Berawal dari
menulis di rubrik Teras Merput, aku terinspirasi untuk merenungkan apa yang
pernah aku tulis. Ketika itu, aku menulis dengan sepintas. Sebab, mestinya yang
nulis bukan aku. Namun, karena sudah harus dilayout, ya akhirnya aku nulis
sembari diwaktui layouter.
Tresna, aku ingin menariknya menjadi sebuah
eksplanasi. Eksplanasi tentang aku dan organisasi yang pernah menghidupiku,
BP2M. Kala masih mahasiswa aku ikut organisasi pers dari awal hingga
kelulusanku bahkan akan tetap dalam jiwaku sampai kapanpun.
Ada banyak
hal-hal yang memang tak terungkap antara aku dan bp2m. sekalipun eksplanasi
kali ini hanya nampak seperti gunung es. Barangkali hanya 10% yang tertangkap
oleh kata-kata. Aku ingin memaknainya dalam laku.
Jika ku pikir,
mengapa dulu aku ikut bp2m tidak organisasi lainnya yang barangkali justru
menjanjikan. Seperti koperasi yang akan diajarkan bagaimana cara berwirausaha
dan mendapatkan uang. Seperti mahapala, aku mungkin sudah ke luar negeri untuk
mengikuti 7summit. Atau teater, yang guyub dan keasyikannya bisa ku rasakan
setiap saat. Bagaimana mengolah rasa dan ekspresi, sebab aku orang yang susah
untuk meluapkan ekspresi?
Aku mengenal pers kampus, ketika
aku tes snmptn yang kala itu bertempat di Undip Pleburan. Aku ditampung oleh
salah satu kru Manunggal. Aku mendapat cerita darinya. Dia, adalah Mas Huda, PU
Manunggal. “ku pikir, apa di Unnes ada macam gituan?” ah, keterima saja belum
sudah mikir begituan. Juga mengobati luka kekecewaan sebab tak diterima lewat
spmu juga belum kering. Lukaku masih menganga. Segala sesuatu tak bisa diukur
dengan materil. Aku belajar itu, sangat. Dulu, ketika aku ingin kuliah aku
telah melewati hal-hal yang huru-haru. Maka, sudah ku niatkan dalam diri untuk
memulainya dengan sepenuh hati. Dan aku tidak menduga, jika langkahku mesti
menapak di bp2m. Aku tipikel orang jika sudah memulai sesuatu, mesti
dituntaskan. Benar, jika aku kuliah di bp2m. Aku ditempa di sana.
Apa yang
membuatku perlu memberi prioritas lebih banyak di bp2m daripada kuliahku di
jurusan kesehatan masyarakat?
Ini adalah jawaban sulit. Kali ini,
aku baru sadar. Jika banyak orang-orang yang menanyakan itu lagi. Dulu, jika
aku ditanya begitu, aku hanya cengengesan dan nylemong ‘suka.’ Sebab, aku memang
benar suka. Kalau sekarang, sepertinya aku perlu mencari perenungan untuk
menjawab itu. Ya, ku pikir, jawabanku sudah terjawab lewat segala hal yang
sudah ku lakukan hampir 5 tahun ini. Waktu yang lama namun juga singkat. Jadi,
perenunganku pun telah menemukan jawabannya. Bahwa, jawaban tak hanya berupa
narasi kata, namun narasi laku yang sudah ku rajut. Dan kini, tinggal
memaknainya.
Memberi prioritas lebih banyak di bp2m daripada di jurusan adalah ibarat
jodoh yang tak bisa dihindari. Betapa tidak, banyak orang mendamba untuk ahli
di bidang yang sedang ia geluti. Bahkan keinginan untuk melanjutkan studi
hingga titik tertinggi. Namun, jodohku adalah bp2m kala itu. Aku tak bisa
menghindar. Sebab, itu soal pertautan jiwa dengan semesta. Pun, aku tak lantas
tidak mendapat apapun di jurusanku. Aku dapat banyak hal. Dipertemukan dengan dosen
alot. Aku mesti selalu berurusan dengannya di setiap makul. Juga pernah
dimarah-marahi, katanya aku menyepelekan makulnya dan mementingkan organisasi. Haha.
Dipertemukan dengan guru inspiratif, Bu Rus 65 tahun, yang selalu semangat. Dipertemukan
dengan pembimbing yang begitu baiknya padaku. Dipertemukan dengan penguji yang
sangat sentimental padaku. Dan dipertemukan dengan teman sangat baik,
Tutik-Sasya. Aku semacam diopeni oleh mereka, diingatkan tentang tugas, tentang
hal-hal yang berkaitan tentang jurusan. Terima kasih.
Apa aku
tidak punya keinginan untuk memperdalam ilmu kesehatan masyarakat. Yang aku rasa
kuliahku kemarin cuma main-main?
Selalu ada keinginan untuk
memperdalam apa yang pernah kucemplungi. Pun, aku merasa diriku hambar saat
ini. Aku yakin, aku akan mempelajarinya kembali. Aku akan mulai menyukai untuk
nongkrong di rak baru di toko buku. Pada percabangan ilmu yang kuminati,
kesehatan reproduksi. Ya, aku akan memperdalam lagi. Juga, pertemuanku saat
menemui kasus ketika magang kala itu. Aku merasa tak fokus dan pikiranku
kemana-mana. Pada hal-hal begitu, aku sangat menghukum diriku. Bahwa, aku tak
dapat menyelesaikan dengan baik.
Apa aku
tak ingin membuktikan pada orang-orang yang pernah benar-benar memarahiku bahwa
aku hanyalah orang yang bisanya menjelek-jelekkan sivitas, penghianat, padahal
aku bisa begini darinya, katanya?
Ya, aku memang dapat
menyelesaikan studi ini berkat beasiswa. Pun aku mensyukurinya. Aku hampir tak
ingat lagi berapa kali aku mendapat omelan-omelan macam itu selama kuliah. Pun itu
tak lepas sebab aku membawa bp2m. Masa-masa itu, aku tak memang merasa tak
punya ketakutan tentang apapun. Justru aku ingin memperlihatkan kegagahan. Aku mungkin
nampak frontal, dan justru banyak orang beranggapan itu hal konyol. Namun,
keyakinannku kala itu adalah mencintai.
Betapa begitullah cara mencintaiku. Aku
mencintai dengan caraku. Laku cinta yang sebenarnya sulit, namun aku harus
tetap yakin akan caraku. Juga, keinginan agar adik-adikku bisa mencintai dengan
cara yang lebih dariku, sepertinya belum terwujud. Setiap orang menempuh
perjalanannya masing-masing. Akan ku buktikan dalam perjalanan selanjutnya,
bahwa aku pun punya rasa dan sanggup untuk mencintai, tentu dengan caraku
sendiri.
Apa aku
begitu berbangga diri pernah singgah di bp2m dan cintaku akan bp2m adalah
segalanya?
Pernah memang, aku merasa bangga,
pernah tumbuh di sana. Di saat-saat aku harus menyelesaikan hal berat dengan
sendiri dan ternyata mampu melewatinya, kadang membuatku bangga. Oh, aku bisa. Aku
bisa mengukur diri. Namun, tak lain, hal macam itu hanyalah sepintas saja. Bahwa
perjalanan selanjutnya menyimpan kejutan. Aku mengibaratkan perjalananku seperti
goa yang tak tahu ujungnya. Aku ingin menelusur goa itu, untuk menemu cahaya. Sebab,
goa adalah soal keheningan. Dan keheningan perlu dipecah. Bp2m telah membawaku
di ujung pintu. Mengenalkanku lapis demi lapis kenampakan goa dari luar dan
sedikit masuk di ambang ruang tamu. Aku belum menelusur ke ruang meditasi. Aku masih
di muka. Maka, cinta macam apa yang patut ku banggakan? Tak ada. Aku menjalaninya
dalam laku. Maka, aku berusaha sebiasa mungkin pada apapun. Mungkin itu yang
menyebabkanku tak bisa ekspresif. Sebab, aku menekan impuls-impuls
ekspresionis. Maka, sampai sekarang aku benar belum bisa memaknai cinta, selain
memaknai laku apa yang pernah aku lakukan di bp2m atau pada orang-orang.
Apa aku
benar-benar dihidupi bp2m?
Barangkali tidak. Bp2m hanyalah
perantara, bahwa keberadaan Gusti dimana-mana. Aku juga memendam luka, bukan
semata-mata, hidup penuh kebahagiaan. Namun, begitullah aku. Aku akan
menyembuhkan luka-luka ku sendiri lewat cerita dan senyuman. Entah, tak
terhitung, bahwa cerita dan senyuman menjadi obat ampuh bagiku. Juga, menulis
adalah melakukan terapi pada diri sendiri. Luka, kenangan, menjadi hal yang
perlu dilepaskan. Toh, aku tak pernah mengkalkulasikan itu. Jika aku merasa ‘senang’
dan semcam ruang-ruang jiwaku terisi, ku kira cukup. Dan tak perlu untuk
melebih-lebihkan luka. Namun memang mencari obat tak hanya berhenti pada fisik
yang nampak yahud saja, namun pencarian obat adalah pencarian diri.
Lalu,
apa hubunganku dengan bp2m?
Aku memaknai bahwa hubunganku
dengan bp2m seperti ‘ruang antara’. Aku dan dia, ‘ada’ melampaui ruang dan
waktu. Aku diperhubungkan melalui jiwa dunia, kalau kata Coelho di Sang
Alkemis. Aku tak pernah tahu, akan dipertemukan dengannya. Namun, aku pernah
bersamanya secara fisik 4,5 tahun. Pun, untuk ke depan aku akan benar-benar
hilang darinya. Tapi, jiwaku akan selalu bertaut dengan jiwanya. Bahwa setiap
apapun yang diciptakan Gusti selalu mempunyai jiwa. Kadang, aku merasa ada hal
di luar nalarku, dan mempertanyakannya berulang-ulang, dan semesta lah yang
menggerakkan itu semua. Jika, aku merasa letih, aku hanya perlu untuk
memejamkan mata dan menghirup napas yang panjang. Kemudian, aku mesti menapaki
lagi. Begitu, mengapa jiwaku ditautkan pada jiwa senja, sebab aku paham bahwa
senja hadir begitu cepat. Namun, untuk bisa menatapnya dengan tegak aku perlu
menguatkan diri. Padahal, telah menunggu di sepanjang hari.
Senja selalu mengingatkan akan
perjalanan yang panjang. Aku dan bp2m tak perlu menjelaskan apapun. Tentang apa
yang ku rasa dan apa yang bp2m rasa. Pun, menuntut akan luka-lukaku. Aku sudah
melepaskannya. Aku akan senantiasa merekam senyum. Tak pernah berhenti dan
lelah. Aku dan bp2m adalah sebuah proses perjalanan. Jiwaku sudah terpaut pada
jiwanya. Entah jiwanya? Aku cukup senang, bp2m akan selalu dihidupi jiwa-jiwa
manusia. Maka, hari-hari belakang aku menguatkan diri untuk tidak hadir atau
mengurangi intensitas sebab ada kerapuhan dalam diri untuk sekadar menyapa atau
menatap. Aku benar tak sanggup. Barangkali ini yang dianamakan kerinduan. Aku tak
ingin membayar rindu seperti Eka Kurniawan harus dibayar lunass. Aku memilih
untuk tak membayar rindu lewat apapun. Aku benar-benar tak ingin.
Apa hal
yang membuatku hidup, sebab kawan dan manusia-manusia lain yang terhubung
dengan bp2m?
Ini juga jawaban sulit. Ya, aku
mendapat teman dari berbagai perspektif di bp2m. Juga, tak hanya sekadar teman,
namun secara personal aku tertarik mempelajari personal-personal. Sulit bagiku
untuk mendeskripsikan kawan di bp2m. Sebenarnya, pendeskripsianku dengan bp2m
di atas, juga tak lepas dari pertautan jiwa antar kawan. Ya, kawan berproses. Itu
semua adalah pandangan subjektifku. Ada ruang-ruang penghubung yang digerakkan
semesta.
Kalau kata
temanku, bp2m bukanlah epilog. Kami masih melintas di tanda-tanda semesta. Perjalanan
ini hanyalah perjalanan untuk memaknai tresna juga mencari kedirian hingga
menuju Gusti.
Dewi Maghfi |
Merput | 20 Mei 2015