Mengenal rampungan juga mengenal lebaran. Hal-hal yang
selesai, usai, rampung, tuntas. Sebentar lagi, kami akan menjalankan ritus
rampungan. Di kampung saya, orang-orang akan berkeliling rukun tetangga untuk
mengudar kata maaf dan melayangkan jejemari. Namun, aku tak melihat kesungguhan
tersebut. Aku melihat, itu macam ritus tanpa pemaknaan.
Entah kenapa, aku melihat manusia sedang melumuri tubuhnya
dengan wewangian dan pakaian baru. Namun, tidak dalam hal pembaruan kalbunya. Ah,
walau tidak semua. Pandanganku cukup hanya menangkap hal yang sempit dan cupet.
Untuk menangkap hal yang lebar, aku masih merapi-rapikan kembali.
Ih. Ngeri dan merinding. Menghela napas. Memejamkan mata. Benarkah
sebentar lagi rampungan? Mestinya rampungan itu menjadi satu langkah manusia
bebenah dan menyelesaikan hal-hal yang belum terselesaikan. Namun, kiranya
orang terhanyut hilir-mudik di jalanan. Jejalanan diperbaiki, namun apa diri
siap memaknai? Kue-kue siap dihidangkan di meja, namun kalbu mana yang mau
mengeja? Petasan dar-dor-dar-dor, namun hati mana yang rela mengatakan tas-tun-tas-tun?
Ngeri!
Lebaran tak lebih bagiku, aku bisa mencium pipi beberapa
ponakanku. Itu pun, jika ia turut ada dalam lelebaran kali mendatang. Jika
tidak aku akan menciumi diri. Juga, mengantar mereka beli permen yuppi. Ah, arul-hafiz-dias-dela-keke-ciput-ipung-andri.
Nama-nama, anak kampung baru.
Lebaran. Kau memang di pelupuk mata. Begitu, kau nampak sejauh
jarak yang tak bisa ku kenali. Lelebih, sudah tiadanya perempuan penuh kasih di
antara pertautan jiwa ini. Aku membayangkan akan semakin ngeri. Begitu,
pikiranku selalu menari atas kengerian-kengerian yang tiada henti. Kengerian yang
berawal dari pemaknaan bocah. Ya, ia hanyalah bocah yang sering ilang.
Lagu ini, menusuk-nusuk jiwa. Aku terseret dalam lamunan
yang ku paksa untuk mengintip dari celah kecil. Celah di antara anyaman gedhek.
Aku merekam, manusia-manusia di luar sedang memainkan lakon. Berbagai perkakas
dipersiapkan. Persawahan menjadi latarnya. Anak-anak turut keluar untuk
meriuhkan. Aku, tetap memilih mengintip dari celah gedhek. Sesekali, sinar
matahari menyorot badanku. Hangat. Aku sedikit
lega.
Kiranya, memaknai sembari tergopoh-gopoh sedikit
melegakan.
Dari, masuk dalam
keriuhan yang tiada tahu apa.
DM | 13072015