Perjalanan kehidupan setiap orang beraneka
macam. Seperti apa pun, ada. Maka, pilihan untuk mensyukurinya dan bangkit
adalah jauh lebih bijak dari sekadar meratapi.
Tinggi badannya
sekitar 160 cm. Lengan kirinya bertato. Ia lah Ayub Waluyo yang saat ini
menjadi ketua Yayasan Emas Indonesia (YEI). Yayasan emas Indonesia adalah
yayasan yang menampung anak-anak jalanan di kota semarang. Saat ini, YEI
menapung 124 anak jalanan dan beberapa orang gila.
YEI awal mulanya ide dari
anak-anak muda dan juga mahasiswa pada 2001. Anak-anak muda tersebut memiliki
visi untuk memulai pergerakan yang berdampak langsung pada lingkungan sekitar
serta kota yang mereka tinggali. Kala itu, dikomandoi oleh Samuel Repi yang
sekarang menjadi Pembina YEI. Mereka mulai bergerak mendatangi anak-anak
jalanan di kota semarang terutama di daerah pasar johar dan jembatan berok.
Anak-anak tersebut merupakan anak dari pengemis, pemulung, serta orang miskin
yang mulai meninggalkan bangku sekolah menjadi anak-anak yang turun ke jalan
untuk membantu mencari nafkah keluarga.
Baru
pada tahun 2003, lembaga sosial tersebut mengukuhkan nama menjadi Adulam
Ministry. Baru pada 2010 berubah menjadi Yayasan Emas Indonesia yang telah
memiliki izin operasional dari Dinas Sosial Jawa Tengah. Setelah beberapa kali
berganti kepengurusan, pada 2012 terpilihlah Ayub menjadi ketua yayasan.
Ayub
dulunya adalah anak jalanan. Ia keluar dari rumah saat usianya 14 tahun. Sebab
faktor ekonomi, keluarga, dan lingkungan ia nekad untuk turun ke jalan. Baru pada
2009 ia bergabung di YEI. Satu tahun di YEI, ia berusaha menyesuaikan diri
dengan program-program yang diusung YEI. Ia mengaku tidak mudah melakukan
penyesuaian diri dari yang awalnya bisa melakukan apa saja di jalanan menjadi
terstuktur. “Proses untuk menyesuaikannya yang sulit,” tuturnya.
Selepas
satu tahun digembleng di YEI, ia dikirim ke Palembang selama 1 tahun untuk
mengikuti training pembentukan karakter. Di sana, ia mesti memahami kembali
arti menjalani kehidupan. Ia mengikuti tahap demi tahap. Hingga akhirnya, ia
merasa betah tinggal di Palembang dan sempat tidak ingin kembali ke semarang. “saya
berpikir ulang, ternyata saya dibutuhkan di semarang untuk adek-adek di
jalanan. Akhirnya mau deh kembali dan menyusun strategi di YEI,” tambahnya.
Keinginan ia untuk menetap di Palembang bukan tanpa alasan. Ia berencana
mendirikan semacam komunitas yang pergerakannya di wilayah anak-anak jalanan.
Di Palembang, ia juga memiliki keresahan yang sama tentang anak jalanan.
Ditambah lagi, ia mempunyai partner
dari kawan-kawan alumni training pembentukan karakter. “Maklum, masih
hangat-hangatnya dan semangat masih menggebu selepas mengikuti training.
He-he,” lanjutnya.
Memberdayakan Potensi
Keinginan
YEI untuk mandiri tanpa donatur sedikit demi sedikit disiasati. YEI mempunyai
usaha jual es batu, cuci motor, dan sebuah angkringan. Pengelola usaha tersebut
adalah anak-anak jalanan yang menjadi binaannya. Kevin misalnya seorang anak
jalanan yang dipercaya menjadi ketua pengelola cucian motor membawahi beberapa
temannya. Namun, terhitung mulai minggu pertama bulan Mei ini, Kevin keluar
dari YEI dan bekerja di sebuah restauran ternama. “Anak-anak yang di sini
memang masih keluar masuk. Ada yang tidak betah atau ingin mencari penghasilan
di luar. Saya terus mencari siasat untuk tetap merangkul mereka. Saya juga
harus bisa mengambil hatinya,” terang Ayub.
Angkringan yang dijalankan
teman-teman di YEI cukup menjanjikan. Mereka memasak sendiri dan menjagai
angkringan tersebut secara bergantian. Di bantaran sungai Jalan Onta Raya,
angkringan beserta Rumah perlindungan sosial anak (RPSA) YEI berdiri. Sementara
kantor yayasannya terletak sekitar setengah kilo dari RPSA tersebut.
YEI ke depan juga berusaha untuk
membuat badan usaha yakni CV untuk mewadahi usaha-usaha yang akan dikelolanya.
Ia berharap ada pihak yang berbaik hati memberikan pelatihan kerja pada
anak-anak di YEI. “Anak-anak jalanan itu survive,
mereka tidak perlu untuk dikasihani, cukup difasilitasi,” tegasnya. Akhirnya,
Ayub selamat untuk hidup yang baru….
Dewi Maghfi