Semilir
angin dari pantai utara semarang mengayun-ayunkan dedaunan mangrove. “Satu…
dua… tiga….,” tutur Pak Yeyen memberi aba-aba pada tiga bapak lainnya. Mereka
sedang mengangkat gelondongan kayu untuk digunakan menyulam tiang rumah
penanaman bibit mangrove yang sudah lapuk. Sore itu, Kamis (16/4) air pasang
laut atau disebut rob sedang tinggi-tingginya di desa Tambakrejo kelurahan
Tanjung Mas, Semarang Utara.
Pak
Yeyen beserta Sembilan orang lainnya tergabung di kelompok tani cinta alam
mangrove asri dan rimbun (Camar) yang terbentuk pada Desember 2011. Ketua dari
kelompok Camar tersebut yakni Juremi. Biasa disapa Pak Ju, lelaki dengan
perawakan tinggi, badan kekar, dan kulit gelap. Awal mula terbentuk kelompok
camar adalah CSR antara Unnes dan Pertamina.
Rumah
pembibitan mangrove terletak di belakang rumah salah satu anggota Camar. Saban
sore, anggota meluangkan waktu untuk melihat perkembangan bibit mangrove yang
ditanam. Atau sekadar berkelakar dan kongkow-kongkow. Sebab pagi hari mereka
mesti mengantor di tengah laut dengan perbekalan menjaring lengkap, maka sore
dan akhir pekan menjadi waktu renyah bagi anggota untuk berkumpul.
Pak
Yeyen dengan detail menerangkan dari mulai pembibitan mangrove dan menjelaskan
varietas mangrove seperti avicennia dan rhizopora. Belakangan, tidak hanya
menanam bibit mangrove namun juga cemara laut. Cemara laut dinilai juga menjadi
salah satu tanaman yang efektif untuk menghentikan abrasi.
Di
tengah-tengah perbincangan hangat kami, datang ketua dari Camar, Pak Ju. Pak Ju
ini pagi hingga sore hari menjadi petugas keamanan di pabrik dekat desanya
yakni, Indonesia Power. Sore hari menjelang, komplek Indonesia Power nampak
seperti ‘kota’ eksklusif di pinggir laut dengan ribuan lampu cahaya yang
menyorotinya. Ya, nampak gagah.
Sembari
menyeruput segelas teh panas dan angin sepoi-sepoi yang terus menggoda kami,
Pak Ju melanjutkan cerita. Dulu, sewaktu ia masih duduk di kelas 3 sekolah
dasar jika mau kecibak-kecibuk air
laut, ia harus berlari sejauh 1 km lebih 50 m untuk bisa sampai ke bibir laut.
Betapa senangnya, ia dan teman-temannya bisa bermain-main air dan pasir
sepulang sekolah. Ah, kini, membuka pintu belakang rumah saja, kaki bisa
langsung dicelup-celupkan air laut sembari mengajak bersendau gurau anak
istrinya.
Reklamasi
Pantai
Keadaan pantai kota Semarang pada
umumnya adalah berelief rendah dengan garis pantai pasir pantai, berelief
rendah tersusun endapan aluvium dan kombinasi paparan lumpur dan hutan bakau. Berelief
rendah tersusun oleh endapan aluvium dan berupa endapan lumpur di kawasan
pelabuhan atau daerah rekreasi, bentuk pantai agak cekung, agak cembungan dan
kombinasinya.
Reklamasi pantai utara kota
Semarang menjadi salah satu faktor terhadap terjadinya peristiwa banjir yang
menghantui Semarang sepanjang tahun. Terjadinya banjir ini muncul dari masuknya
air laut menuju daratan yang biasa dikenal dengan banjir rob.
Reklamasi di kota Semarang
sebenarnya telah berlangsung cukup lama, yaitu pada saat pemerintahan kolonial
Belanda, reklamasi dilakukan tahun 1875 untuk pembangunan Pelabuhan Semarang.
Sesudah Indonesia merdeka, minimal sudah dilakukan tiga kegiatan reklamasi yang
besar dilakukan di pantai utara Semarang . Atas ijin Pemerintah Propinsi Jawa
Tengah di tahun 1979, dilakukan reklamasi yang sekarang dipergunakan untuk
kawasan Perumahan Tanah Mas. Dilanjutkan tahun 1980, dimulai reklamasi untuk
perluasan Pelabuhan Tanjung Mas Semarang atas ijin Pemerintah RI. Kemudian lima
tahun berikutnya (tahun 1985) dilaksanakan reklamasi untuk kawasan PRPP,
Perumahan Puri Anjasmoro dan Kawasan Semarang Indah dengan ijin Pemerintah
Propinsi Jawa Tengah.
Fenomena
banjir rob di kawasan pesisir utara semarang merupakan akibat dari berbagai
proses perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai dengan dibangunnya lahan
tambak, rawa dan sawah yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut
dan kini telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri dan
pemanfaatan lainnya.
Sadar
akan hal tersebut, kelompok Camar memulai langkah kecil untuk memperbaiki
kerusakan alam. Walau begitu, Pak Ju mengatakan tidak ingin menyalahkan
siapa-siapa. Ia dan teman-teman Camar akan terus berupaya untuk menjaga alam
dengan mengajak warga yang lain. Walau memang upaya yang dilakukannya belum
maksimal, mereka mengaku akan terus belajar menjadi kelompok peduli lingkungan
dengan visi menanam kebaikan pasti akan memetik kebaikan pula.
Sampai
hari ini, kelompok Camar masih membutuhkan patner
untuk terus menjaga lingkungan. Biasanya dari instansi-instansi entah
pendidikan atau kepemerintahan akan membeli bibit mangrove untuk ditanam di
beberapa daerah yang rawan. Kelompok Camar bertanggungjawab untuk mengontrol
dari mangrove yang ditanam tersebut. “Bersama kawan-kawan Camar, kami pasti
akan melakukan monitoring terhadap mangrove-mangrove yang telah ditanam selama
6 bulan di awal. Kalau ada yang mati, kami akan menyulami dan melakukan
perawatan lainnya. Namun begitu, selesai 6 bulan di awal, kami masih tetap
memantau pertumbuhan mangrove-mangrove tersebut. Kami berani bertanggungjawab,
jika berapa tahun kemudian, orang-orang yang pernah menanam mangrove itu minta
ditunjukkan, kami akan mengantar dan menunjukkannya,” tutur Juremi.
Sejak
abrasi terbesar tahun 2005, desa tambakrejo mengalami penurunan tanah sebesar
20 cm setiap tahunnya. Setiap tahun, baik rumah dan fasilitas umum yang berada
di sana mesti ditinggikan. Sebab, rob bisa datang 3 hingga 4 kali dalam
setahun. Sekali rob bisa 4 hingga 6 hari air menggenang di dalam rumah. Dan
begitu air hilang dengan seketika. Tidak inginkah anda memetik kebaikan dengan
menanam kebaikan?