Membaca isi pidato Soekarno terkait lahirnya pancasila di
depan panitia BPUPKI, ada satu kata yang menarik bagiku. Ia mengulang
berkali-kali kata ‘njlimet’. Menurutku tak ada bahasa Indonesia yang pas untuk
padanan kata ‘njliimet’.
Njlimet begitu aku memaknai setiap cerita yang ku tangkap
dari tiap manusia. Aku suka merekam cerita orang-orang. Sebenarnya, itu bukan
berawal dari rasa suka terlebih dahulu. Bahkan, aku tahu jika aku suka baru
belakangan. Begini, entah kapan berawalnya aku tak tahu pasti. Aku, setiap
dimana pun dan kemana pun sering dihadapkan pada cerita-cerita manusia. Aku,
menarik sedikit benang merah, mungkin berawal dari kegemaranku untuk melakukan
wawancara. Hal yang paling seru dalam jurnalistik adalah melakukan reportase. Sebab,
aku mesti bertemu dengan orang dan tentu aku mendapat cerita. Biasanya setelah
wawancara selesai, aku tidak langsung berpamitan. Aku pasti akan membuka
obrolan tentang apapun. Tentang kebiasaan narasumber yang unik, anak-anaknya,
keluarganya, atau aku hanya memancing saja, nanti ia yang akan bercerita banyak
hal yang belum diketahui banyak orang pula.
Biasanya, aku melakukan riset sebelumnya. Missal, ia
mempunyai hobi apa? Pernah nulis buku apa? Sering mengikuti kajian apa? Ia punya
anak berapa? Istri atau suami berapa? Eh, enggak ini, wacana yang sangat sensitif.
Jadi jarang aku jadikan bahan obolan. Kecuali ia yang membuka obrolan. Biasanya
pula aku memberi apresiatif atas aktivitas yang dilakukannya di awal. Setelah
obrolan mengalir, ia merasa percaya padaku, aku akan menanyakan hal-hal serius
dari aktivitasnya tersebut. Missal, ia mulai emosi aku akan memberi
anekdot-anekdot kecil. Ah, tapi aku mesti kebingungan dulu, untuk memilih
kata-kata yang pas. Begitullah keseruan dalam bertemu sesiapapun. Hal utama,
yang mencoba ku bangun dalam diri adalah, aku tidak ingin menampakkan sebagai
seorang yang berbahaya di depan narasumber. Walau pertanyaan-pertanyaanku bisa
meluapkan emosi narasumber, itu soal nanti dalam perbincangan. Yang penting,
kesan di awal mesti menghubungkan diri ke dalam dirinya. Sebab, keterhubungan
itu penting, untuk memberi kenyamanan. Biasanya, aku akan menatap lekat matanya,
menjabat erat tangannya, dan memberi senyum.
Pernah saat melakukan wawancara dengan pakar pendidikan, ia berusia
sekitar 60 tahunan. Ia tinggal di salah satu perumahan di Ungaran. Wah, untuk
menuju tempatnya aku bablas berkali-kali. Haha. Aku mesti ruwet kalau masalah membaca
googlemap terus mempraktikannya. Bagiku, bertanya pada orang-orang adalah hal
menarik daripada googlemap. Pak Taruno namanya. Di tengah-tengah perbincangan
kami, ia ijin untuk mengantar istrinya sampai depan teras. Ya, istrinya kala
itu mau berangkat kerja. Dan Pak Taruno setelah wawancara langsung terbang ke Jekardah.
Pemandangan yang menarik. Ia menggenggam tangan istrinya, dan memberi ciuman di
kening istrinya. Lalu memeluknya erat, dan ku yakin, ia juga membisikkan sebuah
pesan, setidaknya “Hati-hati ya.” Begitu juga yang dilakukan istrinya.
Saat Pak Taruno duduk di sebelahku, aku bertanya, “Pak,
sangat mencintai Ibu ya?” itu pertanyaan yang otomatis meluncur dari mulutku. Walau
sedikit konyol. Tapi, aku perlu tahu sebenarnya apa sih maknanya sebuah
aktivitas kecil tersebut.
Yeii, akhirnya bapaknya yang menjelaskan panjang lebar
tentang keluarganya. Bahkan kedua anak laki-lakinya. Dari tiap perbincangan aku
selalu mengusahakan untuk tidak meyakini bahwa itulah kebenaran yang hakiki. Aku
meyakini bahwa kebenaran itu berlapis. Lapis demi lapis perlu dikuak agar kita
menemukan sebuah makna. Namun, aku selalu belajar dari situ. Ia melakukan
aktivitas berpamitan saling mengantar di depan teras setiap hari. Juga saat
pulang kerja. Keduanya bekerja. Aku tidak ingin terjerumus pada, apakah hubungan
macam begini ideal? Lalu, bagaimana dengan hubungan suami-istri yang LDR?
Apakah kebahagiaan mesti berada di dekatnya? Bagaiman dengan suami-suami yang
menjadi tentara dan istrinya berada jauh darinya? Apakah mereka bisa begini,
karena secara kebutuhan sehari-hari jauh lebih cukup lha wong anaknya kuliah di
luar negeri? Bagaimana dengan sebuah keluarga kecil, yang ku temui di bangjo. Ibu-bapaknya
jual Koran, sementara kedua anaknya bermain lari-larian?
Aku tidak ingin menarik simpulan. Toh, semuanya mempunyai
kesempatan yang sama untuk melanjutkan hidup dan berbahagia. Ya, berbahagia ku
kira adalah tujuan hidup. Berbahagia bukan soal klasifikasi kelas-kelas
tertentu (stratifikasi sosial). Ritme kehidupan memang seperti itu. Maka, tiap
manusia pasti ingin mencari kebahagiaan. Lantas dengan cara apa? Barangkali,
orang perlu paham bahwa ia adalah manusia di antara ciptaan lain di semesta
ini. Ada orang-orang yang diamanahi untuk menjaga hal-hal besar. Juga orang-orang
ada yang diamanahi untuk menjaga hal-hal kecil yang terdekat. Keduanya berperan
dan saling melengkapi. Amanah atau khalifah adalah tugas manusia di muka bumi. Namun,
kadang orang ingin menjadi orang-orang yang serupa dan seragam. Padahal, tak
ada jalan kehidupan yang serupa dan seragam.
***
Kegemaranku untuk
bertemu sesiapapun, berlanjut hingga kini. Pernah, aku sengaja untuk berdiam
diri saja, namun justru aku sangat pusing. Atau aku yang merasa, ah capek, di
rumah saja tidur seharian. Duh, bangun-bangun seperti maling yang digebuki. Pegele
minta ampun. Yaelaa. Ekspketasi yang tidak sesuai harapan.
Jika bertemu siapapun, aku secara otomatis memperlakukan orang-orang tersebut sebagai narasumberku. Entah atas kebutuhan untuk menulis laporan atau tidak. Hal yang sama ku lakukan menatap matanya, mengamati gesture tubuhnya, dan barulah aku atau dia yang akan membuka obrolan. Aku cukup hidup dari cerita-cerita tiap manusia yang unik. Yang kadang, ia bercerita sisi terdalamnya (walaupun aku yakin setiap cerita tak ada yang utuh, mungkin seperti fenomena gunung es). Aku sering dihadap-hadapkan pada cerita. Maka, aku suka mendengar cerita-cerita kecil yang jujur. Mungkin memang lebih banyak tentang ‘keakuan’. Dulu banget, aku itu orang yang tak bisa berkompromi dengan ‘keakuan’. Ku kira, saat bertemu dengan orang, maunya apa, atau bahasannya apa, solusinya gimana, dan sudah selesai. Mari kita kerjakan. Namun, ternyata tidak seperti itu. Nah, kebenaran yang berlapis bukan? Kebenaranku yang dulu terpatahkan oleh kebenaran yang baru. Aku mesti memahami orang. Barangkali, ia punya sisi terdalam yang tak bisa dilepaskan begitu saja, sehingga untuk menyiasati solusi itu kami kesusahan. Nah, aku mulai digiring untuk memahami orang-orang.
Jika bertemu siapapun, aku secara otomatis memperlakukan orang-orang tersebut sebagai narasumberku. Entah atas kebutuhan untuk menulis laporan atau tidak. Hal yang sama ku lakukan menatap matanya, mengamati gesture tubuhnya, dan barulah aku atau dia yang akan membuka obrolan. Aku cukup hidup dari cerita-cerita tiap manusia yang unik. Yang kadang, ia bercerita sisi terdalamnya (walaupun aku yakin setiap cerita tak ada yang utuh, mungkin seperti fenomena gunung es). Aku sering dihadap-hadapkan pada cerita. Maka, aku suka mendengar cerita-cerita kecil yang jujur. Mungkin memang lebih banyak tentang ‘keakuan’. Dulu banget, aku itu orang yang tak bisa berkompromi dengan ‘keakuan’. Ku kira, saat bertemu dengan orang, maunya apa, atau bahasannya apa, solusinya gimana, dan sudah selesai. Mari kita kerjakan. Namun, ternyata tidak seperti itu. Nah, kebenaran yang berlapis bukan? Kebenaranku yang dulu terpatahkan oleh kebenaran yang baru. Aku mesti memahami orang. Barangkali, ia punya sisi terdalam yang tak bisa dilepaskan begitu saja, sehingga untuk menyiasati solusi itu kami kesusahan. Nah, aku mulai digiring untuk memahami orang-orang.
Mendengar cerita, aku kemudian larut. Barangkali itu adalah
rasa simpaatik. Tentang apapun. Aku sering larut ke dalamnya dan turut
merasakannya. Aku serasa hadir betul pada peristiwa tersebut. Sampai pada suatu
kesempatan aku bertemu dengan Mbak Maria Hartiningsih. Ia bercerita bahwa hal
macam begitu, kalau dalam jurnalistik namanya traumatic secondary. Yah, aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Setiap
pertanyaan yang muncul pada diri, pasti terjawab. Hanya saja, kadang aku tak
memahami tanda-tanda yang digerakkan semesta. Nah, pertanyaan tentang itu, kian
terjawab. Beberapa hari lalu, aku menemukan tulisan Mbak Maria yang bagiku ini
adalah kebenaran baru. Aku mulai memahaminya lagi.
Itu yang kadang, aku bisa dengan mudah mendapat cerita. Orang-orang
becerita tentang dirinya padaku. Mungkin sisi terdalamnya. Entah, daya apa yang
ada dalam diriku sehingga mampu membuat orang bercerita. Kadang dengan meleleh
dan luapan-luapan. Tapi, aku hanya menganggap bahwa, aku memang ditakdirkan
untuk merekam cerita-cerita orang dan merekam senyum mereka. Sebab, hal
tersulit bagiku ketika cerita telah usai dan aku tidak berani untuk memberikan semacam
eksplanasi. Aku kadang hanya menimpali dengan cerita-cerita kecil saja. Atau berbagi
pengalaman. Nah, hal yang bisa ku berikan hanya lah dengan melempar senyum. Sebab,
aku yakin dengan senyum, walau tanpa kata-kata sekalipun, ada energi yang
menghubungkan untuk sama-sama berkata, “Mari jalani semua ini.”
Maka, aku sampai sekarang tidak paham apa itu ‘cinta.’ Tentang
perasaan yang datang tetiba, atau lama. Khususnya pada lawan jenisku. Hal yang
terus ku pertanyakan tentang perasaanku sendiri. Kadang ada sesuatu yang datang
menggebu, namun apakah itu cinta? Apa cinta itu segala-galanya tentang sesuatu
yang harus dipertahankan? Apa cinta itu benar gila? Apa cinta itu menyerahkan
segala rasa pada orang yang dicintai? Apa cinta itu harus dan kudu? Apa cinta
yang musti dijadikan landasan atas apapun?
Aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak bisa merasakan hal
macam begitu. Ku katakana bahwa cinta itu njlimet. Ia, tidak rumit atau susah. Hanya
saja njlimet. Njlimet butuh waktu untuk memahami apa makna di baliknya. Njlimet
butuh kehati-hatian juga keberanian. Njlimet butuh kebenaran berlapis untuk
bisa memaknainya. Njlimet yang membuat laku manusia untuk menghargai sesama, sebab
‘aku ‘tak hanya konstruksi atas ‘aku’ semata. Namun, ada kultur keluarga,
lingkungan, dan pencarian tentang keakuan.
Aku terus mencari kebenaran baru tentang cinta. Atau aku
lebih nyaman menyebut dengan laku ‘welas asih’. Pada sesiapapun. Bahwa, tiap
manusia lahir mengemban amanah dari Gustinya. Sikap welas asih adalah satu cara
untuk memaknai kebahagiaan. Tentu kebahagiaan atas bergetarnya jiwa memaknai
suatu hal. Yang jauh dan dekat saling menata dan menguatkan. Aku yakin, bahwa
semesta mempunyai jiwa. Yang akan menghubungkan dengan jiwa tiap manusia.
Aku hidup lewat cerita. Cerita yang membawaku pada kebenaran baru. Kebenaran tentang menempuh kehidupan yang sebenar-benarnya.
Merah Putih | 03062015