Aku itu perempuan. Aku, kamu, dan mereka adalah perempuan.
Aku hidup dari rahim perempuan. Pernah aku menemu perempuan dengan mata sayu
namun juga dengan semangat menggebu mengobrol soal rahim. Juga pernah bertemu
dengan nenek-nenek renta yang sedang berupaya segala upaya untuk menghilangkan
betapa daging bisa tumbuh dimana-mana. Atau perempuan yang lalu dengan kepayang
ia hampir putus asa merengkuh lelaki kecilnya. Atau perempuan yang nampak garis
tegas di wajahnya sebab ia sudah berubah menjadi harimau yang siap menerkam.
Dan perempuan yang setiap kerdip matanya senantiasa penuh rapalan doa-doa juga
wajah yang usang sebab ia lupa untuk sekadar mengaca atau melumuri kerut-kerut
di wajahnya itu dengan dempul. Mungkin, suatu saat nanti jika ia menatap kaca,
ia akan kaget bahwa ia telah menjelma menjadi nenek lampir yang mempunyai hati
laksana Siti Hajar. Atau justru ia tak akan pernah kaget, sebab baginya cermin
adalah penjagalan-penjagalan akan kejujuran. Ah. Atau. Dan.
Aku itu perempuan. Aku bisa ngilu sengilu dahsyatnya. Tertikam.
Lalu nadi-nadi yang terhunus satu per satu. Perkara perempuan. Entah, sebab aku
perempuan atau atas perjalanan perempuan. Mungkin juga terkesan berlebihan. Aku
punya ruang antara yang memiliki keterhubungan khusus pada sesiapapun
perempuan. Seperti pagi tadi, sesaat aku mengantar ibu ke pasar, aku bertatap
sekilas pada perempuan kuru yang omongannya tak berima. Juga mesti mendekatkan
telinga ke bibirnya untuk memahami ucapannya. Ah. Sejenak aku terdiam, menutup
mata, lalu, mengirim mata dan tangan lewat ruang antara khusus. Aku kamu tak
perlu untuk bercakap. Sebab, jalan ruang antara adalah jalan kesunyian dimana
tak satu pun huruf mengudar. Bahkan aku kamu tak saling paham, tapi aku kamu merasa
dan perlu menjaga. Juga aku kamu bukannya dalam titik yang satu, namun aku kamu
berada pada garis lurus. Aku di ujung begitu kamu. Aku kamu barangkali tak akan
pernah bisa bersapa (lagi). Inilah pilihan jalan dari beribu jalan yang bisa
dilalui.
Aku itu perempuan. Dimana aku masih suka menjadi bocah ilang
dimana-mana. Tentu, di jalan ruang antara yang ku bangun. Aku paham, memang tak
mudah untuk membangun ruang yang begitu abstrak gung liwang liwung. Ini adalah penempuhan dari setiap penempuhan
yang ada. Namun, keyakinanku bahwa ruang ini tak akan ku huni sendiri. Aku mau
untuk merasakan ngilu lebih dalam lagi, untuk menempuh jalan-jalan
keterhubungan dengan banyak dan banyak diri lain. Sehingga, dinding-dinding di
ruang antara itu akan tertempel gambar, corat-coret, lalu masuk di lorong
instalasi. Namun, barangkali justru tak satu pun dan tak ada stog. Entah. Namun,
aku yakin.
Aku itu perempuan. Yang otaknya penuh dengan semut-semut. Mulutnya
penuh dengan bisa. Hatinya yang rentan akan kengiluan-kengiluan. Mata yang
teduh namun justru menikam. Senyum obralan untuk sesiapapun namun sedikit dan
langka bagi diri.
Aku itu perempuan. Remas-remaslah palung jiwa terdalamku. Betotlah
jantungku untuk pemenuhan tenagamu. Sebab, di jantunglah pembuluh darah ada. Ambillah
hatiku dan lalu cacah-cacahlah untuk sarapanmu. Darah segar yang mengucur itu
jadikanlah sebagai susu kesegaran dunia yang tiada tara. Lalu, kau masih bisa menyayat-nyayat
empeduku untuk obat perkasamu. Juga pankreas yang kecil dan tersembunyi itu
masaklah bersama mie godok. Namun, satu. Satu hal. Lebih baikkah kau lakukan
itu, hanya pada itu perempuan. Satu. Aku. Dan pada perempuan-perempuan lain,
jagalah serta pandangan dan batinnya.
Perempuan itu. Ia bak ulat sutra. Ia menggerogoti dedaunan
untuk merangkai hifa-hifa tipis. Ia taut-menautkan yang kadang mesti berbalik
arah dulu untuk menyambung dengan rapih. Ia tertindih. Kruget-krugetnya untuk
mengolah benang tipis. Tipis. Namun, setelah menjadi selembar kain, yang ada
hanya tawar-menawar harga. Pantas dan tidak pantas. Cocok dan tidak cocok. Cacat
dan tidak cacat.
Bisakah dan bisakah? Perempuan itu dirumuskan selayaknya
sesiapun yang pernah melahirkan kita dari rahimnya. Yang menjaga dan memberi
tempat kenyamanan terdahsyat. Bukan dengan rapalan-rapalan atau kemewahan. Hanya,
untuk menjaga matanya.
Aku itu perempuan. Jauh-jauhi itu perempuan. Sebab, dia itu
siluman. Ia hadir dari ilustrasi dongeng rahasia gudang tua. Di saat ia merasa
jenuh menjadi hanya sekadar gambar, ia berdoa pada Tuhan untuk benar dijadikan
manusia dan lalu keluar dari buku dongeng tersebut. Satu-satunya dongeng yang
menjaganya hingga kini. Ia pernah gusar, sebab kebingungan mencarinya dari
tumpukan buku yang usang. Ia benar berpikir tak akan pernah bisa kembali. Namun,
kini buku itu kembali walau dengan rupa compang-camping. Syukur. Suatu saat, ia akan kembali ke dalam
gambar tersebut. Sebab, dunia manusia akan beralur sama seperti dongeng.
Aku itu perempuan. Beranikah, kamu menjadi Sam untuk menyeimbangkan
dongeng ini? Sam hilang. Dan aku butuh Sam untuk ku ajak kembali dalam gambar. Aku
kamu yang hidup lewat dongeng dan kembali pada dongeng.
"Lebih baikkah kau lakukan itu,
hanya pada itu perempuan. Satu. Aku.
Dan pada perempuan-perempuan lain,
jagalah serta pandangan dan batinnya."
Puisi-Esai, DM | 01072015