Selasa, 05 Mei 2015

Surat untuk Semesta


Semesta, mungkin aku memang belum mengenalmu dalam. Tapi, aku akan terus menempuh perjalanan menujumu melalui perjalanan diri. Berawal dari obrolan sore tadi bersama Ibun, aku semakin yakin bahwa pencarianku adalah pencarian menuju yang hakiki, ya menuju semesta.

Aku suka menulis surat terutama surat yang ku tulis langsung dengan menggoreskan tinta di kertas. Entah, panggilan menulis surat adalah panggilan terdalam dalam diri. Sebenarnya aku itu tidak terlalu pede bicara di depan umum. Namun, berawal dari tuntutan aku yakini, aku harus memberanikan diri. Maka, kembali menulis surat mengulang masa di mana bolpoin dan kertas adalah temanku sedari kecil hingga kembali kepada semesta.

Banyak hal-hal yang perlu ku urai dalam diri. Tentang kedirian dan kepulangan. Dua hal itu yang saat ini menjadi misiku dalam menempuh perjalanan. Entah, perjalanan macam apa, aku akan menempuh perjalanan yang masih panjang. Kedirian adalah soal aku memandang diriku sebagai manusia. Sebenarnya apa itu tugas manusia? Apakah makhluk ciptaan Tuhan yang lain juga meresahkan hal yang sama? Sebagai Khalifah? Khalifah untuk siapa? Melakukan yang terbaik? Terbaik macam apa yang mesti harus dilakukan?

Hal-hal macam itu bahkan sudah ku pertanyakan sedari kecil. Sepertinya, aku lahir langsung mendewasa. Bahkan, masa kecilku aku sering meresapi masalah-masalah orang dewasa yang bagiku mengerikan. Aku ingat betul, aku pernah mengurung diri di kamar dengan tiga buah pisau yang sudah ku asah ku taruh di dalam tas. Entah, untuk apa. Tapi aku teringat momen itu.

Semesta, aku tahu, hal-hal macam itu tak lebih hanyalah sebuah perjalanan hidup. Kunci manusia adalah ruh. Ruh itu suci. Ia dihadirkan dari tempat yang mulia. Maka, manusia mesti berusaha memulangkannya dalam kondisi yang serupa. Namun, kadang aku pun terlena, bahwa pemberian itu adalah kepunyaanku sepenuhnya. Sehingga aku kadang terbutakan pada hal-hal macam begitu.

Pada hal-hal yang melekat dalam diri, memang mesti dilepaskan. Bahwa perjalanan manusia adalah perjalanan yang sangat pribadi untuk menuju Tuhannya. Bahwa, tentang materil, partner hidup, anak, teman, pekerjaan, hanyalah sebuah rute untuk menuju-Nya. Seringkali sederet kepemilikan itu benar bukanlah kepemilikan manusia. Ia hanya dititipi oleh Tuhannya.

Bahwa setiap diri mesti belajar untuk menguasai perasaan dan pikirannya sendiri. Rasa marah terhadap orang lain misalnya, yang kita tumpahkan secara berlebihan berarti diri belum mampu untuk menguasai diri. Atau rasa senang terhadap orang lain, sehingga menyerahkan segala hidup matinya pada orang lain juga ia sedang dikuasai oleh selain dirinya, dan itu sungguh kekejian dalam memperlakukan diri sendiri.

Ada ruang dimana kita mesti mengetahui hak dan kewajiban diri. Kewajiban kita adalah merawat jiwa dengan menempuh lini-lini yang kadang berliku. Dan hak kita adalah menjaga diri dari penguasaan liyan. Sebab, pada pola hubungan kedua hal tersebut seringkali menyatu. Maka, mengurainya adalah bagian dari perjalanan.

Partner Hidup
Semesta, perjalanan ini memang membutuhkan energi, pikiran, keikhlasan yang begitu mendalam. Ajarilah aku, sedikit demi sedikit. Aku tentu tak bisa melakukannya sendiri. Aku butuh seorang partner untuk menempuh perjalanan ini. Aku tak pernah membayangkan hal yang lebih. Pun hal yang muluk. Selama ini, jika aku tak membincangkannya dalam ruang keramaian, sebab ini perjalanan yang sunyi, perjalanan spiritualitas, perjalanan untuk menempuh diri. Perjalanan yang tak pernah bisa ditebak. Hanya aku yang bisa merasakannya. Katakanlah bahwa partner hidup itu akan diikat dalam sebuah pernikahan barangkali bisa dibenarkan. Pernikahan tak lebih sebab manusia hidup sosial, sehingga ada nilai yang perlu dilaksanakan. Selebihnya, bahwa aku sangat meyakini penyatuan jiwa dan perasaan antar pasangan manusia adalah penyatuan semesta. Mereka disatukan untuk menempuh perjalanan suci menuju-Nya.

Lagi, lagi, bahwa aku sadar penyatuan itu pun bukan segalanya. Aku yang sanggup menguasai diriku, dan ia yang sanggup menguasai dirinya. Tentu, bagiku hubungan penyatuan itu adalah tolong-menolong agar aku bisa sampai pada-Nya dan ia sampai pada-Nya. Bahwa ia yang menjadi pemimpin dalam perjalanan ini, aku pun tak menolaknya. Dalam perjalanan mana, yang tak membutuhkan pemimpin untuk menahkodai? Justru akan keos. Selebihnya adalah hal-hal yang perlu dilepaskan.

Itu yang menjadi pertanyaan panjangku, dan setidaknya dalam perjalanan ini aku menemukan jawaban itu walau sedikit. Dan barangkali esok aku akan menemukan jawaban itu lagi dan seterusnya. Aku akan menempatkan diri bagai teko.
Menyoal cinta, konstruksi yang dibangun dalam pikiran masing-masing, sebab antar satu dan lainnya sungguh beda jalannya, aku memahaminya. Atau mungkin banyak orang yang merasa bahwa cinta adalah segalanya, mungkin begitu benar bila ia mampu berbuat seimbang untuk tidak hanya pada lawan jenis saja namun pada kehidupannya. Bagiku, cinta mengemban makna yang begitu padat. Aku masih belum tahu. Namun, aku bisa merumuskan cinta dalam pandanganku sendiri. Bahwa cinta tak lebih hanyalah bumbu manis dalam kehidupan. Begitu banyak orang yang dipersatukan cinta, ada. Lalu tak saling mencintai lagi, ada. Juga, ada yang dipersatukan sebab hal lain. Cinta bisa saja mempercepat  jalan menuju Tuhan-Nya atau sebaliknya. Maka, ketidakberanianku membincang cinta dalam keriuhan, sebab aku ingin hanya aku yang merasakannya. Sehingga aku tak bisa memaknai secara laku pribadi.

Sebab, jalan ke’ada’anku tidak seperti konstruksi cinta atas pemaknaan umum liyan, maka aku memaknai jalan cinta begitu sangat privat. Pun, aku sangat merasakan betul bagaimana kekuatan orang yang saling mencintai. Juga tidak.

Cintaku, aku tahu kau hadir persis seperti jalanku. Pada kesunyian dan kelirihan. Aku akan memaknai cinta selayaknya jalan cinta yang dihadirkan semesta untuk aku dan kau. Aku tak perlu untuk meyakinimu saat ini dengan berlebih, sebab aku tak tahu pergerakan semesta. Yang ku tahu saat ini, bahwa aku adalah manusia yang sedang mencari jalan kemanusiaan. Begitu pula, kau cintaku adalah manusia. Yang perlu tumbuh utuh selayaknya manusia dihadirkan di bumi.

Dengan aku memahami diri sebagai manusia aku berarti memahamimu. Tanpa perlu mencari-cari kesamaan atau menolak ketidaksamaan. Tanpa perlu mengkhawatirkan bagaimana jalanmu sekarang dan esok, tanpa perlu tahu kau memaknai cinta seperti apa, tanpa perlu menebak-nebak kabarmu, tanpa perlu tahu bagaimana perasaanmu, tanpa perlu tahu kau sehat atau tidak, tanpa perlu tahu kau memikirkan hal yang sama sepertiku, tanpa perlu tahu tanpa perlu tahu. Yang ku tahu hanya kau manusia begitu juga aku. Aku hanya bisa terus berdoa, tanpa bisa merupa. Aku hanya meyakini pergerakan batin, jiwa, perasaan, pikiran ini sebagai laku pergerakan semesta. Aku hanya perlu fokus pada langkah keakuan sebagai manusia yang tentu menghadirkan manusia-manusia lain dalam diri. Semesta adalah magnet, dayanya yang akan menarik di sekelilingnya untuk disatukan. Lepas lepas lepas lepas lepas lepas lepas lah…..
DM | 2 Mei 2015