Minggu, 26 April 2015

Jamu, Jamu….. Jamune Mas, Mbak Yu


Apa yang khas dari Semarang? Lawang sewu, kota lama, tugu muda, lumpia, pagoda, simpang lima atau rob?

Delapan hingga sepuluh perempuan keluar dari angkot. Mereka berjalan sembari bercerita dan saling gurau. “Eh Yu, rego lombok mundhak meneh jal. Mumet aku, bojoku nek mangan ora pedes tah emoh,” tutur satu di antaranya. “Iyo kok, gilani tenan regane”. Begitu sebuah obrolan singkat ibu-ibu memasuki gerbang. Di sudut pos, nampak dua perempuan dan dua laki-laki yang berpakaian layaknya satpam berdiri dengan melempar senyum pada siapa saja yang datang. Tak jarang mereka saling menggoda. Ya, pagi menjadi pembuka untuk ngalap berkah.

Pukul 08.00 halaman nampak sepi. Semua sudah masuk ruangan. Pagi itu, saya sedang berada di perusahaan jamu nyonya meneer tepatnya di jalan raya Kaligawe Semarang. Dari luar terlihat ibu-ibu sedang mengenakan baju ganti kerja yang berwarna cokelat bak seorang pelayan restoran. Mereka lah yang siap meramu jamu.
            
Meneer lahir pada 1895 di kota kecil Sidoarjo Jawa Timur. Sewaktu kehamilannya, ibunya tidak suka makan nasi. Justru ibunya ngidam menir, sisa butir halus penumbukan padi. Itu lah asal usul nama menir. Sebab pengaruh ejaan belanda perkataan menir menjadi meneer.
            
Usia 17 tahun, Meneer menikah dengan seorang pria asal Semarang. Di kota itu lah Meneer hidup dengan suaminya. Suatu ketika suaminya sakit keras, berbagai obat dicoba tapi tidak memberi perubahan kesembuhan. Meneer akhirnya meramu jamu jawa yang diajarkan oleh orang tunya. Perlahan secara berangsur-angsur, suaminya mulai sehat kembali. Sejak itu meneer mulai menolong keluarga, tetangga, dan kawan. Baru pada permulaan abad ke 20 tepatnya pada 1919 lahirlah perusahaan jamu cap potret nyonya meneer. Informasi tersebut didapatkan dari humas museum jamu nyonya meneer yang terletak satu tempat dengan perusahaannya.
            
Kini, perusahaan meneer dipegang oleh keturunan ketiga yakni Charles Saerang anak dari Hans Ramana. Gejolak dalam mengembangkan perusahaan tersebut juga tak bisa lepas. Perusahaan meneer awalnya dijalankan menggunakan sistem keluarga. Namun, di generasi ketiga ini sudah dijalankan mandiri setelah melalui negosiasi. Gejolak internal tersebut yang menjadi salah satu penyebab pemogokan buruh, penuntutan pembayaran THR, demonstrasi pada 2000-2001 di PT Nyonya Meneer.
            
Selepas konflik tersebut, Charles membuktikan bahwa PT Nyonya Meneer harus tetap eksis. Terbukti PT Nyonya Meneer telah mengekspor ke-3 benua yakni Asia, Eropa, Amerika dan ke beberapa Negara seperti Malaysia, Jepang, Korea Selatan, Singapuran, Taiwan dan Cina. Belakangan juga menggandeng hotel untuk bekerjasama diantaranya minuman kemasan dan produk perawatan kulit.
            
Pasang surut sebuah perusahaan akan selalu ada. Humas museum Lulis Martiningsih mengatakan dua tahun belakangan kondisi perusahaan sedang tidak stabil. Kini, jumlah seluruh karyawan tak lebih dari 500 orang. Itu pun jika masuk semua setiap hari. Karyawan terkadang ada yang ‘dirumahkan’ (tidak dipekerjakan) sementara jika tidak ada banyak pesanan atau produksi yang jumlahnya besar. “Merumahkan sementara karyawan menjadi solusi dalam kondisi seperti ini. Daripada dipecat begitu saja, mereka punya tanggungan keluarga. Walau kebanyakan yang bekerja perempuan, tetap saja mereka penyokong perekonomian keluarga. Jadi, memang harus saling memahami,” cerita Lulis.

Agaknya karena penjualan produk yang dijual tidak di sembarang tempat membuat semakin sulit proses menjualnya. “Sistem pemasaran di PT Nyonya Meneer tidak sembarangan begitu saja. Perusahaan hanya menyetok di agen-agen resmi yang tersebar. Hal tersebut semata demi menjaga keasliaan jamu dan kualitas,” tutur Lulis. Persaingan ketat yang dihadapi dengan perusahan serupa yang lebih modern pun terjadi. Perusahaan layaknya Sido Muncul dan Air Mancur semakin gigih untuk menembus pasar internasional. Namun, Lulis memberi penekanan jika produk di PT Nyonya Meneer tidak menggunakan campuran bahan kimia sehingga tidak memberi efek ketagihan dan reaksi yang cespleng. “Minum produk Nyonya Meneer tidak bisa sekali saja, harus berangsur-angsur. Saya sejak 25 tahun lalu rutin minum jamu nyonya meneer. Saat ini saya masih terlihat seger dan cantik to? Padahal usia saya sudah 48 tahun lho. He he...” begitu canda Lulis dengan potongan rambut pendek dan badan mungil a la Yuni Sara.

Selektif
Selektif saat mengonsumsi jamu juga penting. Sebab, ada beberapa jamu yang diproduksi menambahkan campuran bahan kimia. Beberapa kasus penggrebekan pabrik produksi jamu di Banyumas dan Cilacap salah satu contohnya.

Jamu yang dicampur bahan kimia obat atau populer dengan sebutan jamu kimia sudah muncul di Banyumas dan Cilacap sekitar 25 tahun lalu. Berdasarkan aturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), jamu harus berbahan tumbuh-tumbuhan alami, tak boleh dicampur zat sintetis atau kimia. Namun secara kreatif beberapa pengusaha atau perajin jamu mencampur dengan bahan kimia obat, sehingga khasiatnya langsung terasa. Misalnya ketika menderita sakit demam meminum jamu kimia yang mengandung parasetamol, atau saat kecapekan mengonsumsi jamu kimia yang dicampur steroid, rasa letih langsung lenyap.

Berbeda dari jamu yang asli menggunakan ramuan alam, artinya berbahan baku alami tanpa campuran zat sintetis atau kimia, dampaknya baru terasa setelah mengonsumsi beberapa kali atau tidak seketika. Namun, banyak di antara konsumen yang kurang menyadari jamu kimia sangat berbahaya. Jangka panjang berpotensi menyebabkan berbagai penyakit yang menyerang organ dalam, misalnya ginjal, hati, dan jantung. Barangkali para pengusaha atau perajin mengetahui dampak negatifnya, tetapi pertimbangan ekonomi, yakni keuntungan besar, mengalahkan akal sehat serta sisi-sisi manusiawinya.

Ironi Tren Obat (Herbal)
Obat merupakan bahan untuk mengurangi, menghilangkan, atau menyembuhkan seseorang dari penyakit. Namun, obat seringkali ditafsirkan diburu ketika sudah terpapar suatu penyakit. Slogan mencegah lebih baik daripada mengobati semakin dilupakan dan justru diplesetkan mengobati lebih baik daripada mati.

Periodisasi perkembangan pengobatan tradisional di Indonesia menurut Prof Dr. H. Azwar Agoes dalam buku antropologi kesehatan Indonesia dapat dilihat di 4 zaman. Pertama, zaman pra jepang. Publikasi tertua tentang tanaman obat ditulis J. Bontius tahun 1685 dengan judul De Indiae Utriusquere Naturali et Medica. Relief candi Borobudur, Prambanan, dan lainnya melukiskan pula para penderita dengan tabib yang memberikan obat asal tanaman. Di berbagai daerah ditemukan kitab yang berisi tata cara pengobatan. Bali misalnya, ditemukan kitab usadha tuwa, usadha putih, usadha tuju, dan usadha seri. Dalam cerita rakyat seperti Sudamala, dikisahkan Sudamala mencoba menyembuhkan mata pendeta tambapetra yang buta.

Kedua, zaman jepang. Pada 5 Juni 1944 didirikan panitia bernama Yakusho Katsyo I-Inkai atau panitia jamu asli Indonesia dipimpin oleh Prof. Dr. Sato, Kepala jawatan kesehatan pemerintah. Ketiga, zaman kemerdekaan. Bung Karno memberikan cukup besar perhatian dalam pengembangan obat tradisional. Pada 1950 pemerintah melalui kementerian kesehatan membentuk komisi farmakoterapi. Keempat, zaman kebangkitan. Pada 1960 Prof A.J Darman dikukuhkan sebagai guru besar farmakologi Indonesia pertama. Dalam pidatonya disinggung banyak masalah pengobatan tradisional. Kemudian pada 1963 kementerian kesehatan membentuk Badan Perencana Penggunaan Obat Asli.
           
Kekinian, obat herbal menjadi tren. Obat dengan bahan alam di Indonesia sendiri terdiri atas jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Obat herbal merupakan hasil ekstrak atau penyarian bahan alam yang berupa tanaman obat, binatang, manupun mineral. Di Indonesia tidak banyak ditemukan yang benar-benar buatan negeri ini. Malah, berbagai produk dari Cina, Korea, dan Jepang begitu subur di kalangan kelas menengah ke atas. Sebab, harganya yang selangit. Pernah seorang kerabat saya membeli obat yang katanya herbal buatan Cina untuk menyembuhkan luka setelah operasi, 3 kali minum harganya 750 ribu. Wouww! Saya menduga bahwa tren obat herbal ini hasil penggiringan pemikiran beberapa kelompok guna bisnis. Toh kenyataan dalam rilis laman Kementerian Perindustrian bahan-bahan tersebut masih didominasi impor dari Malaysia dan Cina. Sementara omzet yang menggiurkan hingga 11 triliun pada 2011.
            
Jika pun Indonesia benar bisa memanfaatkan kesempatan ini, mestinya dipikirkan agar tidak dimonopoli asing yang menanam saham atau malah mendirikan perusahaan di negeri ini. Kekhawatiran saya juga bahwa penduduk kita tergiurkan pada angka yang besar tanpa menyiapkan ahli dari negeri sendiri yang diharapkan bisa mandiri. Betapa pun, masih berdirinya PT Nyonya Meneer yang usinya mendekati 100 tahun tak lebih mempunyai tanggung jawab moril bahwa Indonesia mempunyai obat asli yang tak kalah dengan sinse a la China dan negara-negara lain.
            
Obat bukan sekadar tren potongan rambut atau cetakan alis yang akan berganti di setiap musimnya. Obat mempunyai efek yang lama terhadap tubuh. Kita kerap kali terjajah oleh pemikiran-pemikiran mereka yang cerdik. Orang yang sedang sakit memiliki kecenderungan menuruti omongan siapa saja atau sedang mengalami kondisi psikologis yang tidak stabil. Saran ke rumah sakit A, dokter spesialis jitu B, orang pinter C, anak kecil yang dikira mempunyai keistimewaan D, dan lainnya. Semua dituruti demi sembuh katanya. Obat tak sekadar untuk menunda kematian. Mati dan hidup sudah ada yang menggariskan. Obat menjadi ikhtiar manusia yang tanpa batas untuk berupaya sehat kembali, khususnya mempergunakan akal sehatnya untuk berobat. Bukan berarti segala upaya bisa dilakukan untuk memperoleh obat. Termasuk menjerumuskan diri dalam penggiringan pemikiran oleh mereka-mereka yang hanya hitung-hitungan angka di meja bundar.
            
Melakukan upaya pencegahan dan perawatan diri sebelum terpapar penyakit menjadi alternatif yang lebih baik untuk mengantisipasi kepanikan vonis penyakit. Atau melakukan check up secara rutin.
            
Tulisan selesai, teringat Yu Sri penjual jamu gendong yang saban hari lewat rumah. “Jamu jamu….jamune Mas, Mbak Yu”. Suaranya cemlengking, namun iramanya selalu pas dan enak didengarkan.

Dewi Maghfi