Senin, 12 Oktober 2015

Sayur Lodeh


Lima tahun belakang Leli hidup merantau. Bermodal keyakinan ia pergi ke Jakarta. Ia bisa bekerja apa saja, asalkan ia dapat mandiri, pikirnya. Pukul 03.00 dini hari, ia sampai di terminal Pulo Gadung. Dengan menggendong tas berwarna hitam dan mengangkat kardus, ia keluar dari bis.

“Ayo ikut aku mbak……” ujar seorang lelaki bertopi seraya menggandeng tangannya dan mencolek sudut bibirnya.
“Tidak, Pak, lepaskan!” balasnya dengan nada tinggi.

Walau baru pertama ke Jakarta, ia tak mau menunjukkan ekspresi bingung. Yang sebenarnya sejak ia turun dari bis telah membatin, “ini kota apa, orang-orang berteriak. Ada yang tiba-tiba menggeret tangan. Juga berbicara dengan nada sangat tinggi. Di pojok remang-remang, nampak bergerombol orang-orang dengan muka sayup dan beberapa botol minuman dari kaca berserakan. Ah, benar.”
Dengan cekatan ia mencari sebuah bis jurusan Rawa Bambu. “Pak, ke arah Rawa Bambu?”
“Ee…. Tidak mbak. Tapi, bisa nanti diantar ke sana,” tutur seorang sopir dari belakang setir.
“Tidak jadi, Pak!”
Melangkah dengan cepat, ia berpindah dari satu bis ke bis lain.
“Rawa Bambu mbak….”
“Berangkat kapan?”
“Setengah jam lagi,” kata sopir yang bicaranya tak sama sekali mau berhadapan. Ia lebih sering membuang muka dengan melihat ke arah manapun.
“Tidak. Terima kasih.”

Sejenak, ia menurunkan tas dari gendongannya juga kardus yang dipegang erat di tangan kanannya. Tangannya membentuk sudut lancip di pinggang dengan menarik udara lewat hidung lalu mengeluarkannya lewat mulut. Jam segitu, udara terminal pulo gadung berbeda dengan udara di kampungnya. Saat menghirup udara, ada butiran-butiran kasar yang tertangkap di rambut-rambut halus hidung. Seketika, ia merengkuh tas dan kembali menggendongnya. Berjalan lebih cepat lagi menuju bis. Ia sama sekali tidak tahu bis mana yang harus dinaikinya, namun gayanya sudah seperti kernet. Dengan cekatan berpindah dari satu bis ke bis lain untuk bertanya.

“Rawa Bambu, Pak?”
“Iya Mbak, ini langsung berangkat.”
“Bisa turun setelah jembatan?”
“Bisa.”
“Ongkosnya berapa?”
“20 ribu”
“Biasanya 17 ribu”
“Bensin naik, Mbak.”
“Sehari kemarin masih 17 ribu?”
“Sekarang 18 ribu Mbak. Hehe.”

Sebelum berangkat Leli sudah berkabar dengan Paklik. Adik dari Ibu yang sudah 25 tahun merantau di Rawa Bambu. Dengan hape Nokia layar hitam putih, Paklik memberi penjelasan secara detail padanya. Juga, nasihat untuk percaya diri di perjalanan.
“Kamu ndak usah nampak bingung, Nduk,” tuturnya di ujung telepon tiga hari sebelum keberangkatan.

Selain belajar mandiri, Leli juga ingin belajar jujur. Di lingkungan rumahnya di kampung, ia sering sekali mendapati orang-orang yang tak jujur dalam tutur atau lakunya. Sehingga, ia pun demikian. Susah untuk jujur. Maka, saat bertemu sopir-sopir angkot, yang ada di pikirannya hanyalah ingin melihat kejujuran orang lewat tutur atau tatapannya. Ia memang tidak dapat dengan seketika menilai ketakjujuran orang saat itu. Namun, sebab bermodal keyakinan ia mencoba meresapinya. Ia memperhatikan betul setiap bahasa yang keluar juga sikap yang dipertunjukkan. Jika iya yakin, maka ada sebuah suara kecil dalam dirinya untuk mengiyakan. Namun jika tidak, ia hanya perlu untuk melangkah lagi, lagi, dan lagi.

“Turun sini, Pak.”
“Iya Neng.”
“Terima kasih, Pak. Kembaliannya buat tambahan ibu untuk memasak sayur lodeh,” tuturnya dengan menyodorkan uang 20 ribu.
“Nuhun Neng.”
Sebelum bis beranjak, sopir melempar senyum dan memencet klakson dengan suara cemprengnya. Mungkin sebab, akinya yang mau habis. Leli bertekad ingin belajar jujur. Sekali lagi jujur.
***
Hari pertama di rumah Paklik, di meja makan tersaji sambal goreng, ayam goreng, terong, serta tempe saat makan siang. Pagi harinya, seluruh warga rumah sarapan sepotong singkong goreng dan teh panas atau ponakan-ponakan akan minum susu hangat. Sehabis magrib kami makan malam. Aku duduk di kursi paling ujung, di sebelahku ada Anton keponakan dari Bulik, sebelahnya lagi ada Timah cucu dari kakak Mbah Buyut, ada Kak Bunari adek dari Paklik, Mbah Tejo Bapak dari Bulik, lalu Kartika, Rian, Dion, dan Rafi anak-anak dari Paklik-Bulik. Malam itu semua kumpul, kecuali Ebit penjaga bedheng yang sedang masuk angin.

Meja makan berbentuk bulat memanjang. Berbahan dari kayu mahoni yang tak diplitur dan kursi plastik sebagai dudukannya. Di meja tersaji sayur bening bayam, tahu, tempe, ikan lele, serta sambal goreng. Aku mengambil satu centhong nasi, lima sendok kuah sayur bening, dan bagian ekor dari ikan lele. Semua mengambil sambal goreng. Namun tidak untuk aku.

Hari kedua, ketiga, hingga satu minggu, di meja selalu tersaji sambal goreng beserta cowek irengnya. Saat memasak aku selalu memperhatikan bulik saat membuat sambal goreng. Bulik akan mengambil tujuh buah cabe merah berukuran sedang dan empat cabe rawit yang warnanya hijau muda. Bawang merah dua biji berukuran sedang. Cabe dan bawang merah digoreng dengan minyak sedikit. Diangkat, ditaruh di cowek lalu ditambahkan terasi sepucuk sendok makan, garam, juga gula aren. Setelah halus, Bulik kembali menggoreng dengan minyak yang lebih sedikit dalam setengah menit.

“Harus setengah menit, Lel. Jika lebih atau kurang Paklikmu akan berkomentar di meja makan.”
Pernah suatu ketika, aku yang membuat sambal goreng. “Ini bukan buatan Ibune Kartika,” tutur Paklik saat makan bersama. Aku langsung cemas, seketika sendok yang ku pegang jatuh ke piring dan membuat kaget yang lain. “Iya Paklik, itu yang buat saya. Tidak enak ya? Tadi menggorengnya setengah menit lebih sepuluh detik. Kelupaan.”
“Ya, untunglah kamu yang buat. Jadi bisa ditolerir.”
Hari berikutnya, aku tak berani membuat sambal goreng lagi. Aku memilih menangani masakan yang lain selain sambal goreng. “Lel, kamu tak belajar lagi membuat sambal goreng yang pas sesuai lidah paklikmu?”
“Wah, Bulik saja. Saya masak kangkungnya,” kebetulan menu siang itu semur kangkung.
“Lel, kangkungnya harus sampai empuk ya, terus kecapnya yang banyak.” Setiap kali masak, Bulik selalu menasihati soal kematangan, takaran, dan itu semua adalah soal selera. Tak lain, selera Paklik.

Menjelang tidur, teringat Emak. Jika di rumah Paklik, sambal goreng menjadi menu andalan. Jika di rumah kampung, sayur lodeh yang membuat emak memaknai segala hal laku perempuan. Sayur lodeh dari sayur terong. Terong hijau satu buah berukuran sedang diiris kotak. Sembari mengiris, emak memasak air hingga mendidih. Kemudian terong dimasukkan dan dimasak selama dua menit. Tak kurang dan lebih. Saat memasak terong, emak tidak melakukan aktivitas lain semisal menyiapkan bumbu atau apa. Sebab, terong tidak boleh terlalu empuk atau alot. Terong ditiriskan, baru emak membuat bumbu.

Tiga ruas cabe hijau muda diiris di ujung punggung parut kayu. Sementara dua ruasnya lagi diiris di ujungnya. Dan di bagian tengahnya, emak akan mengiris dua siung bawang putih, satu siung bawang merah. Di cowek, emak menggerus dua buah kemiri dan dua sendok garam. Santan dimasak, semua bumbu dimasukkan kecuali irisan dua ruas cabe. Setelah mendidih, emak akan membagi kuah di dua panci. Masing-masing masih tetap dimasak. Panci yang satu ditambahkan kecap babon dua sendok dan sedikit terasi. Sementara ibu berpindah pada panci yang satu lagi menambahkan irisan dua ruas cabe serta banyak terasi. Secara bergantian ibu membuka tutup-tutup panci, mengambil sedikit kuah lalu menuangkannya pada telapak tangan. Emak akan menyrutup dan dengan sigap akan menambahkan sedikit garam atau gula.

Panci yang satu, akan dengan cepat diraih anak-anaknya. Sementara panci satunya lagi, akan dihadapi Bapak. Jika rasanya sesuai lidah, tidak akan ada suara sama sekali di meja makan. Namun jika tidak, suara-suara akan mengudar, “Ini kurang ini-itu, mestinya tidak dimasak terlalu lama, selalu saja asin,………….” Emak, tetap memilih makan yang terakhir. Menghabiskan dari satu panci ke panci satunya lagi.

Beberapa tahun belakang, sejak program pengalihan ke gas elpiji emak memasak dengan kompor gas dan elpiji tiga kilogram. Sejak emak remaja hingga program tersebut belum keluar, emak memasak dengan pawon. Jika sedang punya rejeki lebih, ia akan membeli kayu bakar dari tetangga. Selebihnya ia akan ‘ngrenceki’ ranting-ranting di kebun atau mengambil sampah plastik, dedaunan kering, kertas di tempat pembuangan.

Pernah melihat emak menitihkan air mata di depan pawon, saat api tak mau menyala. Dengan segera ia menyeka. Disemprong berkali-kali, bukan keluar api justru asap menyebar di seluruh rumah dan keluar. Jika di kota seperti Jakarta ini, mungkin orang akan berbondong-bondong keluar rumah serta mobil pemadam kebakaran akan menyalakan suara wiuw-wiuwnya.

Emak juga perempuan-perempuan di luar paham, jika yang dilakukannya mungkin atas cinta atau kelewat cinta. Yang penting baginya, ia dapat berjalan ‘demi’. Demi apapun yang ia yakini esok bisa cerah atau minimal tak ada suara-suara keras yang mengiris hatinya. Ia adalah makhluk rasional yang tak hanya lantang bersuara, juga lantang bekerja. Masihkah, ada lelaki yang hanya berpikir ketubuhan perempuan? Lelaki-lelaki yang merusak batin perempuan soal masakan? Tidakkah jauh lebih menarik, memaknai naluri kemanusiaan yang dapat benar-benar menuntun tiap diri menuju Tuhannya?

Dewi Maghfi

Tidak ada komentar: