Jumat, 29 Mei 2015

Radhar adalah


Mencari definisi tak sekadar memberikan penjabaran. Definisi adalah pemaknaan teka-teki seusai adalah.

Adalah Radhar panca dahana seorang yang ku kenal lewat tulisan-tulisannya. Atau sesekali, nampang mukanya di layar kaca. Lewat tulisannya aku turut merasakan gejolak batin yang sedang dirasakannya. Kemarahan, kekecewaan terhadap sebuah kondisi yang mestinya mampu diatasi oleh mereka yang duduk di istana. Kenapa istana? Ya, bagaimana orang di luar istana bisa menjangkau luas ke tangan-tangan di luar. Lha wong untuk sekadar, menegakkan diri atau keluarganya saja kelewat sulit. Ya, sebab orang-orang istana tak berpihak pada orang-orang di luar istana. Jika orang-orang istana sudah bersumpah serapah, jadilah apa kita? Suara rakyat adalah suara tuhan, sebenarnya sudah sejak lama hanya ilusi semata.

Kecewa. Marah. nampak lah sangat wajar. Walau sebenarnya hidup, berada pada kaki sendiri tanpa mesti menggantungkan orang-orang istana, benar! Kita masih memiliki Tuhan, yang mau kita adui tentang apapun. Dan manusia berhak menagih janji-janji Tuhan. Lalu, untuk menagih janji, cukup lah dengan adu-mengadu saja? Tidak! Ada laku yang mesti diserikan dengan janji.

Tapi, orang-orang seperti Radhar adalah orang-orang yang jarang dijumpai. Walau masing-masing orang mempunyai penempuhan jalannya sendiri, namun laku seperti radhar adalah laku yang mestinya dapat ditauladani untuk penempuhan ‘jalan-jalan sendiri’ tersebut.

Lewat tulisannya aku turut merasakan gejolak batin. Berbulan-bulan, cerpennya yang berjudul jalan sunyi kota mati yang terbit di Kompas (23 Maret 2014) ku pampang di tembok kamar. Dalam pengantarnya, “KOTA adalah tempat bagi semua yang pergi. Seperti hari itu. Ashar sudah lama lewat dan halte yang kudekati dijejali orang-orang yang tak kukenali. Kutatap mereka satu-satu, seolah saudara dekat yang besok tak kutemui lagi. Tapi, mengapa semua berubah hanya dalam satu kedipan mata. Seperti tak ada yang berdiam dalam waktu. Tiap kedip seakan membuat hidup yang berbeda. Tak seperti got di sisi semua jalan, manusia di kota tak pernah berhenti. Bahkan di halte. Halte ini bernyawa. Lalu mati. Bernyawa lagi. Mati lagi…

Kota begitu aku masih terus mengejanya. Semakin aku ingin mengetahuinya, semakin pula keinginan untuk menghentikannya. Aku ingin memilih tidak tahu dan menutup telinga rapat-rapat. Namun, kota tak hanya jejalan beton-beton yang nampak ngilu dengan berbagai plang-plang iklan dimana-mana. Kota hadir merupa di segala wajah, buku yang terpajang di rak dan membekas, cerita-cerita nenek akan anak-cucunya yang merantau ke kota, ilusi desa kekota-kotaan, dan kota kepinggir-pinggiran. Kota itu ngeri. Juga ilusi desa! Desa-Kota-Desa-Kota. Namun, sungguhlah aku berterima kasih padamu, Kangmas Radhar. Setidaknya berkat, emosi yang merasuk bak setan atas tulisanmu, aku mengoyak untuk mengakhiri sebuah penyelesaian tugas akhir kala itu. Gracia!

Bercakap hanya 15 menitan denganmu, yang tentu tanganmu tak lepas dari genggaman batang yang berasap, aku semakin kagum. Ahaha. Tuturmu itu alus, Kang. Tak kira, tak ku nyana. Lha dalah. Aku bahkan mesti mengerem emosi kala berbincang di hadapanmu, beda dengan ketika mesti berhadapan dengan tulisanmu. Itulah dimensi lain darimu, Kang? Kau sengaja ingin membangunkan singa-singa di diri liyan dalam tulisanmu kah? Agar tulisanmu nampak hidup dan bertaji? Atau memang begitukah dimensi dari dirimu? Entahlah, aku senang membaca dimensi-dimensi itu. Kadang aku merasa geli sendiri terhadap pembacaanku. Aku memang sedang memprediksikan diriku menjadi peramal. Haha! (Kali ini aku benar-benar geli)

“Mengapa endorsement, di antologi puisi Manusia Istana adalah ‘orang-orang yang bermasalah’ seperti Anis Urbaningrum (kata Bandung Mawardi)? Anda orang kiri, namun dengan endorsement orang-orang tersebut aku semakin tidak paham akan sikapmu, kiri atau kanan?” kataku saat bercakap di depan tempat persembahyangan, padahal aku ya ora ngerti kiri po kanan, sing penting tanya wae. Haha.
“Aku sebenarnya bukan kiri atau kanan,” tuturnya sembari memelototiku. “Aku adalah bawah. Ibu pertiwi. Sampai mati pun bawah. Aku berjalan di atasnya. Maka, aku harus menghidupinya. Lewat yang aku bisa. Endorsment itu bahkan jauh hari sebelum Anis dipenjara. Aku yakin, ada orang-orang yang tak bersalah yang sengaja dipersalahkan. Suatu saat nanti pembuktiannya.”
“Orang-orang yang tak bersalah itu maksudnya siapa? Anis?”
“Ya, bahkan Antasari Azhar.”
“Orang-orang sekarang itu lucu. Kamu islam kan? Islam itu ilusi. Kamu memakai jilbab, kalau tak senggol gini, kamu marah gak? Orang-orang di luar itu sedang memperdebatkan ilusi, Isis dan lainnya.”
Aku tak diberi kesempatan menjawab. Ia sepertinya asyik dengan pemaknaan-pemaknaannya.
“Hidup itu perjalanan spiritualitas pada TuhanMu. Pemaknaan sisi terdalammu padaNya. Sudah ya….”
“Sebentar, berfoto dulu. Ehehehe.”


Foto memang sudah terlalu mainstream, namun denganmu Kangmas Radhar, tak apa. Hehe. Narsis sek, bocil ketemu pens.

Seperti dorongan selepas senja di hari kerja kelima setiap minggunya, aku pasti datang ke perempatan itu. Seperti rutin saja. Menemui Shelly, Sonya, Tessi, Mona, atau siapa saja. Wanita-wanita berjenis kelamin pria. Menemaniku tidak lama, 30 hingga 40 menit saja. Dekat taman atau di pinggiran kuburan cina. Karena langganan, aku selalu dapat potongan. Kadang gratisan. --Senja di luar datang. Kali ini coklat, buruk dan buram. (cerpen Senja Buram, Daging di mulutnya| Radhar Panca Dahana| Jakarta, Juli 2003)

Setelah berbincang denganmu, aku pulang dengan kegelian. Di trangkil, salah satu sudut yang aku suka. Aku tengok ke arah barat. Senja menertawanku. Dengan cepat, ku kencangkan rem agar laju pelan, pelan, hingga melepasmu tenggelam, kembali pada Tuhan yang sama. Tak ku hiraukan, klakson-klakson yang semakin kencang dari arah belakang. Aku terkadang memang bertingkah bahaya, untuk meyakini momen yang ku kira penuh makna tanpa perhitungan. Ya, aku hanya sekadar ingin mengantarmu tenggelam bersama doa. Senja di luar datang. Kali ini sumringah, tertawa, dan meledekku. Haha.  

DJ, 29 Mei 2015