Mencari definisi tak sekadar memberikan penjabaran. Definisi
adalah pemaknaan teka-teki seusai adalah.
Adalah Radhar panca dahana seorang yang ku
kenal lewat tulisan-tulisannya. Atau sesekali, nampang mukanya di layar kaca. Lewat
tulisannya aku turut merasakan gejolak batin yang sedang dirasakannya. Kemarahan,
kekecewaan terhadap sebuah kondisi yang mestinya mampu diatasi oleh mereka yang
duduk di istana. Kenapa istana? Ya, bagaimana orang di luar istana bisa
menjangkau luas ke tangan-tangan di luar. Lha wong untuk sekadar, menegakkan
diri atau keluarganya saja kelewat sulit. Ya, sebab orang-orang istana tak
berpihak pada orang-orang di luar istana. Jika orang-orang istana sudah
bersumpah serapah, jadilah apa kita? Suara rakyat adalah suara tuhan,
sebenarnya sudah sejak lama hanya ilusi semata.
Kecewa.
Marah. nampak lah sangat wajar. Walau sebenarnya hidup, berada pada kaki sendiri
tanpa mesti menggantungkan orang-orang istana, benar! Kita masih memiliki
Tuhan, yang mau kita adui tentang apapun. Dan manusia berhak menagih
janji-janji Tuhan. Lalu, untuk menagih janji, cukup lah dengan adu-mengadu
saja? Tidak! Ada laku yang mesti diserikan dengan janji.
Tapi, orang-orang seperti Radhar adalah
orang-orang yang jarang dijumpai. Walau masing-masing orang mempunyai
penempuhan jalannya sendiri, namun laku seperti radhar adalah laku yang mestinya
dapat ditauladani untuk penempuhan ‘jalan-jalan sendiri’ tersebut.
Lewat tulisannya aku turut merasakan gejolak
batin. Berbulan-bulan, cerpennya yang berjudul jalan sunyi kota mati yang
terbit di Kompas (23 Maret 2014) ku pampang di tembok kamar. Dalam
pengantarnya, “KOTA adalah
tempat bagi semua yang pergi. Seperti hari itu. Ashar sudah lama lewat dan
halte yang kudekati dijejali orang-orang yang tak kukenali. Kutatap mereka
satu-satu, seolah saudara dekat yang besok tak kutemui lagi. Tapi, mengapa
semua berubah hanya dalam satu kedipan mata. Seperti tak ada yang berdiam dalam
waktu. Tiap kedip seakan membuat hidup yang berbeda. Tak seperti got di sisi
semua jalan, manusia di kota tak pernah berhenti. Bahkan di halte. Halte ini
bernyawa. Lalu mati. Bernyawa lagi. Mati lagi…”
Kota begitu aku masih terus
mengejanya. Semakin aku ingin mengetahuinya, semakin pula keinginan untuk
menghentikannya. Aku ingin memilih tidak tahu dan menutup telinga rapat-rapat. Namun,
kota tak hanya jejalan beton-beton yang nampak ngilu dengan berbagai plang-plang
iklan dimana-mana. Kota hadir merupa di segala wajah, buku yang terpajang di
rak dan membekas, cerita-cerita nenek akan anak-cucunya yang merantau ke kota,
ilusi desa kekota-kotaan, dan kota kepinggir-pinggiran. Kota itu ngeri. Juga ilusi
desa! Desa-Kota-Desa-Kota. Namun, sungguhlah aku berterima kasih padamu,
Kangmas Radhar. Setidaknya berkat, emosi yang merasuk bak setan atas tulisanmu,
aku mengoyak untuk mengakhiri sebuah penyelesaian tugas akhir kala itu. Gracia!
Bercakap hanya 15 menitan
denganmu, yang tentu tanganmu tak lepas dari genggaman batang yang berasap, aku
semakin kagum. Ahaha. Tuturmu itu alus, Kang. Tak kira, tak ku nyana. Lha dalah.
Aku bahkan mesti mengerem emosi kala berbincang di hadapanmu, beda dengan
ketika mesti berhadapan dengan tulisanmu. Itulah dimensi lain darimu, Kang? Kau
sengaja ingin membangunkan singa-singa di diri liyan dalam tulisanmu kah? Agar
tulisanmu nampak hidup dan bertaji? Atau memang begitukah dimensi dari dirimu? Entahlah,
aku senang membaca dimensi-dimensi itu. Kadang aku merasa geli sendiri terhadap
pembacaanku. Aku memang sedang memprediksikan diriku menjadi peramal. Haha! (Kali
ini aku benar-benar geli)
“Mengapa endorsement, di
antologi puisi Manusia Istana adalah ‘orang-orang yang bermasalah’ seperti Anis
Urbaningrum (kata Bandung Mawardi)? Anda orang kiri, namun dengan endorsement orang-orang
tersebut aku semakin tidak paham akan sikapmu, kiri atau kanan?” kataku saat
bercakap di depan tempat persembahyangan, padahal aku ya ora ngerti kiri po
kanan, sing penting tanya wae. Haha.
“Aku sebenarnya bukan kiri
atau kanan,” tuturnya sembari memelototiku. “Aku adalah bawah. Ibu pertiwi. Sampai
mati pun bawah. Aku berjalan di atasnya. Maka, aku harus menghidupinya. Lewat yang
aku bisa. Endorsment itu bahkan jauh hari sebelum Anis dipenjara. Aku yakin,
ada orang-orang yang tak bersalah yang sengaja dipersalahkan. Suatu saat nanti
pembuktiannya.”
“Orang-orang yang tak bersalah
itu maksudnya siapa? Anis?”
“Ya, bahkan Antasari Azhar.”
“Orang-orang sekarang itu
lucu. Kamu islam kan? Islam itu ilusi. Kamu memakai jilbab, kalau tak senggol
gini, kamu marah gak? Orang-orang di luar itu sedang memperdebatkan ilusi, Isis
dan lainnya.”
Aku tak diberi kesempatan
menjawab. Ia sepertinya asyik dengan pemaknaan-pemaknaannya.
“Hidup itu perjalanan
spiritualitas pada TuhanMu. Pemaknaan sisi terdalammu padaNya. Sudah ya….”
“Sebentar, berfoto dulu. Ehehehe.”
Foto memang sudah terlalu mainstream,
namun denganmu Kangmas Radhar, tak apa. Hehe. Narsis sek, bocil ketemu pens.
Seperti dorongan selepas senja di hari kerja kelima setiap
minggunya, aku pasti datang ke perempatan itu. Seperti rutin saja. Menemui
Shelly, Sonya, Tessi, Mona, atau siapa saja. Wanita-wanita berjenis kelamin
pria. Menemaniku tidak lama, 30 hingga 40 menit saja. Dekat taman atau di
pinggiran kuburan cina. Karena langganan, aku selalu dapat potongan. Kadang
gratisan. --Senja di luar datang. Kali ini coklat, buruk dan buram. (cerpen Senja
Buram, Daging di mulutnya| Radhar Panca Dahana| Jakarta, Juli 2003)
Setelah
berbincang denganmu, aku pulang dengan kegelian. Di trangkil, salah satu sudut
yang aku suka. Aku tengok ke arah barat. Senja menertawanku. Dengan cepat, ku
kencangkan rem agar laju pelan, pelan, hingga melepasmu tenggelam, kembali pada
Tuhan yang sama. Tak ku hiraukan, klakson-klakson yang semakin kencang dari
arah belakang. Aku terkadang memang bertingkah bahaya, untuk meyakini momen
yang ku kira penuh makna tanpa perhitungan. Ya, aku hanya sekadar ingin
mengantarmu tenggelam bersama doa. Senja
di luar datang. Kali ini sumringah, tertawa, dan meledekku. Haha.
DJ, 29 Mei 2015