Lima tahun belakang Leli hidup merantau. Bermodal keyakinan ia
pergi ke Jakarta. Ia bisa bekerja apa saja, asalkan ia dapat mandiri, pikirnya.
Pukul 03.00 dini hari, ia sampai di terminal Pulo Gadung. Dengan menggendong
tas berwarna hitam dan mengangkat kardus, ia keluar dari bis.
“Ayo ikut aku mbak……” ujar seorang lelaki bertopi seraya
menggandeng tangannya dan mencolek sudut bibirnya.
“Tidak, Pak, lepaskan!” balasnya dengan nada tinggi.
Walau baru pertama ke Jakarta, ia tak mau menunjukkan ekspresi
bingung. Yang sebenarnya sejak ia turun dari bis telah membatin, “ini kota apa,
orang-orang berteriak. Ada yang tiba-tiba menggeret tangan. Juga berbicara
dengan nada sangat tinggi. Di pojok remang-remang, nampak bergerombol orang-orang
dengan muka sayup dan beberapa botol minuman dari kaca berserakan. Ah, benar.”
Dengan cekatan ia mencari sebuah bis jurusan Rawa Bambu. “Pak, ke
arah Rawa Bambu?”
“Ee…. Tidak mbak. Tapi, bisa nanti diantar ke sana,” tutur seorang
sopir dari belakang setir.
“Tidak jadi, Pak!”
Melangkah dengan cepat, ia berpindah dari satu bis ke bis lain.
“Rawa Bambu mbak….”
“Berangkat kapan?”
“Setengah jam lagi,” kata sopir yang bicaranya tak sama sekali mau
berhadapan. Ia lebih sering membuang muka dengan melihat ke arah manapun.
“Tidak. Terima kasih.”
Sejenak, ia menurunkan tas dari gendongannya juga kardus yang
dipegang erat di tangan kanannya. Tangannya membentuk sudut lancip di pinggang
dengan menarik udara lewat hidung lalu mengeluarkannya lewat mulut. Jam segitu,
udara terminal pulo gadung berbeda dengan udara di kampungnya. Saat menghirup
udara, ada butiran-butiran kasar yang tertangkap di rambut-rambut halus hidung.
Seketika, ia merengkuh tas dan kembali menggendongnya. Berjalan lebih cepat
lagi menuju bis. Ia sama sekali tidak tahu bis mana yang harus dinaikinya,
namun gayanya sudah seperti kernet. Dengan cekatan berpindah dari satu bis ke bis
lain untuk bertanya.
“Rawa Bambu, Pak?”
“Iya Mbak, ini langsung berangkat.”
“Bisa turun setelah jembatan?”
“Bisa.”
“Ongkosnya berapa?”
“20 ribu”
“Biasanya 17 ribu”
“Bensin naik, Mbak.”
“Sehari kemarin masih 17 ribu?”
“Sekarang 18 ribu Mbak. Hehe.”
Sebelum berangkat Leli sudah berkabar dengan Paklik. Adik dari Ibu
yang sudah 25 tahun merantau di Rawa Bambu. Dengan hape Nokia layar hitam
putih, Paklik memberi penjelasan secara detail padanya. Juga, nasihat untuk
percaya diri di perjalanan.
“Kamu ndak usah nampak bingung, Nduk,” tuturnya di ujung telepon tiga
hari sebelum keberangkatan.
Selain belajar mandiri, Leli juga ingin belajar jujur. Di
lingkungan rumahnya di kampung, ia sering sekali mendapati orang-orang yang tak
jujur dalam tutur atau lakunya. Sehingga, ia pun demikian. Susah untuk jujur.
