“Adek, kamu ingin jadi apa?”
“Ingin jadi dokter, polisi, guru…”
“Adek, menjadi orang jujur, bertanggungjawab, membantu orang
lain jauh lebih mulia dari menjadi dokter dan apalah itu.”
“Lho, kog bisa gitu? Di sekolah tidak pernah diajarkan
profesi jujur, tanggungjawab, Yah?”
“Iya, adek tidak musti belajar dari sekolah. Belajar bisa
darimana saja.”
Percakapan
kecil tersebut terjadi di sebuah teras rumah. Seorang ayah dengan menggunakan kaos
oblong putih dan celana pendek sedang bercerita pada putri kecilnya. Lavida
namanya. Ia sangat senang jika musti duduk di perut ayahnya yang sedang tiduran
santai di lincak. Ayahnya tak pernah
punya waktu banyak, namun ia selalu membuat pertemuan berkualitas.
Mengenang
sosok yang tak pernah bertatap muka memang susah. Apalagi untuk sekadar
berkelakar.aku dan Ayah Lavida. Hari berganti hari, aku hanya mengenalnya dari
cerita. Juga rekaman-rekaman ‘benda’ yang masih tersisa. Tidak, aku mengenalmu
jauh melebihi itu. Aku mengenal lewat putri kecilmu.
Putri
kecilmu, Lavida, barangkali akan tumbuh menjadi putri kecil layaknya cerita
yang pernah kau bangun padanya. Ia riang, suka bergoyang-goyang, ceriwis, juga
kadang meminta sesuatu yang tak terbayangkan. Misalnya, “Aku itu, suka sama
Madun. Apa aku bisa bertemu Madun? Tapi, Madun sudah punya pacar, aku hanya
ingin sekadar bertemu saja,” rengekan putri berusia 4 tahun. Madun adalah salah
satu tokoh sinetron di televisi. Sejak, Ayahnya meninggal, Lavida memang tak
bisa lagi menonton acara anak di televisi langganan. Ibuknya menyetop langganan
tersebut, persis setelah seminggu sepeninggal suaminya.
Otomatis,
Lavida mulai beralih menonton tayangan di televisi umum yang banyak tak
berpihak pada anak. Tayangan di televisi, lebih banyak mempropaganda
orang-orang dewasa. Sementara anak-anak dan orang dewasa terus membikin jarak.
Ngeri!
Dalam
sehari saja, anak-anak lebih banyak menonton televisi daripada bermain dengan
teman sebaya. Berdendang ria, main pasir-pasiran, kecibak-kecibuk air,
lari-larian mengejar layangan, dll. Anak kadang mendapat perlakuan kasar dari
orang dewasa hanya soal bermain. “Awas, pasir itu kotor. Awas, kalau sampai
bajumu basah, gak boleh ganti lagi. Awas, kalau kakinya berdarah, tidak boleh nangis.
Awas. Awas. Dan awas.
Orang-orang
dewasa, katakanlah orang tua, saudara dewasa, dan tetangga. Mereka ke semuanya
bermula dari anak. Tapi, tidak semua ingat bahwa mereka pernah menginjak fase
anak. Mereka sering menuntut ini dan itu. Sebab, orang-orang dewasa tak pernah
mau belajar untuk mengindentifikasi kesakitan masa kecilnya. Orang dewasa,
hanya paham bahwa fase manusia, lahir-menjadi anak-remaja yang boleh melakukan
apa saja- dewasa beranak pinak- menjadi tua- menikmati asset dari anaknya- meninggal.
Orang dewasa lupa bahwa setiap manusia memendam kesakitan yang perlu sebuah
penyembuhan. Sehingga, banyak anak yang menjadi dewasa sedari anak. Padahal
batas anak menuju dewasa adalah pilihan mandiri yang mestinya mereka diajarkan
untuk bertanggungjawab, bukan dituntut.
Orang-orang dewasa, barangkali
membayangkan anak adalah asset. Kemungkinan-kemungkinan akan masa depan yang
masih misteri atau justru prediksi kesakitan, yang lalu dibebankan pada anak.
Orang dewasa, sering mendongengkan dengan permulaan ‘kelak jika adek sudah
dewasa, kelak jika adek sudah dewasa……” Orang tua lupa bertanya, “apa yang adek
rasakan hari ini?” bagi orang dewasa pertanyaan macam itu tidak penting. Sebab,
orang dewasa hanya punya target menyulap apapun menjadi mutiara. Sementara yang
ada dipikiran anak-anak hanyalah mencari apapun yang bisa dibuat mainan lalu
memporak-porakdakan.
Anak dikonstruksi serupa mungkin
oleh orang dewasa untuk menjadi bangga. Padahal, orang dewasa tak pernah mau
belajar memaknai sebuah kebanggan. Jika begini, anak dan orang dewasa akan
selalu berjarak. Mereka memandang ada dua dunia di dunia ini. Dunia anak dan
dunia dewasa. Anak hanya sekadar kepo untuk mengetahui dunia dewasa, namu tak
pernah sedikit pun ia paham. Sementara, orang dewasa sibuk menyulap mutiara.
Anak membangun ruang imaji dengan dirinya sendiri lewat televisi, membayangkan
sosok di layar kaca sebagai idola, berkawan dengan gadget dan game.
Sementara, orang dewasa membangun jejaring sesama orang dewasa untuk
berkompilasi menemu cara jitu mengumpulkan mutiara.
Maka, tak heran begitu banyak anak
yang bersenandung di jalanan yang kadang juga merengek. Merangsek dalam polusi
jalanan. Juga mereka yang menjadi korban kekerasan fisik orang dewasa. Juga
mereka yang mendapat kekerasan seksual dari orang dewasa. Dunia anak. Dunia
dewasa. Pisah. Berjarak. Kosong. Jiwa anak. Jiwa dewasa. Sendiri. Sendiri. Aku.
Kamu. Kejam! Sebab bermula, orang dewasa sedikit mau memahami anak.