Perkenalan dengan jilbab, kala aku sekolah sore. Sekolah
sore di tempatku yakni belajar ilmu-ilmu agama seperti fiqih, nahwu, saraf,
akidah akhlak, tarikh, tafsir quran, tauhid, dll. Dari situ aku memahami ada
pakaian maen dan pakaian sekolah termasuk di dalamnya ‘busana muslim’. Mengenakan
pakaian panjang hingga menutupi ujung jari, kaki, dan penutup kepala (jilbab). Ku
kira itu hanya sebuah seragam saja, cuma kami dibebaskan dengan berbagai motif
dan warna. Berlanjut hingga aku sekolah di madrasah tsanawiyah dan ‘weling’
dari guru untuk tidak melepas jilbab kala melanjutkan di sekolah menengah. Sampai
situ, bagiku menggunakan busana macam itu adalah hanya seragam. Toh, di rumah
aku mengenakan atau tidak tak masalah.
Lain halnya jika pakaian yang aku gunakan atau kakak
misalnya ketat, ada yang marah tak selesai-selesai berhari-hari,
bertahun-tahun, dan selamanya. Untung, aku tidak suka pakaian yang ketat-ketat,
kecuali kalau tubuhku kian membesar dan belum ada ganti yang baru. Pakai aja. Aku
lebih suka yang gombrong-gombrong. Sebab, jika sumuk ada banyak jendela yang
memberi kesejukan. Semriwing. He-he
Juga bagiku dulu, memakai rok adalah satu langkah
membuat ribet diri sendiri. Harus cinceng-cinceng, jalannya tak bisa cepat, aku
merasa dibatasi dalam berjalan. Aku tak pernah benar-benar punya rok selain
yang ku anggap seragam. Dulu.
Entah mengapa sebelum kuliah, diriku merasa
terkotak-kotak. Dari hal terkecil misal pakaian, aku harus memilah-milih mana
pakaian main, sekolah, ngaji, pergi jauh, dan rekreasi. Apalagi, masalah waktu,
jam sekian hingga jam sekian bahkan dalam seminggu mau ngapain aja detail di
luar kepala. Ceroboh sedikit saja, bisa jadi aku akan berangkat sekolah dengan
baju kotor atau tak setrikaan. Sedari kelas 4 sd aku mencuci dan menyetrika
baju sendiri.
Pagi tadi ada yang bercerita padaku tentang jilbab. Ia
dipanggil untuk tes wawancara di sebuah taman kanak-kanak. Ia tak memakai
jilbab. Cerita berlanjut ketika ia ditanya, “Jika diterima, apakah anda sanggup
untuk menggunakan jilbab?” ia menjawab sanggup. Namun, apa yang ada dalam
rumusannya berbeda dengan direktur TK. Pewawancara melanjutkan pertanyaan, “Yang
saya maksud menggunakan jilbab adalah menggunakannya dalam sehari-hari, tidak
hanya saat mengajar.” Wouww… ia lantas kaget. “Saya akan berdiskusi dulu dengan
keluarga,” jawabnya.
Ya, menyoal menggunakan jilbab atau tidak adalah
persoalan pendek sekaligus panjang. Bagiku misalnya, memakai jilbab adalah persoalan
pendek. Sedari kecil, aku sekolah di sekolah yang aturannya memang seperti itu,
mau tidak mau, aku harus menggunakan jilbab. Bukan hanya hitungan hari, namun
tahun berganti tahun. Kebiasaan macam itu tentu tak masalah bagiku, jika sampai
hari ini aku mengenakan jilbab jika sedang di luar. Lain halnya dengan temanku
tadi.
Aku yakin, hari ini ia sedang menghadapi persoalan
panjang dan tak sekadar menyanggupi dengan jawaban ‘iya/tidak’. Ia butuh dialog
dua arah dengan keluarga, dan bertemu tatap muka agar ia bisa merasakan bagaimana
gesture lawan bicaranya sekaligus kedalaman matanya. Makanya, konyol sekali
jika ada pertanyaan dengan jawaban hanya ‘iya/tidak’. Mungkin bisa ditolerir
untuk pertanyaan-pertanyaan lugas, lalu bagaimana dengan pertanyaan perjalanan?
Ia tumbuh dalam keluarga dengan 2 prinsip. Bapaknya penganut
islam dan ibuknya Kristen. Sedari kecil, ia diarahkan oleh bapaknya untuk
memeluk islam. Diminta untuk ke masjid, ngaji, salat, dll. Bahkan, jika ia
ingin ke gereja menemani ibuknya di hari minggu, telapak tangan ayahnya bisa
melayang ke tubuhnya. Ia mengaku, betapa miris melihat ibunya yang saban minggu
pagi berangkat ke gereja sendiri tak ada keluarga yang menemani. Atau di luar
minggu jika ibunya sedang dirundung kesedihan, ia akan lari ke gereja. Sendiri.
Beda dengan bapaknya, setiap kali ke masjid, kedua anaknya mesti ikut.
Betapa pun, di dalam satu atap keluarga, pemimpin
rumah mempunyai kecenderungan menguasai diantara lainnya, ayah. Seringkali ayah
merasa dirinya adalah pemimpin dan mesti harus dituruti segala sabda-sabdanya. Ia
jarang mengakomodir seperti apa suara-suara anggota yang lain. Sabda ayah,
kadang menjadi takdir keluarga. Mau tida mau harus diterima dengan legowo. Nah,
hal macam itu tanpa disadari dialami berjuta-juta bahkan bermilyar-milyar entah
ibu atau anak-anak mereka. Entah apa yang ada di pikiran ayah? Sehingga ia
mengkultuskan dirinya bak nabi.
Ada beberapa kemungkinan yang mendasarinya, 1. Ia
memang tidak mempunyai pengetahuan untuk menahkodai kapal dan tidak ingin
mencari tahu. Sehingga menggunakan cara ‘biasanya’. Padahal hal tersebut biasa
untuk siapa dan apakah masih relevan dengan saat ini? 2. Ia kepalang malu, jika
mesti tunduk pada perempuan (suami-suami takut istri). Padahal makna tunduk itu
pun atas konstruksi kesalahkaprahan dalam masyarakat. Tunduk diartikan bertekuk
lutut. Mestinya tunduk diartikan sebagai alat kontrol. 3. Ia mempunyai
pengetahuan untuk menahkodai kapal, namun kondisi terlalu kompleks dari
rumusannya. Ia hanya butuh untuk berikhtiar lebih lama sedikit. Namun, biasanya
banyak yang menyerah.
Betapa pun, di dalam rumah suara perempuan adalah
suara kesekian yang jarang didengarkan. Apalagi kalau membuat sabda, kualat
katanya. Perempuan seringkali berusaha menjaga kondisi agar tak oleng. Walau ia
mesti nampak manut, ngikut, diam, dan baik-baik saja. Padahal, jika bisa ia
sudah berteriak sekencang-kencangnya. Namun, perempuan adalah makhluk yang
sangat realistis. Ia sanggup untuk memendam kedalaman-kedalaman rasa yang
koyak, demi sebuah keyakinan. Dan bapak adalah kaum perasa tingkat dewa. Ia lebih
mudah tersinggung dan melibatkan rasa untuk mengadili hal-hal yang salah dan
benar. Ah, bapak, belajar lah untuk membaca semesta dan melakukannya dalam laku
perjalanan diri adalah jauh lebih baik dari sekadar mempertaruhkan kemaluan.
Betapa pun, hal-hal yang dilakukan berawal dari mindset. Hal pertama yang tidak bisa
diganggugugat adalah sama-sama menyadari bahwa merumuskan persepsi (mindset) antar bapak-ibu adalah penting.
Kemudian hal-hal yang harus dihadapi, hadapilah. Di sana akan tercipta saling
menghargai satu sama lain. Bahwa pasangan tak lain adalah sama seperti diri
yakni manusia. Laku manusia adalah laku panjang untuk menemu dirinya dengan
Gustinya. Bukan pembatasan atas nama pasangan. Dan lain-lainnya mesti harus
dilepaskan dengan bantuan pasangan tersebut. Jika begitu, kepemilikan atas diri
bisa diminimalisir. Bapak-ibu adalah dua manusia yang mengalami perjalanan
panjang untuk sama-sama memaknai ciptaan Tuhan, Semesta. Keduanya, butuh untuk
saling menguatkan dan memberi pelukan satu sama lain. Juga, untuk membantu
mewujudkan keyakinan-keyakinan (beda dengan agama!) personal. Aku paham, bahwa
cara untuk bertahan hidup di dunia ini adalah dengan menguasai diri bukan orang
lain, pasangan, anak, keluarga, teman, dll.
Dalam ruang privat, jilbab adalah perjalanan
panjang. Perjalanan kultur keluarga yang akan dibawa sejak bayek hingga matek,
perjalanan penemuan diri, dan perjalanan spiritualitas. Tidak semata, jilbab
syar’i, jilboobs, muslimah, non muslimah, baik, tidak baik. Namun, tidak lantas
menyepelekan untuk tidak ingin mencari pemaknaan. Beda dalam ruang publik,
menyoal fenomena jilbab sebagai trend
setter, mode, style dan sengaja digerakkan oleh kepentingan golongan untuk
memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya mesti dibuka diskursus panjang untuk
melucutinya, bukan soal tabu!
Aku, perempuan, carilah pemaknaan dalam laku diri. Tegakkan
diri sebagai manusia seutuhnya di hadapan Gusti (walau akan dalam proses terus mencari
hingga meninggal) bukan sekadar jenis kelamin. Rengkuhlah setiap pasangan yang
dihadirkan Gusti. Terus teruslah berikhtiar tiada henti. Memang kadang lelah,
capek, namun begitullah seninya hidup. Melambaikan tangan sejenak jika tak
kuat, kadang juga oleng, terjatuh dalam
kedalaman yang tiada terukur, begitu tak masalah. Bahwa masih ada satu harapan
yakni ‘keyakinan’. Rumuskan dalam perjalanan laku diri masing-masing. Akhirnya selamat
menempuh perjalanan baru, laki dan puan.
Dewi
Maghfi | 13/5/15