Rabu, 03 Juni 2015

Njlimet



Membaca isi pidato Soekarno terkait lahirnya pancasila di depan panitia BPUPKI, ada satu kata yang menarik bagiku. Ia mengulang berkali-kali kata ‘njlimet’. Menurutku tak ada bahasa Indonesia yang pas untuk padanan kata ‘njliimet’.

Njlimet begitu aku memaknai setiap cerita yang ku tangkap dari tiap manusia. Aku suka merekam cerita orang-orang. Sebenarnya, itu bukan berawal dari rasa suka terlebih dahulu. Bahkan, aku tahu jika aku suka baru belakangan. Begini, entah kapan berawalnya aku tak tahu pasti. Aku, setiap dimana pun dan kemana pun sering dihadapkan pada cerita-cerita manusia. Aku, menarik sedikit benang merah, mungkin berawal dari kegemaranku untuk melakukan wawancara. Hal yang paling seru dalam jurnalistik adalah melakukan reportase. Sebab, aku mesti bertemu dengan orang dan tentu aku mendapat cerita. Biasanya setelah wawancara selesai, aku tidak langsung berpamitan. Aku pasti akan membuka obrolan tentang apapun. Tentang kebiasaan narasumber yang unik, anak-anaknya, keluarganya, atau aku hanya memancing saja, nanti ia yang akan bercerita banyak hal yang belum diketahui banyak orang pula.

Biasanya, aku melakukan riset sebelumnya. Missal, ia mempunyai hobi apa? Pernah nulis buku apa? Sering mengikuti kajian apa? Ia punya anak berapa? Istri atau suami berapa? Eh, enggak ini, wacana yang sangat sensitif. Jadi jarang aku jadikan bahan obolan. Kecuali ia yang membuka obrolan. Biasanya pula aku memberi apresiatif atas aktivitas yang dilakukannya di awal. Setelah obrolan mengalir, ia merasa percaya padaku, aku akan menanyakan hal-hal serius dari aktivitasnya tersebut. Missal, ia mulai emosi aku akan memberi anekdot-anekdot kecil. Ah, tapi aku mesti kebingungan dulu, untuk memilih kata-kata yang pas. Begitullah keseruan dalam bertemu sesiapapun. Hal utama, yang mencoba ku bangun dalam diri adalah, aku tidak ingin menampakkan sebagai seorang yang berbahaya di depan narasumber. Walau pertanyaan-pertanyaanku bisa meluapkan emosi narasumber, itu soal nanti dalam perbincangan. Yang penting, kesan di awal mesti menghubungkan diri ke dalam dirinya. Sebab, keterhubungan itu penting, untuk memberi kenyamanan. Biasanya, aku akan menatap lekat matanya, menjabat erat tangannya, dan memberi senyum.

Pernah saat melakukan wawancara dengan pakar pendidikan, ia berusia sekitar 60 tahunan. Ia tinggal di salah satu perumahan di Ungaran. Wah, untuk menuju tempatnya aku bablas berkali-kali. Haha. Aku mesti ruwet kalau masalah membaca googlemap terus mempraktikannya. Bagiku, bertanya pada orang-orang adalah hal menarik daripada googlemap. Pak Taruno namanya. Di tengah-tengah perbincangan kami, ia ijin untuk mengantar istrinya sampai depan teras. Ya, istrinya kala itu mau berangkat kerja. Dan Pak Taruno setelah wawancara langsung terbang ke Jekardah. Pemandangan yang menarik. Ia menggenggam tangan istrinya, dan memberi ciuman di kening istrinya. Lalu memeluknya erat, dan ku yakin, ia juga membisikkan sebuah pesan, setidaknya “Hati-hati ya.” Begitu juga yang dilakukan istrinya.

Saat Pak Taruno duduk di sebelahku, aku bertanya, “Pak, sangat mencintai Ibu ya?” itu pertanyaan yang otomatis meluncur dari mulutku. Walau sedikit konyol. Tapi, aku perlu tahu sebenarnya apa sih maknanya sebuah aktivitas kecil tersebut.

Yeii, akhirnya bapaknya yang menjelaskan panjang lebar tentang keluarganya. Bahkan kedua anak laki-lakinya. Dari tiap perbincangan aku selalu mengusahakan untuk tidak meyakini bahwa itulah kebenaran yang hakiki. Aku meyakini bahwa kebenaran itu berlapis. Lapis demi lapis perlu dikuak agar kita menemukan sebuah makna. Namun, aku selalu belajar dari situ. Ia melakukan aktivitas berpamitan saling mengantar di depan teras setiap hari. Juga saat pulang kerja. Keduanya bekerja. Aku tidak ingin terjerumus pada, apakah hubungan macam begini ideal? Lalu, bagaimana dengan hubungan suami-istri yang LDR? Apakah kebahagiaan mesti berada di dekatnya? Bagaiman dengan suami-suami yang menjadi tentara dan istrinya berada jauh darinya? Apakah mereka bisa begini, karena secara kebutuhan sehari-hari jauh lebih cukup lha wong anaknya kuliah di luar negeri? Bagaimana dengan sebuah keluarga kecil, yang ku temui di bangjo. Ibu-bapaknya jual Koran, sementara kedua anaknya bermain lari-larian?

Aku tidak ingin menarik simpulan. Toh, semuanya mempunyai kesempatan yang sama untuk melanjutkan hidup dan berbahagia. Ya, berbahagia ku kira adalah tujuan hidup. Berbahagia bukan soal klasifikasi kelas-kelas tertentu (stratifikasi sosial). Ritme kehidupan memang seperti itu. Maka, tiap manusia pasti ingin mencari kebahagiaan. Lantas dengan cara apa? Barangkali, orang perlu paham bahwa ia adalah manusia di antara ciptaan lain di semesta ini. Ada orang-orang yang diamanahi untuk menjaga hal-hal besar. Juga orang-orang ada yang diamanahi untuk menjaga hal-hal kecil yang terdekat. Keduanya berperan dan saling melengkapi. Amanah atau khalifah adalah tugas manusia di muka bumi. Namun, kadang orang ingin menjadi orang-orang yang serupa dan seragam. Padahal, tak ada jalan kehidupan yang serupa dan seragam.
***
Kegemaranku untuk bertemu sesiapapun, berlanjut hingga kini. Pernah, aku sengaja untuk berdiam diri saja, namun justru aku sangat pusing. Atau aku yang merasa, ah capek, di rumah saja tidur seharian. Duh, bangun-bangun seperti maling yang digebuki. Pegele minta ampun. Yaelaa. Ekspketasi yang tidak sesuai harapan.


Jika bertemu siapapun, aku secara otomatis memperlakukan orang-orang tersebut sebagai narasumberku. Entah atas kebutuhan untuk menulis laporan atau tidak. Hal yang sama ku lakukan menatap matanya, mengamati gesture tubuhnya, dan barulah aku atau dia yang akan membuka obrolan. Aku cukup hidup dari cerita-cerita tiap manusia yang unik. Yang kadang, ia bercerita sisi terdalamnya (walaupun aku yakin setiap cerita tak ada yang utuh, mungkin seperti fenomena gunung es). Aku sering dihadap-hadapkan pada cerita. Maka, aku suka mendengar cerita-cerita kecil yang jujur. Mungkin memang lebih banyak tentang ‘keakuan’. Dulu banget, aku itu orang yang tak bisa berkompromi dengan ‘keakuan’. Ku kira, saat bertemu dengan orang, maunya apa, atau bahasannya apa, solusinya gimana, dan sudah selesai. Mari kita kerjakan. Namun, ternyata tidak seperti itu. Nah, kebenaran yang berlapis bukan? Kebenaranku yang dulu terpatahkan oleh kebenaran yang baru. Aku mesti memahami orang. Barangkali, ia punya sisi terdalam yang tak bisa dilepaskan begitu saja, sehingga untuk menyiasati solusi itu kami kesusahan. Nah, aku mulai digiring untuk memahami orang-orang.

