Senin, 13 Juli 2015

Rampungan

Mengenal rampungan juga mengenal lebaran. Hal-hal yang selesai, usai, rampung, tuntas. Sebentar lagi, kami akan menjalankan ritus rampungan. Di kampung saya, orang-orang akan berkeliling rukun tetangga untuk mengudar kata maaf dan melayangkan jejemari. Namun, aku tak melihat kesungguhan tersebut. Aku melihat, itu macam ritus tanpa pemaknaan. 

Entah kenapa, aku melihat manusia sedang melumuri tubuhnya dengan wewangian dan pakaian baru. Namun, tidak dalam hal pembaruan kalbunya. Ah, walau tidak semua. Pandanganku cukup hanya menangkap hal yang sempit dan cupet. Untuk menangkap hal yang lebar, aku masih merapi-rapikan kembali.

Ih. Ngeri dan merinding. Menghela napas. Memejamkan mata. Benarkah sebentar lagi rampungan? Mestinya rampungan itu menjadi satu langkah manusia bebenah dan menyelesaikan hal-hal yang belum terselesaikan. Namun, kiranya orang terhanyut hilir-mudik di jalanan. Jejalanan diperbaiki, namun apa diri siap memaknai? Kue-kue siap dihidangkan di meja, namun kalbu mana yang mau mengeja? Petasan dar-dor-dar-dor, namun hati mana yang rela mengatakan tas-tun-tas-tun? Ngeri!

Lebaran tak lebih bagiku, aku bisa mencium pipi beberapa ponakanku. Itu pun, jika ia turut ada dalam lelebaran kali mendatang. Jika tidak aku akan menciumi diri. Juga, mengantar  mereka beli permen yuppi. Ah, arul-hafiz-dias-dela-keke-ciput-ipung-andri. Nama-nama, anak kampung baru.

Lebaran. Kau memang di pelupuk mata. Begitu, kau nampak sejauh jarak yang tak bisa ku kenali. Lelebih, sudah tiadanya perempuan penuh kasih di antara pertautan jiwa ini. Aku membayangkan akan semakin ngeri. Begitu, pikiranku selalu menari atas kengerian-kengerian yang tiada henti. Kengerian yang berawal dari pemaknaan bocah. Ya, ia hanyalah bocah yang sering ilang.

Lagu ini, menusuk-nusuk jiwa. Aku terseret dalam lamunan yang ku paksa untuk mengintip dari celah kecil. Celah di antara anyaman gedhek. Aku merekam, manusia-manusia di luar sedang memainkan lakon. Berbagai perkakas dipersiapkan. Persawahan menjadi latarnya. Anak-anak turut keluar untuk meriuhkan. Aku, tetap memilih mengintip dari celah gedhek. Sesekali, sinar matahari menyorot badanku. Hangat.  Aku sedikit lega.

Kiranya,  memaknai sembari tergopoh-gopoh sedikit melegakan.
Dari, masuk dalam keriuhan yang tiada tahu apa.

DM | 13072015