Senin, 12 Oktober 2015

Sing Sabar Ya Bos…

Nenek moyangku orang peluat, gemar arungi luas samudra…

Tentu pernah menyanyikan lagu ciptaan Ibu Soed tersebut bukan. Atau minimal tahu syairnya. Nenek moyang kita seorang pelaut.
Pak Ju dan Pak Ron adalah punggawa di kelompok lingkungan camar
Saya berkesempatan mendengarkan cerita nelayan Tambak Lorok, Tanjung Mas, Semarang Utara, Sabtu-Minggu (3/4). Berbincang dengan mereka layaknya berhadapan dengan seorang akademisi. Mereka berani menuturkan pendapat, menceritakan pengalamannya, siap dikritik, dan perbincangan kami berlangsung hingga larut malam. Mereka lulusan sekolah dasar bahkan ada yang tidak lulus. Saya pun sedikit menyangsikan ada akademisi yang mau seperti ini. Walau sebagian banyak yang menjihadkan intelektualnya untuk masyarakat. Nelayan tambak lorok ini mempunyai selera humor tinggi. Tak seperti seorang akademisi yang cenderung kaku. He he.

Pak Yeyen namanya, seorang nelayan yang juga sebagai ketua kelompok nelayan di rukun tetangganya mengatakan hidup individual nelayan kian kembang kempis. Apalagi menghidupi kelompok nelayan dengan berbagai kegiatan. Mestinya, dibentuknya organisasi kelompok nelayan agar bisa saling berbincang dan minimal dapat meningkatkan perekonomian anggota. Tapi? Pak Yeyen seorang yang sedang bersemangat mengelola organisasi. Sejak 2012, memang desa tersebut menjadi mitra dari sebuah kampus dan BUMN. Nelayan di sana akrab dengan bahasa-bahasa yang digunakan akademisi. “Saya dulu melihat acara debat atau berita di tv sangat jengkel. Tapi sekarang diajak diskusi dari pagi hingga pagi lagi siap. Tentu harus ada kopi. He he,” tuturnya.

Nelayan tersebut juga meresahkan peraturan menteri Susi Pudjiastuti yang hanya membuat peraturan tapi tidak memberikan solusi. Misalnya, nelayan dilarang miyang (melaut mencari ikan) dengan menggukan alat-alat yang tidak ramah lingkungan seperti pukat. Sebab, alat tersebut dapat merusak ekosistem dan menangkap semua jenis ikan hingga ikan-ikan kecil. Nelayan diharap dapat menggunakan alat ramah lingkungan seperti jaring. Mereka memberikan hitung-hitungan, jika menggunakan jaring, miyang tak bisa dilakukan sendiri di laut lepas. Dalam satu perahu minimal 3 orang. Sekali miyang, nelayan bisa dapat 190 ribu hingga 250 ribu. Hasil tersebut mesti dikurangi biaya solar yang sekali jalan bisa mencapai minimal 10 liter. Kemudian dibagi 3 nelayan, lebih-lebih jika perahu rusak. Tenaga nelayan yang makin menurun di saat usia kian bertambah dan kebutuhan sehari-hari yang kian mendesak. “Tidak dapat apa-apa, Mbak,” tuturnya.

Makanya mereka mengambil langkah praktis yakni miyang dengan menggunakan alat semacam pukat. Sebab, bisa dilakukan sendiri dan tenaga tidak terkuras. “Saya mau taat menuruti peraturan menteri, tapi ya harus ada solusi.” Nah, apalagi menghidupi organisasi dengan kondisi seperti itu. Walau ketua semangat, tapi anggota acuh. Diajak untuk bergerak bersama tidak bisa. Jika obrolan kami menemui kebuntuan, selalu ada celethukan “sing sabar ya bos” dengan disertai gelak tawa.

Artis Tambak Lorok. ha ha...
Beban nelayan tidak hanya pada sampai di situ saja. Di tambak lorok, selalu ada rob yang datang hingga empat kali dalam setahun. Permukaan laut lebih tinggi dari tanah yang ditinggali nelayan. Membuka pintu rumah belakang mereka langsung terhampar laut luas. Padahal sebelum rob masih ada jarak 1 kilometer untuk menuju pantai. Otomatis, rumah-rumah warga kian ambles dan mesti dilakukan peninggian. Bagi yang tidak sanggup melakukan peninggian rumah, mereka hidup dalam ruangan yang jarak lantai dan atapnya begitu dekat. Melewati pintu saja mesti membungkuk untuk berhasil masuk.

Jika hidup menawarkan banyak pilihan-pilihan, bagi nelayan Tambak Lorok tak ada pilihan selain miyang dan tetap bertahan di daerah tersebut. Walau kadang, saat tidur pulas akibat terlalu capek miyang, harus terbangun karena sudah kemambang di atas air. Ya apalagi kalau bukan akibat rob. Masyarakat pinggiran kota semarang semakin terdesak oleh reklamasi hingar-bingar pembangunan hotel dan gedung-gedung bertingkat di sana-sini. Walhasil sedikit demi sedikit semakin tergusur keberadaannya. Suasa hening, mata kami mulai sayup, kami semua diam sembari menyruput kopi. “Sing sabar ya boss,” celethukan satu diantaranya. “Walau bagaimana kondisinya yang penting masih bisa ngguyu,” lanjutnya. Ha ha…


Dewi Maghfi, calon Pengajar Muda Gerakan Indonesia Mengajar

Tidak ada komentar: