Judul :
Dari Ngaliyan ke Sendowo
Penulis :
NH. Dini
Tebal :
268 Halaman
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Membicarakan ruang spiritualitas masing-masing orang begitu
beragam dan berbeda jalannya. Tidak ada yang lebih bagus atau buruk. Lebih
tinggi atau rendah. Yang ada hanyalah masing-masing orang senantiasa merenungi
ruang spiritualitasnya. Dan pada akhirnya, masing-masing mengamalkannya dalam
laku keseharian.
Membaca novel Nurhayati Sri Hardini atau lebih akrab dikenal
NH. Dini yang berjudul Dari Ngaliyan ke Sendowo setidaknya ada hal yang bisa
direnungi oleh pembaca. Jika sastra bersentuhan dengan jiwa dan kepekaan
manusia, maka menyiapkan ruang kontemplasi sehabis membaca adalah hal yang tak
bisa terhindarkan. Setelah membaca novel ini, saya menemukan berkali-kali NH.
Dini menyebut berulang-ulang ‘spiritualitas’ lalu menyebutkan nama. Entah
kawannya, guru, kemenakannya, dll.
Novel ini menceritakan NH. Dini dari perjalanan ruang yang
bernama Ngaliyan di Semarang dan Sendowo di Jogjakarta. Nah, di antara jeda
ruang tersebut, ia kadang menukik ke ingatan di
masa silam bersama Yves Coffin (mantan suami yang seorang diplomat
prancis) dan kedua anaknya, narasi sikap saat menerima writer’s award,
keterhubungan ia dengan ibunya, dan orang-orang di sekelilingnya.
Beberapa contoh NH. Dini menyebut berulang orang-orang yang
baginya mempunyai jasa dalam laku spiritualitasnya semisal,
“….novel La Peste karangan Albert Camus, seorang pengarang
Prancis penerima hadiah Nobel tahun 1957 diminta oleh penerbit itu. Terjemahan
itu dulu adalah ‘pesanan’ UNESCO lewat perantaraan Yayasan Obor Indonesia di
bawah pimpinan Abang Spiritualku Mochtar Lubis.” (hal: 120)
“….kemudian Ramadhan sekeluarga kembali ke Tanah Air.
Sahabat-sahabatku itu tidak mengirimiku surat lagi, melainkan kadang-kadang
memanggilku lewat telepon genggam hadiah dari Nanis, anak mbakyu spiritualku
Retno Hadian.” (hal: 135)
“….Pagi itu, adik spiritualku Nobuko datang. Aku sangat
gembira bertemu lagi dengan dia. Wajahnya selalu cerah. Dalam hati, aku
benar-benar menganggap dia sebagai himoto-cang-ku.” (hal: 174)
“….Siang itu seperti di waktu-waktu lain ketika aku menonton
kabuki…… Pikiranku melayang kepada Ngesti Pandawa, kelompok pertunjukan wayang
wong di kota kelahiranku. Masing-masing memiliki kekayaan spiritual yang
sepadan, namun kemewahan dan kemodernan sarana mereka seperti bumi dan langit……
Kebahagiaan itu tersaput oleh keharuan kenangan kepada bapak spiritualku Kusni
Tjokrominoto….”(Hal: 177)
Saya menangkap bahwa dalam apapun yang dikerjakan NH. Dini
entah kebahagiaan, kesedihan, kesulitan, kebaikan orang lain orang perlu untuk
mengingat kediriannya. Bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Tuhan
menghadirkan banyak manusia untuk saling tolong-menolong. Nah, itu yang
diyakini NH. Dini sebagai ruang spiritualitas. Bahwa asupan spiritualitas tidak
hanya dapat disuplai lewat ritual keagamaan. Namun, apapun yang dilakukan dalam
keadaan sehari-hari mesti dimaknai sebagai laku spiritual.
Semisal sikap NH. Dini untuk memperlakukan air dengan hemat
dan secukupnya. Ia rela berbagi dengan tanaman-tanaman hiasnya agar sama-sama
tumbuh. Juga ia sangat memperhatikan kucing peliharaannya yang bernama Ipus.
Ketika Ipus tidak pulang ke rumah maka ia cari ke mana-mana. Ketika Ipus sakit,
ia membawa ke dokter hewan. Padahal saat bersamaan, ia juga mesti menghadapi
operasi batu empedu dengan uang yang pas-pasan bahkan kurang. Ia rela berbagi
kesembuhan dengan Ipus. NH. Dini memperhatikan dari tindakan-tindakan kecil
yang ia lakukan sehari-hari.
Dalam perjalanan hidupnya ia berusaha memasrahkan segala
sesuatunya pada Gusti. Seperti kutipan “Jika diiringi dengan ketulusan. Gusti
Allah pasti Maha Mengerti semua doa yang diucapkan dalam bahasa apa pun.” Juga
keterhubungan ia dengan Ibunya yang sangat kuat. Di banyak sub bagian novel ia
sering mengatakan mendapat tuntunan dari ibunya berupa ucapan untuk menghadapi
rintangan apapun. “…Bersyukur, Ndhuk, bersyukur! Bisikan Ibu terdengar berulang
kali di libuk batinku.” Atau “…Dilakoni wae, Ndhuk! Suara ibuku yang berbisik
mantap di hati.”
Novel ini juga menceritakan menginjak awal masa yang disebut
manusia lanjut, Dini mengalami tambahan kesulitan dalam menyikapi kehidupan.
Yang pertama adalah seringnya mengalami gangguan kesehatan, sedangkan hal kedua
ialah sekarnya mendapatkan tenaga guna memabntu mengurus rumah tangga serta
Pondok Baca. Kebiasaan masa lalu, di mana kaum wanita berdatangan dari desa ke
kota untuk bekerja sebagai pembantu atau pamong balita, telah berubah. Mereka
memilih menjadi karyawati di berbagai pabrik yang bertumbuhan di sepanjang
jalan-jalan besar pinggiran kota.
NH. Dini seorang yang menjihadkan dirinya untuk menulis. Di
usia senjanya kini ia masih tetap menulis dan menerima undangan berbagi ilmu di
perguruan-perguruan tinggi, komunitas, kelompok diskusi, dll. Sejumlah seri
cerita kenangannya telah diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Sejak tahun 2013,
NH. Dini bermukim di Wisma Harapan Indah Banyumanik Semarang. Novel yang
menceritakan perjalanan hidup ini berulang menceritakan hal yang sama. Sebagai
pembaca kadang sudah menemukan narasi di bagian awal novel namun juga akan
menemuinya di tengah atau belakang. Walau begitu, novel ini menarik untuk
dibaca. Setiap perjalanan adalah melihat dengan mata yang baru. Juga mencari
yang ‘hakikat’ dari diri.
Dewi Maghfi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar