Tetangga saya, sebut saja Yu Warti pernah mengalami hal pahit dalam hidupnya. Bertahun lalu, ia kawin dengan seorang lelaki yang mengaku single. Tibalah hari-H perkawinan. Perkawinan tak berlangsung megah. Hanya dihadiri wali dari pihak perempuan dan saksi. Khidmat nan syahdu. Sebuah upacara sakral yang diidamkan Yu Warti dan barangkali banyak perempuan. Hari menuju hari, ada seorang perempuan yang datang lantas mengumpat-ngumpat.
Oh,
betapa pilunya diri Yu Warti. Ya, cerita sekelumit itu menjadi momen dramatis
Yu Warti, seorang perempuan. Walau banyak dimensi yang melatarbelakangi, dan
bukan untuk menyudutkan salah satu pihak, tentu setiap peristiwa patut menjadi
pembelajaran.
Perkawinan
siri Yu Warti tersebut bisa menjadi cermin. Belakangan, marak kasus penawaran
jasa perkawinan siri secara daring. Penawaran
jasa layanan kawin yang dipasang melalui iklan itu selain meresahkan juga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yakni UU No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan UU No 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Perkawinan
yang mestinya bertujuan mulia berubah menjadi transaksi jual-beli dan menjadi
komodifikasi. Perkawinan siri seringkali berimplikasi pahit di pihak perempuan,
jika terdapat niat yang tidak baik di pihak lawan. Di sini perempuan di pihak
yang lemah. Atau justru keduanya memang berkompromi untuk meramu hubungan
simbiosime mutualisme. Pun jika demikian, perempuan mestinya berpikir ulang
kembali untuk memaknai sebuah perkawinan.
Perkawinan
siri tidak punya kekuatan hukum, lantaran secara administratif perkawinan tersebut
tidak tercatat di kantor urusan agama atau pencatatan kawin. Walau, secara
agama perkawinan siri sah. Di sini perempuan akan menjadi korban macam kasus Yu
Warti, lebih-lebih jika telah mempunyai anak. Seperti sebuah laporan yang
dirilis Suara Merdeka pada 17 Maret 2015 bahwa perempuan dan anak rentan
menjadi korban nikah siri.
Perempaun
merupakan makhluk yang kompleks. Ia dengan segala naluriah keperempuanannya akan
berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Jika stigma perempuan identik
dengan M3 (macak, manak, dan masak) tentu benar adanya. Perempuan dapat
menyelesaikan hal-hal komplek dalam dirinya. Termasuk melakukan pekerjaan
secara bebarengan. Pun jika perempuan tak dapat melakukan M3 tak lantas
mengingkari naluriah keperempuanannya. Bukan juga tumbuh sebagai perempuan yang
tak normal. Cuma, orang masih terjebak dalam hal-hal mayoritas tanpa mau
memahami realita yang memerlukan porsi pemahaman yang sama. Parah!
Kawin Siri
Perkawinan
menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah ikatan batin antara seorang
pria dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal menurut ketuhanan yang maha esa. Yang selanjutnya dilaporkan
di kantor urusan agama. Hal ini berbeda dengan kawin siri.
Dalam
fiqih, kawin siri merupakan kawin yang disembunyikan, dirahasiakan, dan tidak
diumumkan ke dunia luar. Sedang secara yuridis di Indonesia, perkawinan siri
adalah perkawinan yang dilakukan secara hukum islam dan diketahui orang banyak.
Hanya saja tidak dicatatkan dalam kantor urusan agama. Perkawinan siri berasal
dari kata ‘sir’ atau ‘sirri’ dalam bahasa arab bermakna rahasia, yakni tidak
ditampakkan. Perkawinan siri yakni perkawinan diam-diam.
Dahulu
kala, jika perkawinan sudah memenuhi syarat, otomatis akan sah. Zaman itu orang
belum mengetahui sarana tulis menulis dan pencatatan. Hal tersebut tentu dapat
dimaklumi. Sementara, dalam kondisi sekarang ini, kebutuhan bukti legal formal
berbagai macam bukti identitas seorang dari mulai akte kelahiran, ktp, kartu
keluarga, akta perkawinan, sim, merupakan eksistensi seorang untuk menjaga
haknya. Artinya, tanpa bukti tersebut orang akan hilang di mata hukum
Indonesia.
Perkawinan
merupakan jalan panjang untuk mewariskan sebuah peradaban. Perempuan, mari
kembali mengeja makna perkawinan. Menjadi perempuan, menjadi manusia yang cakap
untuk menegakkan kemanusiaan. Seperti apa peradaban yang akan kamu wariskan,
wahai perempuan?
Dewi Maghfi, minat isu keperempuanan