Minggu, 12 Juli 2015

Dua Dunia


“Adek, kamu ingin jadi apa?”
“Ingin jadi dokter, polisi, guru…”
“Adek, menjadi orang jujur, bertanggungjawab, membantu orang lain jauh lebih mulia dari menjadi dokter dan apalah itu.”
“Lho, kog bisa gitu? Di sekolah tidak pernah diajarkan profesi jujur, tanggungjawab, Yah?”
“Iya, adek tidak musti belajar dari sekolah. Belajar bisa darimana saja.”
               
Percakapan kecil tersebut terjadi di sebuah teras rumah. Seorang ayah dengan menggunakan kaos oblong putih dan celana pendek sedang bercerita pada putri kecilnya. Lavida namanya. Ia sangat senang jika musti duduk di perut ayahnya yang sedang tiduran santai di lincak. Ayahnya tak pernah punya waktu banyak, namun ia selalu membuat pertemuan berkualitas.
                
Mengenang sosok yang tak pernah bertatap muka memang susah. Apalagi untuk sekadar berkelakar.aku dan Ayah Lavida. Hari berganti hari, aku hanya mengenalnya dari cerita. Juga rekaman-rekaman ‘benda’ yang masih tersisa. Tidak, aku mengenalmu jauh melebihi itu. Aku mengenal lewat putri kecilmu.
                
Putri kecilmu, Lavida, barangkali akan tumbuh menjadi putri kecil layaknya cerita yang pernah kau bangun padanya. Ia riang, suka bergoyang-goyang, ceriwis, juga kadang meminta sesuatu yang tak terbayangkan. Misalnya, “Aku itu, suka sama Madun. Apa aku bisa bertemu Madun? Tapi, Madun sudah punya pacar, aku hanya ingin sekadar bertemu saja,” rengekan putri berusia 4 tahun. Madun adalah salah satu tokoh sinetron di televisi. Sejak, Ayahnya meninggal, Lavida memang tak bisa lagi menonton acara anak di televisi langganan. Ibuknya menyetop langganan tersebut, persis setelah seminggu sepeninggal suaminya.
                
Otomatis, Lavida mulai beralih menonton tayangan di televisi umum yang banyak tak berpihak pada anak. Tayangan di televisi, lebih banyak mempropaganda orang-orang dewasa. Sementara anak-anak dan orang dewasa terus membikin jarak. Ngeri!
                
Dalam sehari saja, anak-anak lebih banyak menonton televisi daripada bermain dengan teman sebaya. Berdendang ria, main pasir-pasiran, kecibak-kecibuk air, lari-larian mengejar layangan, dll. Anak kadang mendapat perlakuan kasar dari orang dewasa hanya soal bermain. “Awas, pasir itu kotor. Awas, kalau sampai bajumu basah, gak boleh ganti lagi. Awas, kalau kakinya berdarah, tidak boleh nangis. Awas. Awas. Dan awas.  
                
Orang-orang dewasa, katakanlah orang tua, saudara dewasa, dan tetangga. Mereka ke semuanya bermula dari anak. Tapi, tidak semua ingat bahwa mereka pernah menginjak fase anak. Mereka sering menuntut ini dan itu. Sebab, orang-orang dewasa tak pernah mau belajar untuk mengindentifikasi kesakitan masa kecilnya. Orang dewasa, hanya paham bahwa fase manusia, lahir-menjadi anak-remaja yang boleh melakukan apa saja- dewasa beranak pinak- menjadi tua- menikmati asset dari anaknya- meninggal. Orang dewasa lupa bahwa setiap manusia memendam kesakitan yang perlu sebuah penyembuhan. Sehingga, banyak anak yang menjadi dewasa sedari anak. Padahal batas anak menuju dewasa adalah pilihan mandiri yang mestinya mereka diajarkan untuk bertanggungjawab, bukan dituntut.

Orang-orang dewasa, barangkali membayangkan anak adalah asset. Kemungkinan-kemungkinan akan masa depan yang masih misteri atau justru prediksi kesakitan, yang lalu dibebankan pada anak. Orang dewasa, sering mendongengkan dengan permulaan ‘kelak jika adek sudah dewasa, kelak jika adek sudah dewasa……” Orang tua lupa bertanya, “apa yang adek rasakan hari ini?” bagi orang dewasa pertanyaan macam itu tidak penting. Sebab, orang dewasa hanya punya target menyulap apapun menjadi mutiara. Sementara yang ada dipikiran anak-anak hanyalah mencari apapun yang bisa dibuat mainan lalu memporak-porakdakan.

Anak dikonstruksi serupa mungkin oleh orang dewasa untuk menjadi bangga. Padahal, orang dewasa tak pernah mau belajar memaknai sebuah kebanggan. Jika begini, anak dan orang dewasa akan selalu berjarak. Mereka memandang ada dua dunia di dunia ini. Dunia anak dan dunia dewasa. Anak hanya sekadar kepo untuk mengetahui dunia dewasa, namu tak pernah sedikit pun ia paham. Sementara, orang dewasa sibuk menyulap mutiara. Anak membangun ruang imaji dengan dirinya sendiri lewat televisi, membayangkan sosok di layar kaca sebagai idola, berkawan dengan gadget dan game. Sementara, orang dewasa membangun jejaring sesama orang dewasa untuk berkompilasi menemu cara jitu mengumpulkan mutiara.

Maka, tak heran begitu banyak anak yang bersenandung di jalanan yang kadang juga merengek. Merangsek dalam polusi jalanan. Juga mereka yang menjadi korban kekerasan fisik orang dewasa. Juga mereka yang mendapat kekerasan seksual dari orang dewasa. Dunia anak. Dunia dewasa. Pisah. Berjarak. Kosong. Jiwa anak. Jiwa dewasa. Sendiri. Sendiri. Aku. Kamu. Kejam! Sebab bermula, orang dewasa sedikit mau memahami anak.