Kamis, 17 September 2015

Membaca Ruang Spiritualitas NH. Dini


Judul        : Dari Ngaliyan ke Sendowo
Penulis     : NH. Dini
Tebal       : 268 Halaman
Penerbit   : Gramedia Pustaka Utama

Membicarakan ruang spiritualitas masing-masing orang begitu beragam dan berbeda jalannya. Tidak ada yang lebih bagus atau buruk. Lebih tinggi atau rendah. Yang ada hanyalah masing-masing orang senantiasa merenungi ruang spiritualitasnya. Dan pada akhirnya, masing-masing mengamalkannya dalam laku keseharian.

Membaca novel Nurhayati Sri Hardini atau lebih akrab dikenal NH. Dini yang berjudul Dari Ngaliyan ke Sendowo setidaknya ada hal yang bisa direnungi oleh pembaca. Jika sastra bersentuhan dengan jiwa dan kepekaan manusia, maka menyiapkan ruang kontemplasi sehabis membaca adalah hal yang tak bisa terhindarkan. Setelah membaca novel ini, saya menemukan berkali-kali NH. Dini menyebut berulang-ulang ‘spiritualitas’ lalu menyebutkan nama. Entah kawannya, guru, kemenakannya, dll.

Novel ini menceritakan NH. Dini dari perjalanan ruang yang bernama Ngaliyan di Semarang dan Sendowo di Jogjakarta. Nah, di antara jeda ruang tersebut, ia kadang menukik ke ingatan di  masa silam bersama Yves Coffin (mantan suami yang seorang diplomat prancis) dan kedua anaknya, narasi sikap saat menerima writer’s award, keterhubungan ia dengan ibunya, dan orang-orang di sekelilingnya.

Beberapa contoh NH. Dini menyebut berulang orang-orang yang baginya mempunyai jasa dalam laku spiritualitasnya semisal,
“….novel La Peste karangan Albert Camus, seorang pengarang Prancis penerima hadiah Nobel tahun 1957 diminta oleh penerbit itu. Terjemahan itu dulu adalah ‘pesanan’ UNESCO lewat perantaraan Yayasan Obor Indonesia di bawah pimpinan Abang Spiritualku Mochtar Lubis.” (hal: 120)
“….kemudian Ramadhan sekeluarga kembali ke Tanah Air. Sahabat-sahabatku itu tidak mengirimiku surat lagi, melainkan kadang-kadang memanggilku lewat telepon genggam hadiah dari Nanis, anak mbakyu spiritualku Retno Hadian.” (hal: 135)
“….Pagi itu, adik spiritualku Nobuko datang. Aku sangat gembira bertemu lagi dengan dia. Wajahnya selalu cerah. Dalam hati, aku benar-benar menganggap dia sebagai himoto-cang-ku.” (hal: 174)
“….Siang itu seperti di waktu-waktu lain ketika aku menonton kabuki…… Pikiranku melayang kepada Ngesti Pandawa, kelompok pertunjukan wayang wong di kota kelahiranku. Masing-masing memiliki kekayaan spiritual yang sepadan, namun kemewahan dan kemodernan sarana mereka seperti bumi dan langit…… Kebahagiaan itu tersaput oleh keharuan kenangan kepada bapak spiritualku Kusni Tjokrominoto….”(Hal: 177)

Saya menangkap bahwa dalam apapun yang dikerjakan NH. Dini entah kebahagiaan, kesedihan, kesulitan, kebaikan orang lain orang perlu untuk mengingat kediriannya. Bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Tuhan menghadirkan banyak manusia untuk saling tolong-menolong. Nah, itu yang diyakini NH. Dini sebagai ruang spiritualitas. Bahwa asupan spiritualitas tidak hanya dapat disuplai lewat ritual keagamaan. Namun, apapun yang dilakukan dalam keadaan sehari-hari mesti dimaknai sebagai laku spiritual.
Semisal sikap NH. Dini untuk memperlakukan air dengan hemat dan secukupnya. Ia rela berbagi dengan tanaman-tanaman hiasnya agar sama-sama tumbuh. Juga ia sangat memperhatikan kucing peliharaannya yang bernama Ipus. Ketika Ipus tidak pulang ke rumah maka ia cari ke mana-mana. Ketika Ipus sakit, ia membawa ke dokter hewan. Padahal saat bersamaan, ia juga mesti menghadapi operasi batu empedu dengan uang yang pas-pasan bahkan kurang. Ia rela berbagi kesembuhan dengan Ipus. NH. Dini memperhatikan dari tindakan-tindakan kecil yang ia lakukan sehari-hari.

Dalam perjalanan hidupnya ia berusaha memasrahkan segala sesuatunya pada Gusti. Seperti kutipan “Jika diiringi dengan ketulusan. Gusti Allah pasti Maha Mengerti semua doa yang diucapkan dalam bahasa apa pun.” Juga keterhubungan ia dengan Ibunya yang sangat kuat. Di banyak sub bagian novel ia sering mengatakan mendapat tuntunan dari ibunya berupa ucapan untuk menghadapi rintangan apapun. “…Bersyukur, Ndhuk, bersyukur! Bisikan Ibu terdengar berulang kali di libuk batinku.” Atau “…Dilakoni wae, Ndhuk! Suara ibuku yang berbisik mantap di hati.”

Novel ini juga menceritakan menginjak awal masa yang disebut manusia lanjut, Dini mengalami tambahan kesulitan dalam menyikapi kehidupan. Yang pertama adalah seringnya mengalami gangguan kesehatan, sedangkan hal kedua ialah sekarnya mendapatkan tenaga guna memabntu mengurus rumah tangga serta Pondok Baca. Kebiasaan masa lalu, di mana kaum wanita berdatangan dari desa ke kota untuk bekerja sebagai pembantu atau pamong balita, telah berubah. Mereka memilih menjadi karyawati di berbagai pabrik yang bertumbuhan di sepanjang jalan-jalan besar pinggiran kota.

NH. Dini seorang yang menjihadkan dirinya untuk menulis. Di usia senjanya kini ia masih tetap menulis dan menerima undangan berbagi ilmu di perguruan-perguruan tinggi, komunitas, kelompok diskusi, dll. Sejumlah seri cerita kenangannya telah diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Sejak tahun 2013, NH. Dini bermukim di Wisma Harapan Indah Banyumanik Semarang. Novel yang menceritakan perjalanan hidup ini berulang menceritakan hal yang sama. Sebagai pembaca kadang sudah menemukan narasi di bagian awal novel namun juga akan menemuinya di tengah atau belakang. Walau begitu, novel ini menarik untuk dibaca. Setiap perjalanan adalah melihat dengan mata yang baru. Juga mencari yang ‘hakikat’ dari diri.

Dewi Maghfi


Tidak ada komentar: