Rabu, 24 Juni 2015

Nikah

akuh, fitafit, dan win-win

Sebuah catatan untuk seorang yang lebih dari teman. Entah apa aku tidak tahu.

Hai Mbul, seharian ini pikiranku menari-nari. Aku macam mengulas peristiwa-peristiwa yang pernah kita lakukan. Aku mendapat kabar dari Fita, setelah lebaran kamu akan menikah. Ya, kita bertiga memang trio paren. Sedari sd hingga kuliah selalu bareng. Kecuali fita ketika smp masuk di smp yang beda. Namun, saat sma akhirnya bareng lagi.
Pagi tadi, aku dan fita macam merenungi masa-masa dulu. Lalu muncul banyak pertanyaan yang sebenarnya jawaban tersebut sudah kita ketahui masing-masing. “Eh, kita emang sudah dewasa ya?” “Yah, biasanya kita kemana-mana bertiga, kamu jangan ninggal aku (duluan) lagi ya?” “Kita bareng aja. Wkwkw” “Eh, padahal kita kan masih unyu-unyu ya. Masih anak-anak. Coba lihat dengan yang lainnya. Kita masih suka makan es krim bareng kalau galau. Kita juga gini-gini aja dari dulu. Dari penampilan, bertiga trio klowor. Dandan, juga gak bisa. Kecuali win, dia mulai belajar sebab jurusannya tata busana. Gitu aja, dia gak pernah dandan berlebihan. Kita bertiga sepakat menjunjung tinggi simple is elegant. Hahaha.” “Hah, Uwinnn…….”

Mbul, hal yang ku ingat darimu pokoknya aku baru tahu kalau pisang raja digoreng tanpa tepung di wajan yang minyaknya sedikit atau lebih enak lagi pake margarin itu rasanya mak nyoooss. Lebih-lebih ditumpahi susu coklat. Beuhhh. Dulu, kita sering masak dan rujakan bareng. Aku yang suka tanaman, minta bunga di rumahmu lalu ku tanam di rumah. Belakangan juga, ngegalau kita sering ditumpahkan di laut. Pas kita ke teluk awur, aku merasa asyik sendiri. Aku mencari kerang dari ujung ke ujung. Melakukan obrolan dengan kakek-kakek yang sedang memunguti sampah yang seabrek. Kau menungguiku ketika aku merasa kesal dan mengumpat-ngumpat di laut, sebab sampahnya begitu banyak. Airnya kotor sekali. Aku yang mencangking kresek gedhe, lalu berjalan menyusur bibir pantai untuk mengumpulkan kerang-kerang dan semacamnya yang menurutku unik. Dan kamu mengikutiku atau sesekali memarahiku. “Kamu itu gila. Jam 12 siang ini. Ke sini hanya untuk jadi pemulung sampah aja,” katanya. Aku hanya cengengesan dan menggodanya atau menyilakan di ke tepi saja kalau merasa enek sama aku. Ah, setelah itu aku merasa bersalah. Aku lupa kalau aku membawa teman. Biasanya kalau seperti itu, aku melakukan perjalanan sendiri. Dan bisa seperti orang ilang. Duh, maaf Mbul.

kami dan teman sma
Aku baru saja senang, kalau kamu dan fita sudah berani mengendarai motor di jalan raya. Dulu, kalau kita mau ke mana-mana mesti ngangkot. Karena kita bertiga, dan yang berani mengendarai motor cuma aku. Masak cenglu. Sementara kamu itu gembul. Atau aku akan mengajak bergantian atau mencari tebengan orang. Ah, baru saja kita menikmati pergi bertiga dengan kondisi yang lebih nyaman dari sebelumnya. Aku yang dulu paling rempong dan menjadi kompor, agar kalian memberanikan diri untuk mengendarai motor di jalan raya. Modal nekat aja pokoke. Kek aku. Sudah pernah kan, kalian tak boncengin dan tak toyor-toyorin atau kita yang ditoyor. Atau jangan-jangan kamu itu trauma tidak berani naik motor, gegara sering ketoyor kalau sama aku. Duh dek…… Ah,

Kamu itu lebih dari narasi yang ku paparkan, Mbul. Juga Fita. Betapa kita bertiga selalu bisa memposisikan untuk bersikap macam apa saat diantara kita ada problem. Eh, sepertinya aku baru sadar jika aku yang tak banyak cerita ya. Aku yang lebih sering menahan. Ah memang….

