Semesta, mungkin aku
memang belum mengenalmu dalam. Tapi, aku akan terus menempuh perjalanan
menujumu melalui perjalanan diri. Berawal dari obrolan sore tadi bersama Ibun,
aku semakin yakin bahwa pencarianku adalah pencarian menuju yang hakiki, ya
menuju semesta.
Aku suka menulis surat
terutama surat yang ku tulis langsung dengan menggoreskan tinta di kertas.
Entah, panggilan menulis surat adalah panggilan terdalam dalam diri. Sebenarnya
aku itu tidak terlalu pede bicara di depan umum. Namun, berawal dari tuntutan
aku yakini, aku harus memberanikan diri. Maka, kembali menulis surat mengulang
masa di mana bolpoin dan kertas adalah temanku sedari kecil hingga kembali
kepada semesta.
Banyak hal-hal yang
perlu ku urai dalam diri. Tentang kedirian dan kepulangan. Dua hal itu yang
saat ini menjadi misiku dalam menempuh perjalanan. Entah, perjalanan macam apa,
aku akan menempuh perjalanan yang masih panjang. Kedirian adalah soal aku
memandang diriku sebagai manusia. Sebenarnya apa itu tugas manusia? Apakah
makhluk ciptaan Tuhan yang lain juga meresahkan hal yang sama? Sebagai
Khalifah? Khalifah untuk siapa? Melakukan yang terbaik? Terbaik macam apa yang
mesti harus dilakukan?
Hal-hal macam itu
bahkan sudah ku pertanyakan sedari kecil. Sepertinya, aku lahir langsung
mendewasa. Bahkan, masa kecilku aku sering meresapi masalah-masalah orang
dewasa yang bagiku mengerikan. Aku ingat betul, aku pernah mengurung diri di
kamar dengan tiga buah pisau yang sudah ku asah ku taruh di dalam tas. Entah,
untuk apa. Tapi aku teringat momen itu.
Semesta, aku tahu,
hal-hal macam itu tak lebih hanyalah sebuah perjalanan hidup. Kunci manusia
adalah ruh. Ruh itu suci. Ia dihadirkan dari tempat yang mulia. Maka, manusia
mesti berusaha memulangkannya dalam kondisi yang serupa. Namun, kadang aku pun
terlena, bahwa pemberian itu adalah kepunyaanku sepenuhnya. Sehingga aku kadang
terbutakan pada hal-hal macam begitu.
Pada hal-hal yang
melekat dalam diri, memang mesti dilepaskan. Bahwa perjalanan manusia adalah
perjalanan yang sangat pribadi untuk menuju Tuhannya. Bahwa, tentang materil, partner hidup, anak, teman, pekerjaan,
hanyalah sebuah rute untuk menuju-Nya. Seringkali sederet kepemilikan itu benar
bukanlah kepemilikan manusia. Ia hanya dititipi oleh Tuhannya.
Bahwa setiap diri mesti
belajar untuk menguasai perasaan dan pikirannya sendiri. Rasa marah terhadap
orang lain misalnya, yang kita tumpahkan secara berlebihan berarti diri belum
mampu untuk menguasai diri. Atau rasa senang terhadap orang lain, sehingga
menyerahkan segala hidup matinya pada orang lain juga ia sedang dikuasai oleh
selain dirinya, dan itu sungguh kekejian dalam memperlakukan diri sendiri.
Ada ruang dimana kita
mesti mengetahui hak dan kewajiban diri. Kewajiban kita adalah merawat jiwa
dengan menempuh lini-lini yang kadang berliku. Dan hak kita adalah menjaga diri
dari penguasaan liyan. Sebab, pada pola hubungan kedua hal tersebut seringkali
menyatu. Maka, mengurainya adalah bagian dari perjalanan.
Partner
Hidup
Semesta, perjalanan ini
memang membutuhkan energi, pikiran, keikhlasan yang begitu mendalam. Ajarilah
aku, sedikit demi sedikit. Aku tentu tak bisa melakukannya sendiri. Aku butuh
seorang partner untuk menempuh
perjalanan ini. Aku tak pernah membayangkan hal yang lebih. Pun hal yang muluk.
Selama ini, jika aku tak membincangkannya dalam ruang keramaian, sebab ini
perjalanan yang sunyi, perjalanan spiritualitas, perjalanan untuk menempuh diri.
Perjalanan yang tak pernah bisa ditebak. Hanya aku yang bisa merasakannya.
Katakanlah bahwa partner hidup itu
akan diikat dalam sebuah pernikahan barangkali bisa dibenarkan. Pernikahan tak
lebih sebab manusia hidup sosial, sehingga ada nilai yang perlu dilaksanakan.
Selebihnya, bahwa aku sangat meyakini penyatuan jiwa dan perasaan antar
pasangan manusia adalah penyatuan semesta. Mereka disatukan untuk menempuh
perjalanan suci menuju-Nya.
Lagi, lagi, bahwa aku
sadar penyatuan itu pun bukan segalanya. Aku yang sanggup menguasai diriku, dan
ia yang sanggup menguasai dirinya. Tentu, bagiku hubungan penyatuan itu adalah
tolong-menolong agar aku bisa sampai pada-Nya dan ia sampai pada-Nya. Bahwa ia
yang menjadi pemimpin dalam perjalanan ini, aku pun tak menolaknya. Dalam
perjalanan mana, yang tak membutuhkan pemimpin untuk menahkodai? Justru akan
keos. Selebihnya adalah hal-hal yang perlu dilepaskan.
Itu yang menjadi
pertanyaan panjangku, dan setidaknya dalam perjalanan ini aku menemukan jawaban
itu walau sedikit. Dan barangkali esok aku akan menemukan jawaban itu lagi dan
seterusnya. Aku akan menempatkan diri bagai teko.
Menyoal cinta,
konstruksi yang dibangun dalam pikiran masing-masing, sebab antar satu dan
lainnya sungguh beda jalannya, aku memahaminya. Atau mungkin banyak orang yang
merasa bahwa cinta adalah segalanya, mungkin begitu benar bila ia mampu berbuat
seimbang untuk tidak hanya pada lawan jenis saja namun pada kehidupannya.
Bagiku, cinta mengemban makna yang begitu padat. Aku masih belum tahu. Namun,
aku bisa merumuskan cinta dalam pandanganku sendiri. Bahwa cinta tak lebih hanyalah
bumbu manis dalam kehidupan. Begitu banyak orang yang dipersatukan cinta, ada. Lalu
tak saling mencintai lagi, ada. Juga, ada yang dipersatukan sebab hal lain. Cinta
bisa saja mempercepat jalan menuju
Tuhan-Nya atau sebaliknya. Maka, ketidakberanianku membincang cinta dalam
keriuhan, sebab aku ingin hanya aku yang merasakannya. Sehingga aku tak bisa
memaknai secara laku pribadi.
Sebab, jalan
ke’ada’anku tidak seperti konstruksi cinta atas pemaknaan umum liyan, maka aku
memaknai jalan cinta begitu sangat privat. Pun, aku sangat merasakan betul
bagaimana kekuatan orang yang saling mencintai. Juga tidak.
Cintaku, aku tahu kau
hadir persis seperti jalanku. Pada kesunyian dan kelirihan. Aku akan memaknai
cinta selayaknya jalan cinta yang dihadirkan semesta untuk aku dan kau. Aku tak
perlu untuk meyakinimu saat ini dengan berlebih, sebab aku tak tahu pergerakan
semesta. Yang ku tahu saat ini, bahwa aku adalah manusia yang sedang mencari
jalan kemanusiaan. Begitu pula, kau cintaku adalah manusia. Yang perlu tumbuh
utuh selayaknya manusia dihadirkan di bumi.
Dengan aku memahami
diri sebagai manusia aku berarti memahamimu. Tanpa perlu mencari-cari kesamaan
atau menolak ketidaksamaan. Tanpa perlu mengkhawatirkan bagaimana jalanmu
sekarang dan esok, tanpa perlu tahu kau memaknai cinta seperti apa, tanpa perlu
menebak-nebak kabarmu, tanpa perlu tahu bagaimana perasaanmu, tanpa perlu tahu
kau sehat atau tidak, tanpa perlu tahu kau memikirkan hal yang sama sepertiku,
tanpa perlu tahu tanpa perlu tahu. Yang ku tahu hanya kau manusia begitu juga
aku. Aku hanya bisa terus berdoa, tanpa bisa merupa. Aku hanya meyakini
pergerakan batin, jiwa, perasaan, pikiran ini sebagai laku pergerakan semesta.
Aku hanya perlu fokus pada langkah keakuan sebagai manusia yang tentu
menghadirkan manusia-manusia lain dalam diri. Semesta adalah magnet, dayanya
yang akan menarik di sekelilingnya untuk disatukan. Lepas lepas lepas lepas
lepas lepas lepas lah…..
DM
| 2 Mei 2015