Gambar diambil dari telusurindonesia.com |
Di hadapanku ada seorang yang baru datang kira sepuluh menit
yang lalu. Sebelumnya aku dengan seorang teman membincangkan topik ‘selamat’. Ah,
entah sebab apa kupingku macam ngeri mendengar kata itu. Kami pernah ngobrol
pada suatu malam yang tak begitu panjang, namun berkualitas. Aku yang tertarik
memahami orang, sejak itu ketertarikanku kian meningkat untuk memperhatikan
siapa pun. sebab, dari situ aku paham diri. Hampir, aku memahami banyak hal
dari luar diri. Aku mengaca di sekeliling. Entah, ini suatu hal baik/tidak
baik, yang tidak mengakui kedirian atau tidak menjadi diri sendiri sungguh lah aku
tak tahu. Bagiku tak masalah dinilai ‘tak menjadi diri sendiri’ atau apalah. Sebab,
aku menemu diriku pada diri yang lain. Bagiku terlalu susah dan sakit untuk
melulu memahami diri sendiri pada diri ini. Aku hanya ingin bertemu banyak
orang dan menampung ‘sampah-sampah’ nya. Toh, rasanya pas sekali sewaktu aku
membuat permainan haha-hihi ketika up-grading bp2m 2015, ‘aku adalah tong
sampah’ tulisnya di selembar kertas merah muda. Permainan itu menulis tentang apapun
yang dipikirkan, dimasukkan kotak, lalu mengambilnya secara acak. Tak ada
interpretasi. Dibaca, didengarkan, selesai.
Rasa-rasanya pas saja. Semesta ini bergerak atas
kehendak-Nya. Belakangan memang aku lebih menjalani perjalanan ini dengan
intuisi saja. Aku itu seorang yang bebal. Seorang yang sakit namun berlagak
sehat. Seperti jembatan kayu gantung yang nampak naas, tapi anak-anak yang
memakai seragam sd masih menggelayutinya (fokus media, selalu pada anak-anak
yang berani/terpaksa menyebrang demi cita-cita. Tapi, bagaimana orang berpikir
untuk meneliti jenis kayunya yang bertahan puluhan tahun? Berapa tahun kayu
tersebut ditanam? penyebrang generasi pertama mempergunakan untuk penyambung
perut atau peningkat gubug? Sayang, yang di sana hanya berpikir “kasih anggaran
untuk dibuat jembatan beton yang jika bernasib baik akan awet pula.”
Apalah kata-kata yang pantas untukku. Tapi, aku akan tetap
mendengar. Aku sadari aku sebenarnya bukan seorang yang berani bicara. Cuma aku
berlatih untuk berbicara secara berani sebab suatu kondisi yang mendesak ‘sendi-sendi’
keberanian itu. Aku resapi, aku ngeri dengan diri sendiri. Berapa orang yang
pernah sakit hati dengan mulut ini, berapa orang yang melihat mata ini saja
tidak berani, berapa kali tangan ini menggebrak meja, berapa kali mulut ini
mengumpat, siapa saja yang langkahnya luluh-lantah sebab atas mulut ini, dan
berapa kali keinginan untuk menonjok tapi berujung derai air mata. Ah….
Orang di depanku sekarang terbaring. Kami tidak melakukan
obrolan sepatah kata pun. Aku memang seperti ini, tak bisa mengawali obrolan di
kala melihat muka lawan yang sengeri itu. Aku punya anggapan bahwa, bicara
bukan hanya lewat kata. Aku memahami kegelisahannya, dan cukup. Masing-masing
butuh ruang penjernihan pikiran. Ia memilih tidur dan aku masih ngetik. Pembaca
pasti akan terkecoh dengan pertanyaan ‘who’ bukannya ‘why’. Sebab, menyintas
jalan memang praktis dan mudah. Yakni menjawab siapa yang hanya sepotong, daripada
memahami mengapa yang membutuhkan narasi.
Ada seorang kawan yang mengirimkan tulisan tentang pulau di seberang
pulau yang sunyi tanpa kehidupan manusia. Saat ini aku terbawa dalam tulisan
tersebut. Aku sedang di pulau yang sunyi, pulau bp2m. Sering sekali, menikmati
pulau ini sendiri, dulu. Sayang, lagi lagi aku tak berani berlayar jauh. Atau memang
tak mampu. Sebab, aku hanya punya perahu kertas. Satu-satunya kerajinan kertas
yang bisa ku buat, ‘perahu-perahuan’. Gampang, sederhana, dan bayanganku hanyalah
seorang gadis kecil yang sedang memegangi perahu kertas tersebut di pinggir
laut menunggu senja. Ia hanya akan mengirimkan senyum kecilnya tanpa pernah
ingin menghanyutkan perahunya. Naas, Aylan Kurdi ditemukan tak bernyawa di
bibir laut! Bagaimana tidak, pandangan gadis kecil tersebut teraduk-aduk! Ah…
Lukisan Dewi Candraningrum Pemred Jurnal Perempuan |
Bisa dikatakan aku memang terdampar di pulau yang sunyi ini.
Apa-apa yang tak pernah mampir secuil pun di benak ini sebelumnya. Semua benar-benar
baru dan tak bisa dihindari. Tentang terdampar, selalu menghadapkan pada yang
nikmat dan lara. Betapa bersyukurnya, bahwa kenikmatan tak butuh (si)apapun
hadir dan tergenggam. Namun, jika ‘fuad’ (lebih dalam dari qalbu dalam bukunya
A. Chodjim Membangun Surga) merasa sunyi dan benar harus berpulang pada yang
hakikat (semoga jika apa yang saya rasakan benar). Memahami perjalanan selalu
menawan dan unik. Juga ingatan kengerian di tikungan.
Sementara lara, bahwa aku kembali di pulau ini dan mungkin
bisa saja yang terakhir. Kelaraan bukan benar-benar hadir dari luar diri. Sampai
saat ini, belum ada lara yang selara-laranya hadir dari pulau sunyi ini. Hanya,
lara itu datang dari dalam diri. Dulu, sesekali menusuki dan menyanyat. Belakangan
hadir dua kali lipat bahkan dilumuri garam. Lara itu datang dari dalam diri. Ini
yang membuat susah untuk mencari penyembuh. Maka, seringkali diri ini
membentangkan jurang, jarak, dan jangkauan agar sedikit mengobati secara sadar
dan otomatis. Saya paham bahwa, jika maksud baik akan tersampai serupa walau
harus melewati yang melelahkan. Pulau sunyi ini telah mengajariku banyak hal. Walau
ia benda mati, toh mampu menggerakkan diri untuk berlelah-lelah yang
menyenangkan.
Mungkin, aku saja yang hanya mengharu-biru? Atau yang lain
juga? Atau malah tidak ngeh? Atau justru menyayat-nyayat? Sesungguhnya jika
ingin berjujur pada diri, aku memang mengharu-biru yang objektif. Jadi, nikmat
dan lara memang menyatu. Jika ada pertanyaan pada si(apa) aku cinta? “Hanya
satu selain bagian dari jiwaku (ibuk), yakni pulau yang sunyi ini.” Betapa, aku
benar merasakan cinta (jika benar ini ‘isqh’ seperti yang dikatakan Rumi). Tentu
standar cinta satu dengan yang lainnya beda. Dan standarku mungkin ‘gitu-gitu’ aja.
Jika ada yang bilang bahwa jatuh cinta itu hanya orang yang jatuh cinta saja
yang mampu merasakannya. Aku pun mengamini, ‘hanya aku yang bisa merasakan ini
dan membuatku gilak’. Apa aku bodoh cinta yang bukan pada sesosok makhluk, manusia
misalnnya?
Saat ini, pemahamanku cinta ya ‘nikmat dan lara’ itu. Jadi,
fokusku memang pada yang ‘nikmat dan lara’. Dan pulau sunyi ini adalah
penghubung, ruang antara. Boleh jadi, aku tidak berada pada titik yang sama,
namun aku-ia bisa meresapi yang nikmat dan lara tersebut. Apa aku perlu
menanyakan apa ia meresapi hal yang sama? Tentu tidak! Sekali lagi kata
hanyalah lumuran garam pada sayatan. Saat ini saja, ia telah bisa membuatku
untuk duduk, diam, tenang dalam mengetik, senyum kecil, sesekali mengumpat, ruang
yang kacau balau (paling males liat kek gini! Bagiku barang harus tertata
rapi), tumpah ruah linangan air yang berjam-jam (membayangkan aja susah! Tapi kog
bisa? Setelahnya bahkan berlanjut berjam-jam lagi).
Foto diambil dari indonesiamengajar.org |
Hanya pada pulau sunyi ini, aku yakin membicarakan cinta. Belum
pernah sekali pun benar memahami cinta selain ini. Aku gila? Memang! Aku lebay?
Anak sekarang menyebutnya iya! Perjalanan memang lucu dan tak bisa ditebak, bisa
jadi pengakuan ini akan runtuh beberapa waktu ke depan saat dihadapkan pada hal
baru. Namun, aku ingin jujur (hal yang susah ku selesaikan pada diri) aku cinta!
Pada jiwa-jiwa yang satu akan paham dan meresap bagaimana gaungnya. Bagaimana ngilunya.
Dan keinginanya untuk tetap melanjutkan perjalanan menuju yang hakikat. Inilah kenikmatlaraanku!
Jawaban atas banyak hal yang mampir pada diri! Semoga, semoga tidak berlebihan
dan belajar dalam takaran yang pas!
Dewi Maghfi | 03 Oktober 2015 | 01:05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar