Nenek moyangku orang peluat, gemar arungi luas samudra…
Tentu pernah menyanyikan lagu ciptaan Ibu Soed tersebut
bukan. Atau minimal tahu syairnya. Nenek moyang kita seorang pelaut.
Pak Ju dan Pak Ron adalah punggawa di kelompok lingkungan camar |
Saya berkesempatan mendengarkan
cerita nelayan Tambak Lorok, Tanjung Mas, Semarang Utara, Sabtu-Minggu (3/4). Berbincang
dengan mereka layaknya berhadapan dengan seorang akademisi. Mereka berani
menuturkan pendapat, menceritakan pengalamannya, siap dikritik, dan
perbincangan kami berlangsung hingga larut malam. Mereka lulusan sekolah dasar
bahkan ada yang tidak lulus. Saya pun sedikit menyangsikan ada akademisi yang
mau seperti ini. Walau sebagian banyak yang menjihadkan intelektualnya untuk
masyarakat. Nelayan tambak lorok ini mempunyai selera humor tinggi. Tak seperti
seorang akademisi yang cenderung kaku. He he.
Pak Yeyen namanya, seorang
nelayan yang juga sebagai ketua kelompok nelayan di rukun tetangganya
mengatakan hidup individual nelayan kian kembang kempis. Apalagi menghidupi
kelompok nelayan dengan berbagai kegiatan. Mestinya, dibentuknya organisasi
kelompok nelayan agar bisa saling berbincang dan minimal dapat meningkatkan
perekonomian anggota. Tapi? Pak Yeyen seorang yang sedang bersemangat mengelola
organisasi. Sejak 2012, memang desa tersebut menjadi mitra dari sebuah kampus
dan BUMN. Nelayan di sana akrab dengan bahasa-bahasa yang digunakan akademisi.
“Saya dulu melihat acara debat atau berita di tv sangat jengkel. Tapi sekarang
diajak diskusi dari pagi hingga pagi lagi siap. Tentu harus ada kopi. He he,”
tuturnya.
Nelayan tersebut juga meresahkan peraturan
menteri Susi Pudjiastuti yang hanya membuat peraturan tapi tidak memberikan
solusi. Misalnya, nelayan dilarang miyang (melaut mencari ikan) dengan
menggukan alat-alat yang tidak ramah lingkungan seperti pukat. Sebab, alat
tersebut dapat merusak ekosistem dan menangkap semua jenis ikan hingga
ikan-ikan kecil. Nelayan diharap dapat menggunakan alat ramah lingkungan
seperti jaring. Mereka memberikan hitung-hitungan, jika menggunakan jaring, miyang
tak bisa dilakukan sendiri di laut lepas. Dalam satu perahu minimal 3 orang.
Sekali miyang, nelayan bisa dapat 190 ribu hingga 250 ribu. Hasil tersebut
mesti dikurangi biaya solar yang sekali jalan bisa mencapai minimal 10 liter.
Kemudian dibagi 3 nelayan, lebih-lebih jika perahu rusak. Tenaga nelayan yang
makin menurun di saat usia kian bertambah dan kebutuhan sehari-hari yang kian
mendesak. “Tidak dapat apa-apa, Mbak,” tuturnya.
Makanya mereka mengambil langkah
praktis yakni miyang dengan menggunakan alat semacam pukat. Sebab, bisa
dilakukan sendiri dan tenaga tidak terkuras. “Saya mau taat menuruti peraturan
menteri, tapi ya harus ada solusi.” Nah, apalagi menghidupi organisasi dengan
kondisi seperti itu. Walau ketua semangat, tapi anggota acuh. Diajak untuk
bergerak bersama tidak bisa. Jika obrolan kami menemui kebuntuan, selalu ada
celethukan “sing sabar ya bos” dengan disertai gelak tawa.
Artis Tambak Lorok. ha ha... |
Beban nelayan tidak hanya pada
sampai di situ saja. Di tambak lorok, selalu ada rob yang datang hingga empat
kali dalam setahun. Permukaan laut lebih tinggi dari tanah yang ditinggali
nelayan. Membuka pintu rumah belakang mereka langsung terhampar laut luas.
Padahal sebelum rob masih ada jarak 1 kilometer untuk menuju pantai. Otomatis,
rumah-rumah warga kian ambles dan mesti dilakukan peninggian. Bagi yang tidak
sanggup melakukan peninggian rumah, mereka hidup dalam ruangan yang jarak
lantai dan atapnya begitu dekat. Melewati pintu saja mesti membungkuk untuk
berhasil masuk.
Jika hidup menawarkan banyak
pilihan-pilihan, bagi nelayan Tambak Lorok tak ada pilihan selain miyang dan
tetap bertahan di daerah tersebut. Walau kadang, saat tidur pulas akibat
terlalu capek miyang, harus terbangun karena sudah kemambang di atas air. Ya apalagi kalau bukan akibat rob.
Masyarakat pinggiran kota semarang semakin terdesak oleh reklamasi
hingar-bingar pembangunan hotel dan gedung-gedung bertingkat di sana-sini.
Walhasil sedikit demi sedikit semakin tergusur keberadaannya. Suasa hening, mata
kami mulai sayup, kami semua diam sembari menyruput kopi. “Sing sabar ya boss,”
celethukan satu diantaranya. “Walau bagaimana kondisinya yang penting masih
bisa ngguyu,” lanjutnya. Ha ha…
Dewi Maghfi, calon Pengajar Muda
Gerakan Indonesia Mengajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar