Senin, 12 Oktober 2015

Melepas Kengerian


Beberapa hari lagi, aku akan bergabung dengan kawan-kawan calon pengajar Muda Indonesia Mengajar. Entah atas apa, aku mengambil keputusan ini. Namun, ada perasaan yang berbeda dari beberapa keputusan yang pernah aku ambil. Jika sebelum-belumnya, ada rasa yang ‘harus dan kudu’, kali ini aku ingin sekadar hadir melewati prosesnya dan sudah. Tanpa mau mikir ribet. Jika kata orang mungkin, ‘mengikuti hati’, tapi lha wong aku sudah tak punya hati! Aku memilih membuang hatiku ke tong sampah pada jam 1 dini hari. Dan 5 menit kemudian, Pak Abadi mengambilnya lalu melempar ke bak sampah. Ya, sejak itu aku benar melepas hatiku. Baru kali inilah, aku patah hati. Sakit memang. Maka, agar aku tak patah hati (lagi) di kemudian hari, aku membetot hatiku dengan catut kecil. Toh, tanpa hati aku yakin akan masih bisa tersenyum.

Patah hati dengan apa yang menyertaiku dan juga keputusan yang pernah ku ambil. Hingga membuat membersalahi diri. Sebenarnya, toh aku bisa tak berpikir dalem soal ini. Tapi, cobaan pada diriku, ku sadari memang terus menerus membersalahi diri dari dulu. Aku ngeri dengan diriku sendiri. Pada semut-semut yang ada di kepala ini. Walau sebenarnya tak semua bermula dari diriku. Namun, lebih banyak aku ‘meresapi’ apa-apa di sekitarku. Aku benar patah hati. Ini kondisi buruk yang pernah ada dalam diri.

Dalam kondisi kepatahhatian ini, kakiku diajak untuk menempuh serangkaian proses seleksi IM. Memang, IM sempat ada di kerangka pikirku di awal kuliah. Aku meliat brosur IM di UKM. Setelahnya ku baca dan browsing di websitenya. Mulai kian tertarik. Hingga brosur itu ku temple di kos pertamaku (al-baa’its). Kos yang masih terbuat dari papan kayu. Kamarku itu yang sudah bergonta-ganti penghuni (sebab aku pindah kos), masih memampang brosur itu. Walau di sana-sini sudah tertempel banyak hal kesukaan penghuninya, namun brosur itu masih ada. Akhir-akhir kuliah, saat hatiku mulai patah aku baru nggeh saat berkunjung ke kos itu. Ada senyum kecil yang menyungging. Semacam aku diingatkan kembali. Oh Tuhan…. Saat ini, kosku itu sudah diruntuhkan. Dan dibangun baru dengan model kos kekinian. Perih!

Mengikuti IM hanya dengan satu motivasi, mengembalikan senyuman seperti kala sd dulu. Terlepas dari tugas berat yang diemban, aku ingin menggunakan intuisiku. Mengembalikan keceriaan saat masih mengenakan seragam putih-merah. Dimana, aku bisa naik-turun sungai saat musim kemarau, bermain-main di sawah belakang sekolah, jajan minuman limun, bermain kasti, jalan-jalan ke rel kereta yang sudah tak fungsi.

Teringat seorang kawan yang memandang sesuatu dengan pesimistik dan aku selalu menolaknya. Bukan karena aku memandang sesuatu secara ideal, tapi dalam kondisiku aku hanya ingin menjaga ikhtiar. Walau sering gagal. Dan sekarang aku paham bahwa pemistik itu, kumaknai saat ini dengan patah hati. Atas kengerian patah hati itu, lagi lagi aku membersalahi diri. Bagi siapapun, aku memang jahat. Dan menebus dosa bukan perkara mudah soal maaf. Akan ku biarkan diri menebus sedalam-dalamnya, sebahagia-bahagianya, dan seduka-dukanya.

 Dan ku tegakkan langkah ini dengan niat ingsun. Walau sesekali, ibuk masih sering menatapku dengan tatapan dalam. Entah apa yang ada di pikirannya, ia hanya masih ngeri soal jarak. Bagiku, bukan soal jarak lagi Buk, tapi kekuatan ‘rasa’. Bukan soal pula manisnya kata, namun doa. Soal ibuk yang tak pernah mengatakan apapun, namun selalu menghadapi. Ya, menghadapi kengerian. Kami yang dalam diam, namun saling menjaga. Akhirnya, selamat buat kita semua, calon pengajar muda.


Rumah, DM, | 12 Oktober 2015

Tidak ada komentar: