Aku atau
tiap manusia semua pasti pernah merasa sedih. Kesedihan. Ia hadir sebab satu
hal yang tak sesuai harapan. Harapan yang pupus begitu saja. Ya, kesedihan
adalah kondisi terpuruk tiap manusia untuk merenungi sebuah nasib. Tentu, nasib
yang dielu-elukan kebenarannya sebab tak sesuai ekspektasi. Sebab ia mengira
kebenaran yang ia yakini benar adanya, dan melenakan jika Gusti lah pemilik
kebenaran yang hakiki.
Ah, ini
sebuah perjalanan hidup Yu. Aku tentu ingin sepertimu yang bisa menyemelehkan
segala sesuatunya dalam pundak diri. Tentu, kelak aku menginginkan pundak yang
beda jenis dengan kita Yu. Aku cukup melihat satu keyakinan yang kau ajarkan
padaku. Ya tentang sebuah kata ‘semeleh’. Sebelum ku menemu kata baru yang bisa
membuat diri ‘gregel dan nyer’ Yu, semeleh akan tetap menjadi pertautan kata
yang tiada ujung. Tentu, semua itu atas kebijaksanaan Gusti bukan, Yu. Maha
yang semaha-mahanya.
Yu, ada
fase-fase yang perlu diakrabi setiap diri bukan? Untuk tetap menemu-Nya dan
menemu diri. Tentu apa yang ku baca atas teks dan sebuah langkah semua akan
menuju-Mu. Ya, ku kira setiap itu perlu untuk menarik batas. Batas yang
kebenarannya disaring atas kebenaran yang berlapis dan bersiklus begitu
seterusnya. Ingin bukan Yu pada kondisi tertentu, diri ingin melompati kesedihan.
Sedih yang tak berujung. Ah Yu, dunia begitu indah ternyata. Sedih senang bukan
kah satu hal romantis yang jarang ditangkap mata dengan senyuman. Aku
membayangkan kesedihan dan kesenangan adalah kawan bercerita yang renyah. Pada
salah satu posisi ada yang tak ingin atau susah bercerita sebab begitu sudah
kondisi dan genetik lalu di posisi bersebrangan ada ia yang bisa memantik
cerita dan cukup mampu untuk memberi keyakinan. Atau pada kondisi tertentu ia
akan sama-sama renyah untuk bercerita dan ngobrol apa pun. Ia bisa menjadi
musuhmu, kawanmu, belahan jiwamu, atau anak-anak yang ingin dipeluk ibunya.
Ah Yu, pada
akhirnya, ia adalah seorang yang bisa menghapus air matamu dalam gemetarnya
dunia. Lewat sebuah ujung jari atau kecupan dahi. Atau aku membayangkan pada
kondisi diam yang di antaranya saling menguatkan lewat hati. Tanpa satu patah
huruf pun, layaknya tiap manusia yang sedang jatuh cinta lalu menjadi pujangga
adalah otomatis. Ah, Yu, melompati kesedihan adalah Kau, melantun doa untuk
kebijaksaan Gusti.