Mendengar cerita, aku kemudian larut. Barangkali itu adalah rasa simpaatik. Tentang apapun. Aku sering larut ke dalamnya dan turut merasakannya. Aku serasa hadir betul pada peristiwa tersebut. Sampai pada suatu kesempatan aku bertemu dengan Mbak Maria Hartiningsih. Ia bercerita bahwa hal macam begitu, kalau dalam jurnalistik namanya traumatic secondary. Yah, aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Setiap pertanyaan yang muncul pada diri, pasti terjawab. Hanya saja, kadang aku tak memahami tanda-tanda yang digerakkan semesta. Nah, pertanyaan tentang itu, kian terjawab. Beberapa hari lalu, aku menemukan tulisan Mbak Maria yang bagiku ini adalah kebenaran baru. Aku mulai memahaminya lagi.

Itu yang kadang, aku bisa dengan mudah mendapat cerita. Orang-orang becerita tentang dirinya padaku. Mungkin sisi terdalamnya. Entah, daya apa yang ada dalam diriku sehingga mampu membuat orang bercerita. Kadang dengan meleleh dan luapan-luapan. Tapi, aku hanya menganggap bahwa, aku memang ditakdirkan untuk merekam cerita-cerita orang dan merekam senyum mereka. Sebab, hal tersulit bagiku ketika cerita telah usai dan aku tidak berani untuk memberikan semacam eksplanasi. Aku kadang hanya menimpali dengan cerita-cerita kecil saja. Atau berbagi pengalaman. Nah, hal yang bisa ku berikan hanya lah dengan melempar senyum. Sebab, aku yakin dengan senyum, walau tanpa kata-kata sekalipun, ada energi yang menghubungkan untuk sama-sama berkata, “Mari jalani semua ini.”

Maka, aku sampai sekarang tidak paham apa itu ‘cinta.’ Tentang perasaan yang datang tetiba, atau lama. Khususnya pada lawan jenisku. Hal yang terus ku pertanyakan tentang perasaanku sendiri. Kadang ada sesuatu yang datang menggebu, namun apakah itu cinta? Apa cinta itu segala-galanya tentang sesuatu yang harus dipertahankan? Apa cinta itu benar gila? Apa cinta itu menyerahkan segala rasa pada orang yang dicintai? Apa cinta itu harus dan kudu? Apa cinta yang musti dijadikan landasan atas apapun?

Aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak bisa merasakan hal macam begitu. Ku katakana bahwa cinta itu njlimet. Ia, tidak rumit atau susah. Hanya saja njlimet. Njlimet butuh waktu untuk memahami apa makna di baliknya. Njlimet butuh kehati-hatian juga keberanian. Njlimet butuh kebenaran berlapis untuk bisa memaknainya. Njlimet yang membuat laku manusia untuk menghargai sesama, sebab ‘aku ‘tak hanya konstruksi atas ‘aku’ semata. Namun, ada kultur keluarga, lingkungan, dan pencarian tentang keakuan.

Aku terus mencari kebenaran baru tentang cinta. Atau aku lebih nyaman menyebut dengan laku ‘welas asih’. Pada sesiapapun. Bahwa, tiap manusia lahir mengemban amanah dari Gustinya. Sikap welas asih adalah satu cara untuk memaknai kebahagiaan. Tentu kebahagiaan atas bergetarnya jiwa memaknai suatu hal. Yang jauh dan dekat saling menata dan menguatkan. Aku yakin, bahwa semesta mempunyai jiwa. Yang akan menghubungkan dengan jiwa tiap manusia.  

Aku hidup lewat cerita. Cerita yang membawaku pada kebenaran baru. Kebenaran tentang menempuh kehidupan yang sebenar-benarnya.
Merah Putih | 03062015