Minggu, 26 April 2015

Punggawa di Pesisir Pantai Utara Semarang

Semilir angin dari pantai utara semarang mengayun-ayunkan dedaunan mangrove. “Satu… dua… tiga….,” tutur Pak Yeyen memberi aba-aba pada tiga bapak lainnya. Mereka sedang mengangkat gelondongan kayu untuk digunakan menyulam tiang rumah penanaman bibit mangrove yang sudah lapuk. Sore itu, Kamis (16/4) air pasang laut atau disebut rob sedang tinggi-tingginya di desa Tambakrejo kelurahan Tanjung Mas, Semarang Utara. 

Pak Yeyen beserta Sembilan orang lainnya tergabung di kelompok tani cinta alam mangrove asri dan rimbun (Camar) yang terbentuk pada Desember 2011. Ketua dari kelompok Camar tersebut yakni Juremi. Biasa disapa Pak Ju, lelaki dengan perawakan tinggi, badan kekar, dan kulit gelap. Awal mula terbentuk kelompok camar adalah CSR antara Unnes dan Pertamina.

Rumah pembibitan mangrove terletak di belakang rumah salah satu anggota Camar. Saban sore, anggota meluangkan waktu untuk melihat perkembangan bibit mangrove yang ditanam. Atau sekadar berkelakar dan kongkow-kongkow. Sebab pagi hari mereka mesti mengantor di tengah laut dengan perbekalan menjaring lengkap, maka sore dan akhir pekan menjadi waktu renyah bagi anggota untuk berkumpul.

Pak Yeyen dengan detail menerangkan dari mulai pembibitan mangrove dan menjelaskan varietas mangrove seperti avicennia dan rhizopora. Belakangan, tidak hanya menanam bibit mangrove namun juga cemara laut. Cemara laut dinilai juga menjadi salah satu tanaman yang efektif untuk menghentikan abrasi.

Di tengah-tengah perbincangan hangat kami, datang ketua dari Camar, Pak Ju. Pak Ju ini pagi hingga sore hari menjadi petugas keamanan di pabrik dekat desanya yakni, Indonesia Power. Sore hari menjelang, komplek Indonesia Power nampak seperti ‘kota’ eksklusif di pinggir laut dengan ribuan lampu cahaya yang menyorotinya. Ya, nampak gagah. 

Sembari menyeruput segelas teh panas dan angin sepoi-sepoi yang terus menggoda kami, Pak Ju melanjutkan cerita. Dulu, sewaktu ia masih duduk di kelas 3 sekolah dasar jika mau kecibak-kecibuk air laut, ia harus berlari sejauh 1 km lebih 50 m untuk bisa sampai ke bibir laut. Betapa senangnya, ia dan teman-temannya bisa bermain-main air dan pasir sepulang sekolah. Ah, kini, membuka pintu belakang rumah saja, kaki bisa langsung dicelup-celupkan air laut sembari mengajak bersendau gurau anak istrinya. 

Reklamasi Pantai
Keadaan pantai kota Semarang pada umumnya adalah berelief rendah dengan garis pantai pasir pantai, berelief rendah tersusun endapan aluvium dan kombinasi paparan lumpur dan hutan bakau. Berelief rendah tersusun oleh endapan aluvium dan berupa endapan lumpur di kawasan pelabuhan atau daerah rekreasi, bentuk pantai agak cekung, agak cembungan dan kombinasinya.

Reklamasi pantai utara kota Semarang menjadi salah satu faktor terhadap terjadinya peristiwa banjir yang menghantui Semarang sepanjang tahun. Terjadinya banjir ini muncul dari masuknya air laut menuju daratan yang biasa dikenal dengan banjir rob.

Reklamasi di kota Semarang sebenarnya telah berlangsung cukup lama, yaitu pada saat pemerintahan kolonial Belanda, reklamasi dilakukan tahun 1875 untuk pembangunan Pelabuhan Semarang. Sesudah Indonesia merdeka, minimal sudah dilakukan tiga kegiatan reklamasi yang besar dilakukan di pantai utara Semarang . Atas ijin Pemerintah Propinsi Jawa Tengah di tahun 1979, dilakukan reklamasi yang sekarang dipergunakan untuk kawasan Perumahan Tanah Mas. Dilanjutkan tahun 1980, dimulai reklamasi untuk perluasan Pelabuhan Tanjung Mas Semarang atas ijin Pemerintah RI. Kemudian lima tahun berikutnya (tahun 1985) dilaksanakan reklamasi untuk kawasan PRPP, Perumahan Puri Anjasmoro dan Kawasan Semarang Indah dengan ijin Pemerintah Propinsi Jawa Tengah.

Fenomena banjir rob di kawasan pesisir utara semarang merupakan akibat dari berbagai proses perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai dengan dibangunnya lahan tambak, rawa dan sawah yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut dan kini telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya. 

Sadar akan hal tersebut, kelompok Camar memulai langkah kecil untuk memperbaiki kerusakan alam. Walau begitu, Pak Ju mengatakan tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Ia dan teman-teman Camar akan terus berupaya untuk menjaga alam dengan mengajak warga yang lain. Walau memang upaya yang dilakukannya belum maksimal, mereka mengaku akan terus belajar menjadi kelompok peduli lingkungan dengan visi menanam kebaikan pasti akan memetik kebaikan pula.

Sampai hari ini, kelompok Camar masih membutuhkan patner untuk terus menjaga lingkungan. Biasanya dari instansi-instansi entah pendidikan atau kepemerintahan akan membeli bibit mangrove untuk ditanam di beberapa daerah yang rawan. Kelompok Camar bertanggungjawab untuk mengontrol dari mangrove yang ditanam tersebut. “Bersama kawan-kawan Camar, kami pasti akan melakukan monitoring terhadap mangrove-mangrove yang telah ditanam selama 6 bulan di awal. Kalau ada yang mati, kami akan menyulami dan melakukan perawatan lainnya. Namun begitu, selesai 6 bulan di awal, kami masih tetap memantau pertumbuhan mangrove-mangrove tersebut. Kami berani bertanggungjawab, jika berapa tahun kemudian, orang-orang yang pernah menanam mangrove itu minta ditunjukkan, kami akan mengantar dan menunjukkannya,” tutur Juremi.

Sejak abrasi terbesar tahun 2005, desa tambakrejo mengalami penurunan tanah sebesar 20 cm setiap tahunnya. Setiap tahun, baik rumah dan fasilitas umum yang berada di sana mesti ditinggikan. Sebab, rob bisa datang 3 hingga 4 kali dalam setahun. Sekali rob bisa 4 hingga 6 hari air menggenang di dalam rumah. Dan begitu air hilang dengan seketika. Tidak inginkah anda memetik kebaikan dengan menanam kebaikan?