Minggu, 10 Februari 2013

Memungut Peristiwa Kecil

Bocah-bocah nampak berlarian kesana kemari. Di bibir sungai Kalimalang setidaknya mereka banyak menghabiskan waktu. Baju-bajunya yang lusuh mereka copot kemudian ditaruh di tanggul. Hanya berbalut celana kolor saja mereka bersenang-senang.

“Byur, byur, byur,” dengan bergantian mereka mencemplungkan dirinya ke dalam pekatnya air sungai. Dengan sesekali tak memunculkan diri di permukaan. Terkesan mahir memang, mereka dalam berenang.

 Aku sempat shock ketika melihat mereka mulai berjalan ke arahku. Berbagai pernak-pernik logam melekat di lidah, hidung, dan telinganya. Tidak semua memang, hanya dua diantara mereka.

"Mb, ayo foto aku?" ujarnya. 

“Nanti di tag di Facebook ya,” ucap salah satu diantaranya sambil mengepulkan asap rokok. “aku juga punya.”

“aku.”

“aku.” Saling berebut dengan memamerkan nama FB-nya.

Kemudian aku mengajukan pertanyaan kepada mereka. “Adek sekolah kelas berapa?”

“Tidak sekolah, emak tidak punya duit.”

“Lulus SD teru tidak melanjutkan.”

Salah satu dari mereka kemudian nyletuk, “buat apa sekolah!”

Aku terdiam sejenak dan tertegun.

--- Sepotong penggalan kisah di atas aku dapatkan ketika mengunjungi sebuah taman bacaan dan diskusi di kalimalang, Bekasi. Saung Sastra Kalimalang tepat namanya. Sehari-hari bocah-bocah tersebut mampir untuk sekadar membaca dan berkumpul. Aku sangat kagum dengan Saung tersebut. Berani eksis untuk kebersamaan, kepedulian, kemajuan di tengah gemerlapnya apatisme dan individualisme. Sebenarnya program pendidikan wajib belajar 12 tahun itu diperuntukkan untuk siapa? Aku pun juga kurang tahu persis alasan mereka lebih suka mengadu nasib dengan mengumpulkan receh demi receh. Toh, pendidikan pun tak menjamin segalanya. Setidaknya mereka belajar secara praktek langsung menghadapi kerasnya kehidupan, walau tanpa bangku pendidikan. Nah, apakah kita yang masih bisa mengenyam pendidikan sudah memanfaatkan semaksimal mungkin? Atau jangan-jangan kita masih berjibaku dengan teori-teori klasik. Perdebatan-perdebatan muluk-muluk. Hal tersebut yang membuatku terbesit tentang sebuah kesukacitaan, kepedulian, pendidikan, dan kehidupan.  Apabila semua itu saling berpegangan, tak memandang individu atau komunitas akan ditemukan sebuah senyum yang merekah dari asa mereka. Salah satu refleksi yang membuka mataku untuk ‘Menjadi Indonesia’. Aku belajar banyak dari mereka dan sastra kalimalang.


Tidak ada komentar: