Di depan rumah Wak Bani, ada
sebuah pohon yang berumur puluhan tahun. Batangnya tumbuh besar, juga ranting
yang makin bercabang. Buahnya berwarna ungu kehitaman. Orang desaku menyebutnya
Pohon juwet. Pohon yang buahnya seperti anggur namun rasanya sepet kecut.
Anak-anak kecil sering menunggui di bawah pohon ini berharap ada yang jatuh.
Buah juwet jika dimakan meninggalkan warga keunguan di lidah. Anak-anak akan
berlomba untuk menunjukkan lidah siapa yang paling hitam. Dengan begitu, ia
akan makan berpuluh-puluh biji. Padahal, buah juwet jika dimakan terlalu
banyak, perut akan melilit-lilit. Sebab, rasa sepet kecutnya bisa menaikkan
asam lambung.
“Hitam sapa hayoo?”
“Hitam aku. Wekkk,” seloroh Nisa.
Nama lengkapnya Annisa. Seorang
gadis kecil yang mahir memanjat pohon juwet. Hampir, gadis seusianya tak ada
yang berani manjat. Hanya ia dan kawan lelakinya yang seringkali adu manjat
tinggi-tinggian. Nisa duduk di kelas 4 sekolah pagi dan sore. Ya, desa kami
masih ada sekolah sore untuk memperdalam kitab tauhid, fiqih, dan nawhu sharaf.
Sepulang sekolah sore, setiap hari Nisa selalu memanjat pohon juwet yang berada
di depan rumahnya itu. Wak Bani adalah kakeknya.
Saat manjat pohon, ia tak pernah
lupa membawa kertas dan bolpen. Ia anak yang rajin. Di atas dia akan mengulas
pelajaran dari gurunya. Wak Bani selalu membiarkan Nisa memanjat pohon juwet.
Sesekali Wak Bani memanggilnya untuk makan sore. Lebih sering Wak Bani
memperhatikan aktivitas cucunya tersebut dari cangkruk di bawah pohon juwet.
“Nisa, di sekolah tadi diajarkan
apa sama Bu Guru?” tanya Wak Bani yang sedang selonjoran di cangkrok.
“Mengarang Puisi. Enaknya temanya
apa, Kung?” balas Nisa yang sedang termenung duduk di ranting sudut 50 derajat.
Posisi yang paling dia sukai dengan menyelonjorkan kaki ke atas dan punggung
yang bersandar di salah satu batang.
“Tentang anak saja.”
Di sekolah, Bu Guru selesai
membacakan puisi Anaknya wiji thukul. Ia tak bisa fokus untuk merangkai. Dari
bait pertama ia menulis ulang puisi wiji thukul. ……. Bait kedua dan seterusnya.
***
Nisa, esok harinya mengumpulkan
puisi yang ditulis ulang dari puisi wiji thukul. “Nisa tidak bisa mengarang
puisi Bu. Nisa menulis ulang puisi yang ibu bacakan kemarin.”
“Kamu itu tidak mendengar perintah
ibu. Mengarang puisi karya kamu sendiri!”
Ia berjalan menundukkan kepala
menuju bangku di ujung belakang. Selepas duduk, ia mencoba mengarang lagi apa
yang dimaksud puisi. Ia tetap tidak bisa. Tak ada sekalipun kosa kata yang
mampir di benaknya.
Sore hari, ia kembali memanjat
pohon juwet. Dari ketinggian tersebut, pandangannya dapat menjangkau rumah
Lili. Teman seusianya. Setiap sore Lili menyapu halaman rumah dan menyiram
bunga. Sementara Nisa dibebaskan dalam mengerjakan pekerjaan rumah oleh Wak Bani.
Kadang, Lili nampak terburu-buru dalam menyapu. Ada satu-dua daun yang
tertinggal tak dimasukkan ekrak.
Setelahnya, ia bergegas menuju rumah Sania untuk bermain engklek. Tak seru
bukan bermain engklek hanya seorang diri? Berselang sepuluh menit, seorang lelaki
berperut buncit mendekati Lili dan menarik kuping kanannya. Dari rumah Lili
terdengar suara tangisan.
“Ampun Yah….” Lirih terdengar
suara rintihan Lili seraya sesenggukan.
Berbulan-bulan lamanya, Wak Bani
selalu mengamati cucunya ketika turun dari Pohon Juwet. Tak ada goresan tinta
setitik pun di kertas yang dipegangnya. Yang ada hanya nampak dua lobang
seukuran mata. “Buat apa kamu bawa bolpoin saat manjat, sementara tak pernah
kau goreskan setitikpun tinta, Ndhuk?”
“Bolpoin ini hanya untuk melubangi
kertas, Kung. Begini nih jadinya,” tuturnya seraya menempelkan kertas dua
lubang tersebut ke matanya.
“Seperti kaca mata ya?”
“Iya, memang benar.”
Wak Bani tak pernah mengenyam
sekolah. Ia sering menafsir polah tingkah cucunya. Dalam benaknya, mungkin
cucunya ingin punya kacamata. Kacamata plastik yang warna-warni. “Apa aku besok
membelikannya di pasar ya?” lamunan Wak Bani yang masih duduk di cangkrong.
Orang seusia Wak Bani, banyak yang menghabiskan waktu di rumah bersama
cucu-cucunya. Dengan sesekali pergi ke sawah untuk melihat padi yang ditanam
anak-anaknya.
“Ndhuk, ini kacamata untukmu.
Jadi, kamu tak usah setiap hari melobangi kertas,” ucapa Wak Bani dengan
memakaikan kacamata lalu mengucir rambut Nisa.
“Lho, tak usah repot, Kung. Ini
uang darimana? Nisa hanya butuh mata yang baru setiap hari. Bukan kacamata
plastik.”
Wak Bani seketika mengulum air
liur. Untuk menjawab uang dari mana pun, tak penting diketahui cucunya.
“Aku mau manjat dulu, Kung,”
seloroh Nisa sembari nyelonong melepas kacamata plastik ke tangan Kakungnya.
***
“Kung, kata Yu Wati ayahku banyak
ya?”
Tiba-tiba napas Wak Bani
tersendat. Beberapa kali Wak Bani memang mondok di rumah sakit. Semasa mudanya,
Wak Bani perokok berat. Ia sakit paru-paru. Orang desa akrab menyebut loro mengi. “Iya Ndhuk, panggilan ayahmu
banyak. Seperti tetangga kita ada yang panggilannya panjang.”
“Oh..”
Putri Wak Bani sudah sepuluh
tahun tak pulang rumah. Seorang pemuda yang pernah berjanji mempersunting
putrinya, mengajaknya ke gubug di pinggir sawah dengan pemandangan ijo-royo.
Pemuda tersebut keluar ghubug lebih awal. Lalu memanggil Ucok untuk masuk.
Setelahnya Rohman dan Maikal. Putri Wak Bani, kini berada di Arab Saudi menjadi
pelayan rumah tangga.
Dewi Maghfi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar