Senin, 18 Januari 2016

Setiap Anak itu Ujung

Lucu kan mereka. Anak-anak kelas 1. Yang ngupil namanya Abay....
Perjalanan sore itu, Sabtu (19/12) dari Bekasi terburu-buru. Kami harus sudah berkumpul di kelas Wisma PKBI Kebayoran Baru Jakarta Selatan pukul 17.00 wib. Saya dan teman, Happy Berthania, berencana berangkat dari stasiun kranji pukul 14.00 wib. Namun, Happy datang 30 menit kemudian karena terjebak macet. Ia melakukan farewell dengan keluarga sebelumnya. Tahun baru 2017, akan menjadi tahun pertama Happy merayakan natal dan tahun baru tanpa keluarga. 

Kami memililh naik kopaja yang jalannya kelewat batas ketrengginasan teman saya, Salman. Dari perempatan bangjo jalan Soedirman, saya melihat seorang lelaki kisaran usia 33 tahun menutup mulut seorang anak dan mengangkatnya menuju pinggir jalan raya. Awalnya, anak tersebut merengek nangis membuntuti perempuan kisaran usia 30 tahun yang sedang menggendong bayi dan memegang segepok tisu di tangan kanannya. Mereka menuju ke arah banngjo. Tetiba saja lelaki itu meremas pandanganku. Saya dan Happy berjalan dengan langkah kaki yang sama. Namun, semakin menjauh dari bangjo kakiku tertahan untuk mengurangi jarak jangkauan. Dalam pikiranku, “Apa aku bisa melewati anak tersebut dengan hati gembira seperti sebelumnya?” 

Aku menghibur diri dengan tetap tenang. Semakin mendekat, aku ingin menonjok lelaki itu hingga babak belur. Tapi, aku urungkan. Aku melewati satu titik, dimana lelaki itu menampar pipi anak tersebut berulang-ulang kali. Teriak kesakitan pun tak digubris. Ada dua perempuan paruh baya yang mencoba menenangkan anak tersebut supaya lelaki tersebut tidak menghajarnya. Saat dihadapkan pada satu titik kadang tubuhku merasa lepas  dan tak tahu mesti gimana. Aku menahan kengerian sembari mengumpat. “Shitttt….. Apa yang bisa aku lakukan?” Seketika anak tersebut diam dan dia langsung lari menuju perempuan paruh baya. Anak-anak bisa menangis sejadi-jadinya, namun seketika ia bisa melupakan kesakitan itu dan berlari-larian. Namun, yakinkah bahwa ingatan itu hilang di kemudian hari?

Aku punya paman dari mamak. Ia seorang pengasih. Dia mempunyai tingkat humor yang lumayan. Aku ingat betul momen yang ku kangeni, ketika paman sedang mengelap motor dengan lotion pengkilat hampir saban hari. Ia memang suka bergonta-ganti motor. Juga ia akan merawatnya dengan sepenuh hati. Nah, saat itu pasti kami bercanda. Mantra andalannya yakni ‘Ora usah ngaru-biru”. Ya, dia akan menyelesaikan masalahnya sendiri. Orang-orang yang tidak berkepentingan tidak usah mengurusi. Kabar mengejutkan datang ketika aku masih duduk di bangku sekolah menengah. Ia menghadap Tuhan dengan waktu yang sangat cepat. Menurut dokter, Ia terkena serangan jantung. Memang sih, ia seorang perokok aktif juga suka minuman alkohol. Maka, kadang aku tidak tega melihat siapa pun seorang perokok aktif dan peminum alkohol. Ingatanku pasti mengarah pada paman. Seorang lelaki humoris dan penyayang. 

Belakangan, aku sadar, aku mulai akrab dengan adik mamak yang kedua. Kakak dari pamanku yang sudah dipanggil yang maha kuasa. Paman yang satu ini beda karakter dengan paman yang sebelumnya. Pamanku ini orang yang sedikit sekali bicara. Ia hanya akan berbicara seperlunya. Dia lebih suka bertindak dengan cepat segera. Sebab, ia tinggal di Bekasi, kami jarang sekali bertemu. Namun, karena aku kalau ada kesempatan ke sana, kami mulai akrab. Aku akan menengok kurcil-kurcil yang menggemaskan. Kami bercanda-canda dan membahas topik tertentu. Pengetahuan paman cukup ciamik ketika kami sedang mengobrol bahasan suatu wilayah. Namun, aku masih belum bisa mengimbangi soal pemahaman mebeul (perkakas dari kayu) dan sepak bola. 

Menjadi orangtua ternyata tidak jaminan menjadi dewasa. Maka, mempersiapkan diri menjadi dewasa jauh lebih spesial bagiku dari meyakini dengan siapa menjadi orangtua. Siapapun yang menempatkan anak sebagai ujung tujuannya adalah menarik bagiku. Sebab, dari situ kerangka konsep hidupnya akan nampak bahwa dia memasukkan orang selain dirinya. 

Dewi Maghfi | 20 Desember 2015

Tidak ada komentar: