagai pernak-pernik logam
melekat di lidah, hidung, dan telinganya. Tidak semua memang, hanya dua
diantara mereka.
"Mb, ayo foto aku?"
ujarnya.
“Nanti di tag di Facebook ya,”
ucap salah satu diantaranya sambil mengepulkan asap rokok. “aku juga punya.”
“aku.”
“aku.” Saling berebut dengan
memamerkan nama FB-nya.
Kemudian aku mengajukan pertanyaan kepada mereka. “Adek
sekolah kelas berapa?”
“Tidak sekolah, emak tidak punya
duit.”
“Lulus SD teru tidak
melanjutkan.”
Salah satu dari mereka kemudian nyletuk, “buat apa sekolah!”
Aku terdiam sejenak dan tertegun.
--- Sepotong penggalan
kisah di atas aku dapatkan ketika mengunjungi sebuah taman bacaan dan diskusi
di kalimalang, Bekasi. Saung Sastra Kalimalang tepat namanya. Sehari-hari
bocah-bocah tersebut mampir untuk sekadar membaca dan berkumpul. Aku sangat
kagum dengan Saung tersebut. Berani eksis untuk kebersamaan, kepedulian,
kemajuan di tengah gemerlapnya apatisme dan individualisme. Sebenarnya program
pendidikan wajib belajar 12 tahun itu diperuntukkan untuk siapa? Aku pun juga
kurang tahu persis alasan mereka lebih suka mengadu nasib dengan mengumpulkan
receh demi receh. Toh, pendidikan pun tak menjamin segalanya. Setidaknya mereka
belajar secara praktek langsung menghadapi kerasnya kehidupan, walau tanpa
bangku pendidikan. Nah, apakah kita yang masih bisa mengenyam pendidikan sudah
memanfaatkan semaksimal mungkin? Atau jangan-jangan kita masih berjibaku dengan
teori-teori klasik. Perdebatan-perdebatan muluk-muluk. Hal tersebut yang
membuatku terbesit tentang sebuah kesukacitaan, kepedulian, pendidikan, dan
kehidupan. Apabila semua itu saling berpegangan,
tak memandang individu atau komunitas akan ditemukan sebuah senyum yang merekah
dari asa mereka. Salah satu refleksi yang membuka mataku untuk ‘Menjadi
Indonesia’. Aku belajar banyak dari mereka dan sastra kalimalang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar