Jumat, 22 Mei 2015

Masa Kanak yang Melampaui Ruang dan Waktu


Berjalan menyusur pasar seusai kebakaran menjadi kengiluan bagi diri. Dua kali (Pasar Mbabatan Ungaran & Pasar Johar), aku sekadar menengok, atau mencari informasi pasar tradisional yang terbakar. Aku selalu bertanya-tanya, mengapa pasar tradisional yang sering terbakar? Mengapa tidak swalayan yang gedhe saja yang terbakar lalu ludes? Mengapa masyarakat kecil semakin menderita di negeri ini? Apakah negeri ini memang sudah tak sanggup lagi menjadi ibu pertiwi bagi masyarakat kecil? Apa sebab terbakarnya, korsleting? Ah, atau sengaja dibakar oleh oknum? Kamprett, negara ini! Lalu, seusai mengumpat, kutujukan pada siapa kekesalanku ini? Ah, aku hanya ingin mengumpat. Aku masih bersemangat untuk menyibak hal-hal kecil yang dapat kujamah.

Seusai puter-puter pasar, aku merasa lelah. Bukan lelah sebab aku berjalan dari ujung ke ujung. Itu hal yang biasa ku lakukan, jalan kaki. Namun, hati dan pikiranku merasa lelah. Aku memang tak percaya kalau pasar-pasar tradisional terbakar karena korsleting. Aku sangat yakin, jika itu dibakar.

Orang-orang mengapa semakin bejat dan kejam. Aku tak habis pikir. Ya, sebab aku capek, aku singgah ke tempat tinggal Gias. Seorang kawan yang ku kenal beberapa bulan belakangan. Ia tinggal di dalam pasar johar bersama keluarganya dan keluarga lain sedari kecil. Aku merasa beruntung punya kawan di sana, setidaknya bisa kujadikan sandaran (walau dalam kenyataannya aku tak benar-benar bersandar). Bersandar di sini kumaknai, aku hanya ingin mendengar cerita. Aku memposisikan diriku sebagai anak kecil yang ingin mendapat cerita atau dongeng. Aku adalah orang yang sering kehausan cerita. Aku ingin mendapat banyak cerita. Namun, terkadang aku juga tak kuat untuk mendengar cerita (lagi). Aku ingin bercerita pada diriku sendiri, itu pun justru menjadi hal sulit yang belum terpecahkan.

Gias usianya 20 tahun. Ia sudah punya bayi mungil yang usianya 8 bulan. Padahal terakhir aku ke sana, pas bayinya berusia 3 bulan. Sudah lama sekali berarti aku tak singgah di rumah kehidupannya. Ah, aku tak bertemu Gias. Ia ikut suaminya bekerja. Padahal aku ingin mencium dan mempuk-puk anaknya. Tapi, bertemulah aku dengan Wulan. Ia adalah kakak Gias. Wulan ternyata sudah menikah. Kini, ia hamil 3 bulan. Ia nampak cantik menggunakan daster putih selutut dengan bahan kain goni. Aku suka. Rambutnya dipocong. Ia tak menggunakan riasan. Kulitnya memang gelap (sepertiku), namun aku melihat wajahnya berseri. Sebab, senyum yang tiada lepas dari bibirnya. Ya, kegilaan kami kemarin adalah menertawakan hal-hal konyol sekaligus berarti.

“Mbak, minta duite to. Aku pek jajan es,” tuturnya seorang bocil laki-laki sembari merengek. “Minta ibukmu sana. Jajan kog terus. Aku ndak punya duit,” jelas Wulan dengan nada tinggi. Bocil itu adalah keponakan Gias. Ia memang sering jajan. Apalagi mereka tinggal di pasar, yang mana mau jajan apa saja ada.

Dari rengekan bocil itu, Wulan mungkin teringat tentang sebuah kenangan. Ya, kenangan masa kecilnya. Usianya kini 23 tahun. Ia mulai bercerita dengan sesekali menunjukkan kejengkelannya dan kami tertawa bersama. Dulu, ia begitu bersamangat untuk sekolah. “Pokoknya piye carane aku sekolah.” Suatu kebanggaan bagiku, ia seoranga anak jalanan yang menamatkan sma. Horeee… entah, sekolah itu seberapa berharganya, namun untuk kondisi Wulan aku mengacungi jempol. Jika, sekolah tidak penting dan dimanapun seorang bisa belajar, barangkali aku menangkap titik poin yang beda dengan jika itu ada pada kondisi mereka.

Tempat kehidupan Wulan sejak lahir adalah pasar dan jalanan. Tempat bermain yang asyik bagi adalah lahan parkiran, gang-gang sempit antar penjual, dan depan toilet sewaktu mengantri mandi. Ia mengaku menikmati masa-masa kecil tersebut, namun bukan berarti mudah untuk yakin akan menjalaninya ke depan. Lebih-lebih jika anaknya lahir.
Dulu pada 2009, ia adalah penggagas forum anaknya yayasan setara semarang. Yayasan yang saat itu fokus untuk menangani anak jalanan. Ia aktif. Ia juga sebagai koordonator anak jalanan komplek pasar johar. Setiap minggu pasti kumpul dengan anjal lainnya untuk cerita dan bersenang-senang. Para pendamping yayasan setara hadir untuk mendengar cerita mereka dan merumuskan keresahan tersebut.

Sejak sekolah dasar, ia belajar mandiri untuk sekadar memenuhi keperluannya sendiri. Memang keperluannya tidak neko-neko. Yang penting bisa makan dan uang sekolah terbayar. Ketika ia kelas 3 sd, ibunya memutuskan untuk pergi dari rumah (pasar). Baru, ketika ia smp ibunya kembali. Sejak sd hingga sma, ia mendapat beasiswa untuk sekolah. Namun, bukan berarti mendapat beasiswa menjadi hal yang menyenangkan dan cukup tinggal belajar saja. Ia mendapat beasiswa namun juga harus aktif untuk berkegiatan.
Ya, beasiswa yang ia terima tak bisa memenuhi kebutuhan untuk makan. Maka, sejak sekolah dasar tersebut ia ngamen dari bis ke bis. Dari toko ke toko. Dari gang ke gang. Dari mendapat senyuman hingga kemarahan.

Tulisan ini ditunda beberapa saat. Sebab ada rapat dengan pak pram, pemredku yang super duper semangat. Aku terharu pokoknya sama dia. Aku juga kuliah privat dengannya. Biasa, rapat redaksi sering berujung kuliah privat. Ia pasti bercerita banyak hal ketika tema sudah kelar. Seperti ini tadi, kami membicarakan tentang pemikiran tokoh Indonesia, tentang keperempuanan, tentang kartini, dewi sartika, ki hajar dewantara hingga pancasilais yang terbit di merput bulan depan. Yeiii. Katanya, “Selagi muda, menulislah. Agar kau senantiasa muda hingga di usia tuamu.”

Hal yang menjadi kegeliaannya yakni, sewaktu kelas 5 menuju kelas 6, ia mengenal orang jepang yang baik hati. Di sebuah warung makan, ia mengamen. Di sana pula ada orang jepang yang sedang makan. Orang jepang lalu mengajaknya bercerita. Ia bercerita tentang apa yang ia alami. Kemudian, orang jepang tersebut bersedia membiayai sekolahnya selama setahun. Orang jepang tersebut juga berkunjung ke sdnya, berkenalan dengan guru dan teman-temannya. Juga yang menggembirakan, ia ternyata mendapat bonus untuk makan setiap hari di warung tersebut. Dan yang membiayai orang jepang. “Wah, enak pas kuwi. Aku isoh mangan sepuasnya. Haha,” ceritanya.

Begitu hingga dia smp dan sma, ia aktif untuk mencari beasiswa. Siapa pun yang mau membantu ia bersekolah. Sebab, jika ia tidak berangkat sekolah ia akan sedih dan menangis. Padaku ia bercerita, kurang lebih ada sepuluh lebih lembaga atau perorangan yang membantu membiayai sekolahnya. Juga, ia bekerja untuk mandiri. “Aku kalau gak kerja itu gak bisa. Sudah dari kecil kerja. Tapi, saiki aku gak kerja karena hamil. Gak boleh bojo. Hehe.”

Ia juga prihatin pada anak-anak di sekitarnya, jarang sekali yang mau melanjutkan sekolah. Mereka cenderung bersenang-senang dengan dirinya. Bekerja untuk kenikmatan sesaat. Padahal dulu, ia melakukan apapun untuk sekolah. Ia memang tak muluk-muluk menginginkan banyak hal dari sekolah. Dapat bersekolah saja, cukup. Namun, aku menangkap bahwa ia adalah seorang yang cerdas. Dari bicaranya, pemilihan alasan untuk berargumen, aku melihat ia mapan dalam berpikir. Sehingga, ia pun berusaha untuk menjalani kehidupannya atas olah pikir.

Ya, sejak ia aktif di forum anak dulu, ia telah dikirim ke banyak kota untuk menjadi peserta atau fasilitator tentang anak. Maka, tak heran, pengetahuan yang ia punyai luas. Ia pernah ke Medan, Bandung, Jakarta, Jogjakarta, Surakarta, dan beberapa daerah lain. Ia kadang merasa kecewa, mengapa keponakan dan anak-anak kecil di lingkungannya jarang sekali bersekolah. Padahal saat ini sekolah gratis. Seusia Wulan, yang berhasil menamatkan sekolah hingga sma di lingkungannya hanya dia seorang. Bahkan adik kandungnya tidak tamat smp. Ia kadang secara spontas memarahi anak-anak yang tak mau sekolah. 

“Aku mumet ngrasakke bocah saiki. Aku biyen tak rewangi sampek ngono, lha cah saiki malah nyepelekke. Mbuh nang, nduk…. Haha,” tutupnya. Kami berpisah dengan saling melempar senyuman. Entah, aku kira dengan senyuman itu aku dan ia saling memberi keyakinan pada ketidakyakinan itu sendiri. Tanpa eksplanasi apapun. kami hanya saling bercerita. “Anakmu akan menjadi anak hebat, Lan,” bisikku sembari menepuk pundaknya.

Dewi Maghfi | 23 Mei 2015