Maka, saat bertemu sopir-sopir angkot, yang ada di pikirannya hanyalah ingin
melihat kejujuran orang lewat tutur atau tatapannya. Ia memang tidak dapat dengan
seketika menilai ketakjujuran orang saat itu. Namun, sebab bermodal keyakinan
ia mencoba meresapinya. Ia memperhatikan betul setiap bahasa yang keluar juga
sikap yang dipertunjukkan. Jika iya yakin, maka ada sebuah suara kecil dalam
dirinya untuk mengiyakan. Namun jika tidak, ia hanya perlu untuk melangkah
lagi, lagi, dan lagi.
“Turun sini, Pak.”
“Iya Neng.”
“Terima kasih, Pak. Kembaliannya buat tambahan ibu untuk memasak
sayur lodeh,” tuturnya dengan menyodorkan uang 20 ribu.
“Nuhun Neng.”
Sebelum bis beranjak, sopir melempar senyum dan memencet klakson
dengan suara cemprengnya. Mungkin sebab, akinya yang mau habis. Leli bertekad
ingin belajar jujur. Sekali lagi jujur.
***
Hari pertama di rumah Paklik, di meja makan tersaji sambal goreng,
ayam goreng, terong, serta tempe saat makan siang. Pagi harinya, seluruh warga
rumah sarapan sepotong singkong goreng dan teh panas atau ponakan-ponakan akan
minum susu hangat. Sehabis magrib kami makan malam. Aku duduk di kursi paling
ujung, di sebelahku ada Anton keponakan dari Bulik, sebelahnya lagi ada Timah
cucu dari kakak Mbah Buyut, ada Kak Bunari adek dari Paklik, Mbah Tejo Bapak
dari Bulik, lalu Kartika, Rian, Dion, dan Rafi anak-anak dari Paklik-Bulik. Malam
itu semua kumpul, kecuali Ebit penjaga bedheng yang sedang masuk angin.
Meja makan berbentuk bulat memanjang. Berbahan dari kayu mahoni
yang tak diplitur dan kursi plastik sebagai dudukannya. Di meja tersaji sayur bening
bayam, tahu, tempe, ikan lele, serta sambal goreng. Aku mengambil satu centhong
nasi, lima sendok kuah sayur bening, dan bagian ekor dari ikan lele. Semua
mengambil sambal goreng. Namun tidak untuk aku.
Hari kedua, ketiga, hingga satu minggu, di meja selalu tersaji
sambal goreng beserta cowek irengnya. Saat memasak aku selalu memperhatikan
bulik saat membuat sambal goreng. Bulik akan mengambil tujuh buah cabe merah
berukuran sedang dan empat cabe rawit yang warnanya hijau muda. Bawang merah
dua biji berukuran sedang. Cabe dan bawang merah digoreng dengan minyak
sedikit. Diangkat, ditaruh di cowek lalu ditambahkan terasi sepucuk sendok
makan, garam, juga gula aren. Setelah halus, Bulik kembali menggoreng dengan
minyak yang lebih sedikit dalam setengah menit.
“Harus setengah menit, Lel. Jika lebih atau kurang Paklikmu akan
berkomentar di meja makan.”
Pernah suatu ketika, aku yang membuat sambal goreng. “Ini bukan
buatan Ibune Kartika,” tutur Paklik saat makan bersama. Aku langsung cemas,
seketika sendok yang ku pegang jatuh ke piring dan membuat kaget yang lain.
“Iya Paklik, itu yang buat saya. Tidak enak ya? Tadi menggorengnya setengah
menit lebih sepuluh detik. Kelupaan.”
“Ya, untunglah kamu yang buat. Jadi bisa ditolerir.”
Hari berikutnya, aku tak berani membuat sambal goreng lagi. Aku
memilih menangani masakan yang lain selain sambal goreng. “Lel, kamu tak
belajar lagi membuat sambal goreng yang pas sesuai lidah paklikmu?”
“Wah, Bulik saja. Saya masak kangkungnya,” kebetulan menu siang
itu semur kangkung.
“Lel, kangkungnya harus sampai empuk ya, terus kecapnya yang banyak.”
Setiap kali masak, Bulik selalu menasihati soal kematangan, takaran, dan itu
semua adalah soal selera. Tak lain, selera Paklik.
Menjelang tidur, teringat Emak. Jika di rumah Paklik, sambal
goreng menjadi menu andalan. Jika di rumah kampung, sayur lodeh yang membuat
emak memaknai segala hal laku perempuan. Sayur lodeh dari sayur terong. Terong hijau
satu buah berukuran sedang diiris kotak. Sembari mengiris, emak memasak air
hingga mendidih. Kemudian terong dimasukkan dan dimasak selama dua menit. Tak
kurang dan lebih. Saat memasak terong, emak tidak melakukan aktivitas lain
semisal menyiapkan bumbu atau apa. Sebab, terong tidak boleh terlalu empuk atau
alot. Terong ditiriskan, baru emak membuat bumbu.
Tiga ruas cabe hijau muda diiris di ujung punggung parut kayu.
Sementara dua ruasnya lagi diiris di ujungnya. Dan di bagian tengahnya, emak
akan mengiris dua siung bawang putih, satu siung bawang merah. Di cowek, emak
menggerus dua buah kemiri dan dua sendok garam. Santan dimasak, semua bumbu
dimasukkan kecuali irisan dua ruas cabe. Setelah mendidih, emak akan membagi
kuah di dua panci. Masing-masing masih tetap dimasak. Panci yang satu
ditambahkan kecap babon dua sendok dan sedikit terasi. Sementara ibu berpindah
pada panci yang satu lagi menambahkan irisan dua ruas cabe serta banyak terasi.
Secara bergantian ibu membuka tutup-tutup panci, mengambil sedikit kuah lalu
menuangkannya pada telapak tangan. Emak akan menyrutup dan dengan sigap akan
menambahkan sedikit garam atau gula.
Panci yang satu, akan dengan cepat diraih anak-anaknya. Sementara
panci satunya lagi, akan dihadapi Bapak. Jika rasanya sesuai lidah, tidak akan ada
suara sama sekali di meja makan. Namun jika tidak, suara-suara akan mengudar,
“Ini kurang ini-itu, mestinya tidak dimasak terlalu lama, selalu saja
asin,………….” Emak, tetap memilih makan yang terakhir. Menghabiskan dari satu
panci ke panci satunya lagi.
Beberapa tahun belakang, sejak program pengalihan ke gas elpiji emak
memasak dengan kompor gas dan elpiji tiga kilogram. Sejak emak remaja hingga
program tersebut belum keluar, emak memasak dengan pawon. Jika sedang punya
rejeki lebih, ia akan membeli kayu bakar dari tetangga. Selebihnya ia akan ‘ngrenceki’ ranting-ranting di kebun atau
mengambil sampah plastik, dedaunan kering, kertas di tempat pembuangan.
Pernah melihat emak menitihkan air mata di depan pawon, saat api
tak mau menyala. Dengan segera ia menyeka. Disemprong berkali-kali, bukan
keluar api justru asap menyebar di seluruh rumah dan keluar. Jika di kota
seperti Jakarta ini, mungkin orang akan berbondong-bondong keluar rumah serta
mobil pemadam kebakaran akan menyalakan suara wiuw-wiuwnya.
Emak juga perempuan-perempuan di luar paham, jika yang
dilakukannya mungkin atas cinta atau kelewat cinta. Yang penting baginya, ia
dapat berjalan ‘demi’. Demi apapun yang ia yakini esok bisa cerah atau minimal
tak ada suara-suara keras yang mengiris hatinya. Ia adalah makhluk rasional
yang tak hanya lantang bersuara, juga lantang bekerja. Masihkah, ada lelaki
yang hanya berpikir ketubuhan perempuan? Lelaki-lelaki yang merusak batin
perempuan soal masakan? Tidakkah jauh lebih menarik, memaknai naluri
kemanusiaan yang dapat benar-benar menuntun tiap diri menuju Tuhannya?
Dewi Maghfi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar