Apa
yang khas dari Semarang? Lawang sewu, kota lama, tugu muda, lumpia, pagoda,
simpang lima atau rob?
Delapan hingga sepuluh perempuan
keluar dari angkot. Mereka berjalan sembari bercerita dan saling gurau. “Eh Yu, rego lombok mundhak meneh jal. Mumet
aku, bojoku nek mangan ora pedes tah emoh,” tutur satu di antaranya. “Iyo kok,
gilani tenan regane”. Begitu sebuah obrolan singkat ibu-ibu memasuki
gerbang. Di sudut pos, nampak dua perempuan dan dua laki-laki yang berpakaian
layaknya satpam berdiri dengan melempar senyum pada siapa saja yang datang. Tak
jarang mereka saling menggoda. Ya, pagi menjadi pembuka untuk ngalap berkah.
Pukul 08.00 halaman nampak sepi.
Semua sudah masuk ruangan. Pagi itu, saya sedang berada di perusahaan jamu
nyonya meneer tepatnya di jalan raya Kaligawe Semarang. Dari luar terlihat
ibu-ibu sedang mengenakan baju ganti kerja yang berwarna cokelat bak seorang
pelayan restoran. Mereka lah yang siap meramu jamu.
Meneer lahir pada 1895 di kota kecil
Sidoarjo Jawa Timur. Sewaktu kehamilannya, ibunya tidak suka makan nasi. Justru
ibunya ngidam menir, sisa butir halus penumbukan padi. Itu lah asal usul nama
menir. Sebab pengaruh ejaan belanda perkataan menir menjadi meneer.
Usia 17 tahun, Meneer menikah dengan
seorang pria asal Semarang. Di kota itu lah Meneer hidup dengan suaminya. Suatu
ketika suaminya sakit keras, berbagai obat dicoba tapi tidak memberi perubahan
kesembuhan. Meneer akhirnya meramu jamu jawa yang diajarkan oleh orang tunya.
Perlahan secara berangsur-angsur, suaminya mulai sehat kembali. Sejak itu
meneer mulai menolong keluarga, tetangga, dan kawan. Baru pada permulaan abad
ke 20 tepatnya pada 1919 lahirlah perusahaan jamu cap potret nyonya meneer.
Informasi tersebut didapatkan dari humas museum jamu nyonya meneer yang
terletak satu tempat dengan perusahaannya.
Kini, perusahaan meneer dipegang
oleh keturunan ketiga yakni Charles Saerang anak dari Hans Ramana. Gejolak
dalam mengembangkan perusahaan tersebut juga tak bisa lepas. Perusahaan meneer
awalnya dijalankan menggunakan sistem keluarga. Namun, di generasi ketiga ini
sudah dijalankan mandiri setelah melalui negosiasi. Gejolak internal tersebut
yang menjadi salah satu penyebab pemogokan buruh, penuntutan pembayaran THR,
demonstrasi pada 2000-2001 di PT Nyonya Meneer.
Selepas konflik tersebut, Charles
membuktikan bahwa PT Nyonya Meneer harus tetap eksis. Terbukti PT Nyonya Meneer
telah mengekspor ke-3 benua yakni Asia, Eropa, Amerika dan ke beberapa Negara
seperti Malaysia, Jepang, Korea Selatan, Singapuran, Taiwan dan Cina.
Belakangan juga menggandeng hotel untuk bekerjasama diantaranya minuman kemasan
dan produk perawatan kulit.
Pasang surut sebuah perusahaan akan
selalu ada. Humas museum Lulis Martiningsih mengatakan dua tahun belakangan
kondisi perusahaan sedang tidak stabil. Kini, jumlah seluruh karyawan tak lebih
dari 500 orang. Itu pun jika masuk semua setiap hari. Karyawan terkadang ada
yang ‘dirumahkan’ (tidak dipekerjakan) sementara jika tidak ada banyak pesanan
atau produksi yang jumlahnya besar. “Merumahkan sementara karyawan menjadi
solusi dalam kondisi seperti ini. Daripada dipecat begitu saja, mereka punya
tanggungan keluarga. Walau kebanyakan yang bekerja perempuan, tetap saja mereka
penyokong perekonomian keluarga. Jadi, memang harus saling memahami,” cerita
Lulis.
Agaknya
karena penjualan produk yang dijual tidak di sembarang tempat membuat semakin
sulit proses menjualnya. “Sistem pemasaran di PT Nyonya Meneer tidak
sembarangan begitu saja. Perusahaan hanya menyetok di agen-agen resmi yang
tersebar. Hal tersebut semata demi menjaga keasliaan jamu dan kualitas,” tutur
Lulis. Persaingan ketat yang dihadapi dengan perusahan serupa yang lebih modern
pun terjadi. Perusahaan layaknya Sido Muncul dan Air Mancur semakin gigih untuk
menembus pasar internasional. Namun, Lulis memberi penekanan jika produk di PT
Nyonya Meneer tidak menggunakan campuran bahan kimia sehingga tidak memberi
efek ketagihan dan reaksi yang cespleng.
“Minum produk Nyonya Meneer tidak bisa sekali saja, harus berangsur-angsur.
Saya sejak 25 tahun lalu rutin minum jamu nyonya meneer. Saat ini saya masih
terlihat seger dan cantik to? Padahal usia saya sudah 48 tahun lho. He he...”
begitu canda Lulis dengan potongan rambut pendek dan badan mungil a la Yuni Sara.
Selektif
Selektif saat mengonsumsi jamu juga
penting. Sebab, ada beberapa jamu yang diproduksi menambahkan campuran bahan
kimia. Beberapa kasus penggrebekan pabrik produksi jamu di Banyumas dan Cilacap
salah satu contohnya.
Jamu yang dicampur bahan kimia obat atau populer dengan sebutan
jamu kimia sudah muncul di Banyumas dan Cilacap sekitar 25 tahun lalu.
Berdasarkan aturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), jamu harus
berbahan tumbuh-tumbuhan alami, tak boleh dicampur zat sintetis atau kimia.
Namun secara kreatif beberapa pengusaha atau perajin jamu mencampur dengan
bahan kimia obat, sehingga khasiatnya langsung terasa. Misalnya ketika
menderita sakit demam meminum jamu kimia yang mengandung parasetamol, atau saat
kecapekan mengonsumsi jamu kimia yang dicampur steroid, rasa letih langsung
lenyap.
Berbeda dari jamu yang asli menggunakan ramuan alam, artinya
berbahan baku alami tanpa campuran zat sintetis atau kimia, dampaknya baru
terasa setelah mengonsumsi beberapa kali atau tidak seketika. Namun, banyak di
antara konsumen yang kurang menyadari jamu kimia sangat berbahaya. Jangka
panjang berpotensi menyebabkan berbagai penyakit yang menyerang organ dalam,
misalnya ginjal, hati, dan jantung. Barangkali para pengusaha atau perajin
mengetahui dampak negatifnya, tetapi pertimbangan ekonomi, yakni keuntungan
besar, mengalahkan akal sehat serta sisi-sisi manusiawinya.
Ironi Tren Obat (Herbal)
Obat merupakan bahan untuk
mengurangi, menghilangkan, atau menyembuhkan seseorang dari penyakit. Namun, obat
seringkali ditafsirkan diburu ketika sudah terpapar suatu penyakit. Slogan
mencegah lebih baik daripada mengobati semakin dilupakan dan justru diplesetkan
mengobati lebih baik daripada mati.
Periodisasi perkembangan pengobatan
tradisional di Indonesia menurut Prof Dr. H. Azwar Agoes dalam buku antropologi
kesehatan Indonesia dapat dilihat di 4 zaman. Pertama, zaman pra jepang. Publikasi tertua tentang tanaman obat
ditulis J. Bontius tahun 1685 dengan judul De Indiae Utriusquere Naturali et
Medica. Relief candi Borobudur, Prambanan, dan lainnya melukiskan pula para
penderita dengan tabib yang memberikan obat asal tanaman. Di berbagai daerah
ditemukan kitab yang berisi tata cara pengobatan. Bali misalnya, ditemukan
kitab usadha tuwa, usadha putih, usadha tuju, dan usadha seri. Dalam cerita
rakyat seperti Sudamala, dikisahkan Sudamala mencoba menyembuhkan mata pendeta
tambapetra yang buta.
Kedua,
zaman jepang. Pada 5 Juni 1944 didirikan panitia bernama Yakusho Katsyo I-Inkai
atau panitia jamu asli Indonesia dipimpin oleh Prof. Dr. Sato, Kepala jawatan
kesehatan pemerintah. Ketiga, zaman
kemerdekaan. Bung Karno memberikan cukup besar perhatian dalam pengembangan
obat tradisional. Pada 1950 pemerintah melalui kementerian kesehatan membentuk
komisi farmakoterapi. Keempat, zaman
kebangkitan. Pada 1960 Prof A.J Darman dikukuhkan sebagai guru besar
farmakologi Indonesia pertama. Dalam pidatonya disinggung banyak masalah
pengobatan tradisional. Kemudian pada 1963 kementerian kesehatan membentuk
Badan Perencana Penggunaan Obat Asli.
Kekinian, obat herbal menjadi tren.
Obat dengan bahan alam di Indonesia sendiri terdiri atas jamu, obat herbal
terstandar, dan fitofarmaka. Obat herbal merupakan hasil ekstrak atau penyarian
bahan alam yang berupa tanaman obat, binatang, manupun mineral. Di Indonesia
tidak banyak ditemukan yang benar-benar buatan negeri ini. Malah, berbagai
produk dari Cina, Korea, dan Jepang begitu subur di kalangan kelas menengah ke
atas. Sebab, harganya yang selangit. Pernah seorang kerabat saya membeli obat
yang katanya herbal buatan Cina untuk menyembuhkan luka setelah operasi, 3 kali
minum harganya 750 ribu. Wouww! Saya menduga bahwa tren obat herbal ini hasil
penggiringan pemikiran beberapa kelompok guna bisnis. Toh kenyataan dalam rilis
laman Kementerian Perindustrian bahan-bahan tersebut masih didominasi impor
dari Malaysia dan Cina. Sementara omzet yang menggiurkan hingga 11 triliun pada
2011.
Jika pun Indonesia benar bisa
memanfaatkan kesempatan ini, mestinya dipikirkan agar tidak dimonopoli asing
yang menanam saham atau malah mendirikan perusahaan di negeri ini. Kekhawatiran
saya juga bahwa penduduk kita tergiurkan pada angka yang besar tanpa menyiapkan
ahli dari negeri sendiri yang diharapkan bisa mandiri. Betapa pun, masih
berdirinya PT Nyonya Meneer yang usinya mendekati 100 tahun tak lebih mempunyai
tanggung jawab moril bahwa Indonesia mempunyai obat asli yang tak kalah dengan
sinse a la China dan negara-negara lain.
Obat bukan sekadar tren potongan
rambut atau cetakan alis yang akan berganti di setiap musimnya. Obat mempunyai
efek yang lama terhadap tubuh. Kita kerap kali terjajah oleh
pemikiran-pemikiran mereka yang cerdik. Orang yang sedang sakit memiliki
kecenderungan menuruti omongan siapa saja atau sedang mengalami kondisi
psikologis yang tidak stabil. Saran ke rumah sakit A, dokter spesialis jitu B,
orang pinter C, anak kecil yang dikira mempunyai keistimewaan D, dan lainnya. Semua
dituruti demi sembuh katanya. Obat tak sekadar untuk menunda kematian. Mati dan
hidup sudah ada yang menggariskan. Obat menjadi ikhtiar manusia yang tanpa
batas untuk berupaya sehat kembali, khususnya mempergunakan akal sehatnya untuk
berobat. Bukan berarti segala upaya bisa dilakukan untuk memperoleh obat.
Termasuk menjerumuskan diri dalam penggiringan pemikiran oleh mereka-mereka yang
hanya hitung-hitungan angka di meja bundar.
Melakukan upaya pencegahan dan
perawatan diri sebelum terpapar penyakit menjadi alternatif yang lebih baik
untuk mengantisipasi kepanikan vonis penyakit. Atau melakukan check up secara rutin.
Tulisan selesai, teringat Yu Sri
penjual jamu gendong yang saban hari lewat rumah. “Jamu jamu….jamune Mas, Mbak
Yu”. Suaranya cemlengking, namun
iramanya selalu pas dan enak didengarkan.
Dewi
Maghfi