Ingat tidak, hari-hari menjelang aku dan kamu mau wisuda. Sungguh sangat santai sekali. Aku malah haha-hihi menikmati suasana bebas. Kita dandan sendiri, tepatnya kamu yang ngedandani aku. Dan aku sangat suka. Sebab kita pengagum minimalis. Aku yang jauh-jauh hari gusar, macam mana aku nanti didandani. Aku malu. Aku tidak ingin bertemu orang-orang pokoke. Selesai prosesi menjemukan itu aku ingin langsung cabut, tapi apa boleh buat. Kamu yang meyakinkanku, tenang bisa diatur. Kamu juga, yang menjahitkan jarikku. Dan merapikan kebayaku. Kamu telah mewujudkan impianku, Mbul. Pakaian yang ku kenakan itu semua milik mbah putriku. Yang entah, tetiba hari-hari gersang saat menyusun skripsi dia hadir di mimpiku. Mengenakan kebaya putih dan jarik coklat dengan motif kuno dan melempar senyum padaku. Ya kedua mbah putriku itu telah tiada selama aku menempuh kuliah di semarang. Ia yang sering bertanya, “Kamu itu sekolah opo to nduk-nduk rak rampung-rampung. Rak tau bali. Tapi kog tambah lemu. Wes kerjo?” ah, itu pertanyaan yang menyanyat hingga saat ini. Mbah… jembar kuburmu ya.
***

aku, sebab hasil karyamu. terimakasih.
Sebulan yang lalu, saat diri dalam kondisi yang tak stabil selalu aku habiskan ke toko buku. Hampir saban hari ke toko buku. Walau tak beli. Aku hanya ingin menciumi bau khas buku dan nglesot di bawah rak hingga menunggu diusir satpam. Dan entah kali itu, ingin sekali membaca intisari health. Lha dalah, temane tentang pernikahan dan memaknainya. Dan aku pengen sekali beli. Isinya renyah dan berisi pokoke. Ada yang bikin ketawa sendiri ada juga yang bikin ngilu. Ah, buku ini akan sampai di tanganmu, Mbul. Kamu yang lebih memerlukan segera. Setiap buku yang ku beli pasti punya cerita. Juga setiap buku yang kuberikan pada teman-teman juga punya cerita. Biasanya kalau aku akan memberikan buku, juga akan ada surat yang menyelip di dalamnya. Namun, beberapa juga tidak ada. Sebab, ku rasa sepertinya aku tak perlu berkata apapun. Dan Why, aku selalu tergerak untuk memberi seorang itu berupa buku? Itu macam, begitu saja. Sebenarnya, aku ingin meminjam lidah orang saja sih untuk mengatakan suatu hal. Aku tak ingin mulutku terlalu berbusa-busa. Barangkali, apa yang keluar dari mulutku juga tak berarti dan gedebus. Nah, lewat buku orang yang sebenarnya juga sudah aku maknai isinya, aku ingin menyampaikan. Ada jiwa yang terhubung dalam tulisan-tulisan tersebut.

Nikah. Aku berusaha untuk memaknainya dalam faseku. Maka, sering aku tidak untuk menjatuhkan diri dalam riuhnya perbincangan babagan tersebut. Saat di kerumunan, dan babagan itu menjadi topik perbincangan (catatan : curhat personal) aku akan menjadi juru dengar dan melempar senyum saja. Padahal kan kalau perempuan bahas itu pasti seru dan asyik ya? Heboh pokoknya? Pokoknya juga, senyum aja. Pertama, aku ingin mengakrabi faseku. Jadi, aku berusaha untuk tidak masuk dalam keriuhan. Apalagi sekarang, sedang gencar gerakan dengan tageline #Ayonikah. Eh, Kedua, kadang curhatan nikah akan meninggikan diri pada bayangan-bayangan simbolis yang wah. Dan sebab aku mengimani hal yang simplis, aku berusaha mlipir untuk memaknai yang sebenarnya dalam diri. Seperti, saat hadir di pesta pernikahan aku selalu senang. Senang itu kutunjukkan dengan menghadiri atau menitip salam jika ada kepentingan dan tak bisa hadir. Saat hadir, aku selalu mengamati wajah mempelai dan  orang-orang yang datang. Sumringah dan nampak bahagia. Nyess rasanya. Di saat itu pula, aku akan mengambil sudut yang nyaman bagiku dan sejenak nyawang sesiapapun yang hadir. Diam dan memberi senyum pada pemandangan. 

Ketiga, diam-diam aku berdoa. Begini, Gusti bahwa perjalanan memang membutuhkan partner hidup, hadirkan kami dalam wujud kita. Pertemukanlah kami dalam fase kami, seakrab-akrabnya kami memahami fase diri. Limpahilah kewelasasihan-Mu dalam tumbuhnya kami memahami diri dan diantara untuk menuju-Mu.

aku dan gembul di pantai kartini. Ke pantai yang
salah kostum karena dikerjani. Duh, akhire
berguna to dadi model-(madul). Ha
Beda, ketika aku mesti mengurai tentang pernikahan yang ada di Indonesia. Maksudnya dari sisi kesehatan, perkembangan psikis, batasan umur. Aku akan berbicara lantang soal itu. Betapa gobloknya MK, ketika menolak batasan usia menikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun bagi perempuan. Juga pada laki-laki. Bayangkan, kategori anak adalah mereka yang usianya di bawah 18 tahun. Usia 16 tahun adalah usia anak yang mestinya masih mempunyai hak perlindungan. Bagaimana mungkin, ia bisa mengurus manusia lain untuk dilindungi haknya, sementara haknya terampas. Ditambah pula, negara ini baru melegalkan warganya yakni berupa kartu identitas penduduk di usia 17 tahun. Kalau alasannya hanya karena agama, agama macam apa yang berpikir cupet dan tak membuka ruang diskursus dengan pikiran yang jernih? Barangkali, ada orang yang berpikir bahwa manusia gur menerima ayat dan patuh. Mengkajinya bahkan mempunyai pikiran lain hukumnya haram. Haram, Mbahmu! Lebih haram mana, menelantarkan jutaan manusia setiap tahunnya menuju kegelapan berumah tangga. Lha wong rumah tangga mesti dilandasi agama. Kalau orang yang beragama berpikir macam itu, sungguh nista ia menaruh agamanya sebagai kambinghitam. Hanya gegara takut dosa mengkaji kekinian yang disandingkan dengan ayat Gusti.   

Aku pernah tinggal selama satu minggu di Bogor. Tepatnya di daerah Megamendung. Di sana ada yang namanya kampung Arab. Dan betapa pernikahan hanya dijadikan komoditas dan pemenuh nafsu belaka. Setelah itu, anak-anak lah yang menjadi korban orang-orang dewasa. Anak-anak lucu, berperawakan tinggi gagah, hidung mancung, dan mata khas arab menjadi korban. Orang dewasa memang sering mempunyai laku biadab pada anak-anak. Betapa generasi ini akan semakin sakit, jika hal macam itu diteruskan. Juga, di daerah tempat yang aku tinggali saat Magang. Tepatnya di Desa Cening Kendal. Anak-anak yang lulus sd banyak yang menikah. Dan imbasnya, angka kematian ibu dan bayi tinggi, juga janda-janda muda. Parahnya lagi, HIV/AIDS menjadi penyakit yang akrab. Duh, rasanya tercabik-cabik!

Aku sangat paham dan sepakat, jika bangunan yang besar dimulai dari pondasi yang kecil. Ya, dimulai dari bangunan terkecil keluarga, anak-anak akan tumbuh mendewasa dan membangun imaji mereka. Membangun rumah tangga menjadi jalannya.

DM | 24012015 23:53