Senin, 12 Oktober 2015

Gadis Kecil Pemanjat Pohon Juwet


Di depan rumah Wak Bani, ada sebuah pohon yang berumur puluhan tahun. Batangnya tumbuh besar, juga ranting yang makin bercabang. Buahnya berwarna ungu kehitaman. Orang desaku menyebutnya Pohon juwet. Pohon yang buahnya seperti anggur namun rasanya sepet kecut. Anak-anak kecil sering menunggui di bawah pohon ini berharap ada yang jatuh. Buah juwet jika dimakan meninggalkan warga keunguan di lidah. Anak-anak akan berlomba untuk menunjukkan lidah siapa yang paling hitam. Dengan begitu, ia akan makan berpuluh-puluh biji. Padahal, buah juwet jika dimakan terlalu banyak, perut akan melilit-lilit. Sebab, rasa sepet kecutnya bisa menaikkan asam lambung.

“Hitam sapa hayoo?”
“Hitam aku. Wekkk,” seloroh Nisa.
Nama lengkapnya Annisa. Seorang gadis kecil yang mahir memanjat pohon juwet. Hampir, gadis seusianya tak ada yang berani manjat. Hanya ia dan kawan lelakinya yang seringkali adu manjat tinggi-tinggian. Nisa duduk di kelas 4 sekolah pagi dan sore. Ya, desa kami masih ada sekolah sore untuk memperdalam kitab tauhid, fiqih, dan nawhu sharaf. Sepulang sekolah sore, setiap hari Nisa selalu memanjat pohon juwet yang berada di depan rumahnya itu. Wak Bani adalah kakeknya.

Saat manjat pohon, ia tak pernah lupa membawa kertas dan bolpen. Ia anak yang rajin. Di atas dia akan mengulas pelajaran dari gurunya. Wak Bani selalu membiarkan Nisa memanjat pohon juwet. Sesekali Wak Bani memanggilnya untuk makan sore. Lebih sering Wak Bani memperhatikan aktivitas cucunya tersebut dari cangkruk di bawah pohon juwet.

“Nisa, di sekolah tadi diajarkan apa sama Bu Guru?” tanya Wak Bani yang sedang selonjoran di cangkrok.
“Mengarang Puisi. Enaknya temanya apa, Kung?” balas Nisa yang sedang termenung duduk di ranting sudut 50 derajat. Posisi yang paling dia sukai dengan menyelonjorkan kaki ke atas dan punggung yang bersandar di salah satu batang.
“Tentang anak saja.”
Di sekolah, Bu Guru selesai membacakan puisi Anaknya wiji thukul. Ia tak bisa fokus untuk merangkai. Dari bait pertama ia menulis ulang puisi wiji thukul. ……. Bait kedua dan seterusnya.
***

Nisa, esok harinya mengumpulkan puisi yang ditulis ulang dari puisi wiji thukul. “Nisa tidak bisa mengarang puisi Bu. Nisa menulis ulang puisi yang ibu bacakan kemarin.”
“Kamu itu tidak mendengar perintah ibu. Mengarang puisi karya kamu sendiri!”
Ia berjalan menundukkan kepala menuju bangku di ujung belakang. Selepas duduk, ia mencoba mengarang lagi apa yang dimaksud puisi. Ia tetap tidak bisa. Tak ada sekalipun kosa kata yang mampir di benaknya.

Sore hari, ia kembali memanjat pohon juwet. Dari ketinggian tersebut, pandangannya dapat menjangkau rumah Lili. Teman seusianya. Setiap sore Lili menyapu halaman rumah dan menyiram bunga. Sementara Nisa dibebaskan dalam mengerjakan pekerjaan rumah oleh Wak Bani. Kadang, Lili nampak terburu-buru dalam menyapu. Ada satu-dua daun yang tertinggal tak dimasukkan ekrak. Setelahnya, ia bergegas menuju rumah Sania untuk bermain engklek. Tak seru bukan bermain engklek hanya seorang diri? Berselang sepuluh menit, seorang lelaki berperut buncit mendekati Lili dan menarik kuping kanannya. Dari rumah Lili terdengar suara tangisan.

“Ampun Yah….” Lirih terdengar suara rintihan Lili seraya sesenggukan. 
Berbulan-bulan lamanya, Wak Bani selalu mengamati cucunya ketika turun dari Pohon Juwet. Tak ada goresan tinta setitik pun di kertas yang dipegangnya. Yang ada hanya nampak dua lobang seukuran mata. “Buat apa kamu bawa bolpoin saat manjat, sementara tak pernah kau goreskan setitikpun tinta, Ndhuk?”
“Bolpoin ini hanya untuk melubangi kertas, Kung. Begini nih jadinya,” tuturnya seraya menempelkan kertas dua lubang tersebut ke matanya.
“Seperti kaca mata ya?”
“Iya, memang benar.”

Wak Bani tak pernah mengenyam sekolah. Ia sering menafsir polah tingkah cucunya. Dalam benaknya, mungkin cucunya ingin punya kacamata. Kacamata plastik yang warna-warni. “Apa aku besok membelikannya di pasar ya?” lamunan Wak Bani yang masih duduk di cangkrong. Orang seusia Wak Bani, banyak yang menghabiskan waktu di rumah bersama cucu-cucunya. Dengan sesekali pergi ke sawah untuk melihat padi yang ditanam anak-anaknya.

“Ndhuk, ini kacamata untukmu. Jadi, kamu tak usah setiap hari melobangi kertas,” ucapa Wak Bani dengan memakaikan kacamata lalu mengucir rambut Nisa.
“Lho, tak usah repot, Kung. Ini uang darimana? Nisa hanya butuh mata yang baru setiap hari. Bukan kacamata plastik.”
Wak Bani seketika mengulum air liur. Untuk menjawab uang dari mana pun, tak penting diketahui cucunya.
“Aku mau manjat dulu, Kung,” seloroh Nisa sembari nyelonong melepas kacamata plastik ke tangan Kakungnya.
***

“Kung, kata Yu Wati ayahku banyak ya?”
Tiba-tiba napas Wak Bani tersendat. Beberapa kali Wak Bani memang mondok di rumah sakit. Semasa mudanya, Wak Bani perokok berat. Ia sakit paru-paru. Orang desa akrab menyebut loro mengi. “Iya Ndhuk, panggilan ayahmu banyak. Seperti tetangga kita ada yang panggilannya panjang.”
“Oh..”

Putri Wak Bani sudah sepuluh tahun tak pulang rumah. Seorang pemuda yang pernah berjanji mempersunting putrinya, mengajaknya ke gubug di pinggir sawah dengan pemandangan ijo-royo. Pemuda tersebut keluar ghubug lebih awal. Lalu memanggil Ucok untuk masuk. Setelahnya Rohman dan Maikal. Putri Wak Bani, kini berada di Arab Saudi menjadi pelayan rumah tangga.

Dewi Maghfi




Tidak ada komentar: