Dar…
DI suatu
senja nanti Dar, aku ingin merapatkan kaki di depanmu. Dar, ini malam, hatiku
kembali koyak. Lantunan gitar mengalir pelan. Begitu suara nan syahdu yang
mengiringinya. Sebuah lagu spanyol kesukaan Fari, yang setahun lalu telah meninggalkan
bumi ini. Sudah delapan bulan ini, aku, menempuh hidup baru dengan istrinya.
Risa, perempuan kuat dengan satu putri imut nan lucu. Hari-hariku semakin
diyakinkan, bahwa perjalanan hidup begitu tak bisa ditebak. Kejutan Dar.
Aku berjodoh
dengan Risa. “Aku telah menemukan jodohku De, tak usah menunggu lama atas
sepeninggalnya Dedi,” tuturnya dengan mata sayup. Ah, entah. Aku dan diriku
yang belum selesai, namun selalu dihadapkan pada hidup-hidup yang baru. Aku
lahir berulang-ulang kali, Dar.
Risa, aku
sering menangkap tangannya yang sedang mengusap sudut matanya. Kadang juga, ada
air yang tumpah di pipinya. Lalu, cepat-cepat ia menyerutup air yang mengambang
di hidungnya. Aku tahu, Risa pasti begitu merasa sedih sekaligus kuat. Di meja
makan, di ruang tamu, di kamar tidur, di sela-sela ia makan, pandangannya
selalu menerawang jauh, kosong, dan selalu diakhiri dengan lelehan. Yang aku
yakini, ia pun tak sedang merenunginya atau tak rela atas kepergiaan Fari. Aku
yakin tidak. Ia hanya ingin mengulas rekaman ingatan bersamanya.
Ia pun
menceritakan runtut kisah-kisah pertemuannya dengan Fari. Lalu, bagaimana ia
belajar memaknai kata welas asih. Aku tak menyebutnya cinta Dar, sebab aku
belum cukup mampu untuk mengatakan itu. Bagiku, cinta syarat akan makna. Aku
lagi lagi tak kuat. Aku hanya ingin belajar mengikuti nurani saja. Maka, aku
lebih nyaman dengan ‘welas asih’. Sikap welas asih itu ku dapat dari
kakek-nenek pada cucu-cucunya. Aku pun tak bisa utuh merasakannya. Aku hanya
menangkap dari kakek-nenek yang kutemui tanpa sengaja atau pada teks yang
pernah ditulis sastrawan besar, NH Dini. Lagi lagi kejutan.
Dar, tadi
tanpa sengaja aku temukan sepucuk surat Risa. Kira begini “Hal yang kutakutkan
selama ini jika engkau meninggal. Berkali aku katakan padamu ‘aku seperti lahir
kembali sejak ada Dedi. Jika jalan ini tak ada, mungkin aku telah gila atau
mati’. Kini, ketakutanku benar. Namun, Dedi sudah mempersiapkan segalanya. Aku
pasti kuat untuk menghadapinya. Terima kasih.”
Begitu
dengan diriku, aku memprediksi hanya ada satu pilihan, menempuh
perjalanan.
***
Di warung
bertembok gedhek, saat kami menikmati
sop, di jalanan kehidupan yang kau dan aku pernah menertawakannya, kini aku
justru menangisinya bersama. Ia, bercerita tentang sosok lelaki. Dua lelaki
yang membuatnya sungguh benci dan sangat kagum. Lalu, ingatanku menerawang kau,
keduanya ada pada kau. Ia berkata, “apa lah guna lelaki jika aku tak bisa
menemukan kenyamanan di dekatnya. Aku yakin bahwa budaya patriarki di negeri ini
menyeramkan. Hanya demi cinta seorang perempuan, ia menyerahkan segalanya, ibu.
Tibalah saatnya, ia harus benar-benar memakan cinta. Dan aku tahu, itu sangat
pahit. Namun, barangkali ibu sudah melepaskan itu semua, yang penting ia akan
dengan gagah menjalaninya.”
Sementara,
lelaki lain yang dikaguminya, memberi makna hidup baru baginya. Ia seolah
seperti bayi lalu tumbuh untuk menjadi anak-anak. Layaknya anak-anak ia baru
menemukan kegembiraan anak-anak di usia empat puluh lima tahun. Ah, sepertinya
stigma anak-anak itu boleh berbuat kebodohan apapun dan tidak etis jika hal
tersebut dilakukan orang dewasa patah. Buktinya, ada anak-anak yang justru
telah mendewasa sebelum batasan umur yang ditetapkan. Betapa tidak, sedari
anak-anak, pagi, ia sarapan omongan. Makan siang dengan marahan. Dan makan
malam dengan sabetan. Sehingga ia berpikir dewasa dan melakukan hal-hal
sebagaimana bocah dewasa melakukannya. Padahal ia anak-anak. Lalu masihkah
batas tersebut menjadi tolak ukur?
Berlanjut….
Sum…
Gracias a la vida que me ha dado tanto.
Me ha dado el sonido y el abecedario;
Con el las palabras que pienso y declare:
Madre, amigo, hermano, y luz alumbrando
La ruta del alma del que estoy amando.
HATIKU pilu, Sum. Ini
lagu menggerus-gerus hatiku. Ku tarik napas yang panjang, ku tutup mata, dan
ketika ku buka mata, aku membayangkan kau duduk di sampingku. Ah, mana mungkin
kita akan bertemu? Mimpimu dan mimpiku tak pernah satu. Aku dan kamu sungguh
sama, namun justru kesamaan itu lah, yang terus ku lantunkan bahwa aku kamu tak
sama. Entah rumusan apa atas kesamaan dan ketaksamaan, Sum. Sebab yang sama itu
justru akan memunculkan kebuntuan dan mungkin sepo. Atau justru, sebab hal-hal yang sama itu akan memberi pilihan
baru untuk tetap gagah. Ah, itu butuh perjalanan yang panjang lagi. Aku ingin
mengendorkan lutut, Sum. Mengapa kita tak cari jalan alternatif untuk
memperpendek jalan saja? Toh, bensin kita akan irit, dan tidak membebankan
Negara. Juga seperti cita-citamu, agar sisanya itu dapat dibagi pada
orang-orang yang membutuhkan. Begitu bukan?
Sum, aku tahu, aku itu bukan lelaki. Lebih tepatnya memaknai
lelaki seperti yang kau kira. Ceritamu pada malam yang haru biru tentu masih ku
rekam. Tentang lelaki memang persis seperti perumusan yang ada di kepalamu.
Namun, kau akan merelakannya atas pertimbangan-pertimbangan yang tak pernah bisa
dikalkulasikan. Apalagi, aku melakukan kesalahan yang tak pernah kau maafkan.
Mengumpatlah Sum. Lelaki itu bajingan! Namun, tiada lah jalan untuk menutup
kebajingan itu, Sum? “Selalu, ada jalan,” katamu.
Aku tak berani meraba-meraba diriku. Seperti lelaki yang kau
benci, aku pun sama. Maka, atas kesamaan itu, aku kamu tak akan bertemu dalam
jalan pendek. Namun, aku sanggup menempuh perjalanan. Baik aku dan kamu punya
ketraumaan itu. Dan mestinya, aku dan kamu harus bisa menjadi terapis untuk
diri sendiri. Untung saja, ada pelukan ibu. Ibu adalah jendela yang memberi
kenyamanan di rumah. Padahal lini rumah sungguh besar. Namun, ibu hanya
jendela. Sebab, rumah dikuasai lelaki. Ibu, tetap perempuan yang suaranya
kadang hanya terpendam di lubuk hati. Namun, jendela senantiasa memberi kesejukan.
Tanpa jendela, rumah menjadi pengap.
Sum, yakinlah bersedekah itu jauh bisa melapangkan segalanya.
Segala aral melintang sudah sesuai porsi-porsinya. Pandanglah dengan tatapan
yang mantap orang-orang di sekitarmu. Oh, kau jauh lebih pintar untuk memaknai.
Bersedekahlah atas rasa, energi, pikiran, dan perjalanan.
Terima kasih hidup.
Selesai….
Dewi Maghfi, penikmat cerpen